Kasus Agus Buntung, Seorang penyandang disabilitas pelaku pelecehan seksual terhadap banyak wanita di NTB yang baru-baru ini terjadi menuai sorotan publik dan terus memicu perdebatan. Berbagai laporan Media mengungkap modus operandi pelaku yang manipulatif dan intimidatif, memanfaatkan keadaan disabilitas nya untuk melancarkan aksinya. Saat proses penahanan, Agus bahkan menolak keputusan hukum sambil menangis dan berlutut, yang memicu reaksi keras dari masyarakat. Â
Namun pertanyaan mendasar muncul dari berbagai kalangan. Apakah hukuman penjara untuk pelaku seperti Agus Buntung efektif dalam memberikan efek jera?. Dalam analisis ini kami menyertakan pandangan dari perspektif etika, keadilan serta tanggung jawab moral dalam kesempatan ini juga terdapat pendapat dari Yoel seorang mahasiswa hukum semester 5, untuk mengevaluasi sistem pemidanaan di Indonesia. Â
Yoel William Sitompul memberikan pendapat kritis terkait hukuman penjara yang dijatuhkan kepada Agus Buntung. Ia menyatakan bahwa hukuman tersebut berpotensi tidak efektif dalam memberikan efek jera kepada pelaku. "Saya rasa hukuman penahanan bagi Agus Buntung ini kurang efektif, karena dalam tujuan pemidanaan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dijelaskan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku. Sementara saya kurang yakin jika Agus Buntung ini akan jera, dilihat dari tingkah lakunya yang manipulatif dan intimidatif. Bahkan dalam kesempatan rekonstruksi ulang kejadian, Agus malah menatap wartawan yang kedapatan menegurnya dengan tatapan intimidatif," ujar Yoel. Â
Lebih lanjut, Yoel mengkhawatirkan bahwa kurungan penjara tanpa pendekatan rehabilitasi yang tepat justru dapat menimbulkan rasa dendam pada pelaku. "Saya khawatir kurungan penjara justru akan menimbulkan rasa dendam bagi Agus jika dalam proses penahanan tidak ditangani dengan cara yang tepat" tambahnya. Â
Dari perspektif Etika, hukuman terhadap Agus Buntung dapat dianalisis melalui beberapa teori diantaranya adalah Teori Deontologi yang dikemukakan oleh Immanuel Kant dalam bukunya yang berjudul Groundworks Of the metaphysics of morals,lalu Teori Utilitarianisme yang dikemukakan oleh J.S Mill dalam essai dengan judul yang sama dan teori kebajikan yang Dikemukakan oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomakea. Menurut Teori deontologi Kant berpendapat Bahwa pelanggaran moral harus dihukum karena melanggar prinsip universal. Namun jika hukuman penjara tidak diiringi pembinaan moral, pelaku seperti Agus yang manipulatif mungkin tidak akan memahami esensi hukuman tersebut. Hukuman idealnya harus mengingatkan pelaku bahwa tindakannya melanggar harkat dan martabat manusia lalu dalam Teori utilitarianisme Mill Berpendapat bahwa hukuman harus memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Jika hukuman penjara tidak efektif dalam mengubah perilaku pelaku, maka tujuan ini tidak tercapai. Untuk itu, rehabilitasi psikologis dan moral harus menjadi bagian penting dari proses hukum, guna memastikan pelaku tidak kembali mengulangi perbuatannya. Yang terakhir dalam etika kebajikan, hukuman bertujuan membentuk karakter yang lebih baik. Namun perilaku Agus, seperti tatapan intimidatif selama rekonstruksi, menunjukkan bahwa ia belum menyadari kesalahannya. Oleh karena itu hukuman juga harus mencakup pendekatan yang membangun nilai-nilai kebajikan. Â
keadilan dan rehabilitasi seperti apa yang Dibutuhkan oleh Agus buntung?
John Rawls Berpendapat Dalam bukunya yang berjudul A Theory Of Justice, hukuman harus menciptakan keseimbangan antara hak korban dan pembinaan pelaku. Pandangan Yoel William Sitompul juga sejalan dengan konsep ini. Ia menekankan pentingnya rehabilitasi yang komprehensif agar hukuman penjara tidak menjadi dendam bagi pelaku. Selain itu masyarakat juga membutuhkan perlindungan dari ancaman pelaku berulang. Jika sistem hukum hanya fokus pada hukuman penjara tanpa mengatasi akar masalah, pelaku seperti Agus bisa saja kembali melakukan tindakan serupa setelah keluar dari penjara.
Pelajaran yang dapat diambil dari Kasus Agus Buntung
Kasus ini menunjukkan bahwa pendidikan moral dan etika harus menjadi prioritas di masyarakat. kasus ini juga dapat ditinjau dengan konsep banalitas kejahatan yang telah disampaikan oleh Hanna Arrendt dalam buku yang berjudul Eichmann In Jerusalem: A Report On Banality Of Evil, dalam buku tersebut Hannah menyampaikan bahwa kejahatan sering kali dilakukan oleh individu yang gagal merefleksikan dampak moral dari tindakannya. Agus adalah potret individu yang mengabaikan nilai-nilai tersebut. Dalam konteks hukum, Karena dia merasa Orang-Orang Disabilitas seperti dirinya Memiliki Impunitas Hukum. Kita sebagai masyarakat juga harus sama-sama mengawasi agar hukuman penjara harus dilengkapi dengan pendekatan rehabilitasi, termasuk konseling psikologis dan pelatihan keterampilan. Agar Hak-Hak agus sebagai Disabilitas juga terpenuhi dalam Masa Hukumannya. Hal ini tidak hanya untuk mengubah perilaku pelaku, tetapi juga untuk mencegah potensi Agus menaruh rasa dendam kepada Para korbannya secara khusus dan masyarakat secara umum di masa yang akan datang. Â
Kasus Agus Buntung adalah cerminan penting bagi sistem hukum di Indonesia. Pandangan Analisis ini sekaligus untuk menunjukkan bahwa hukuman tidak hanya bertujuan membatasi kebebasan pelaku, tetapi juga membangun karakter yang lebih baik. Dengan menerapkan pendidikan moral, rehabilitasi dan sistem hukum yang adil. Diharapkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia dapat terwujud dan tentunya membentuk masyarakat yang lebih bermartabat.Â
Akhirul qalam itu saja yang bisa saya sampaikan dengan keterbatasan ilmu yang dimiliki, Kurang lebihnya Mohon maaf semoga menginspirasi para pembacaÂ