Kewenangan dari Mahkamah Konstitusi kini menjadi salah satu perhatian yang penting, disebabkan mengingat fungsinya sebagai pengawal konstitusi atau "the guardian of the constitusion". Menjadikan mahkamah tersebut sangat krusial dalam menjalankan fungsinya yaitu menjadi perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Seiring dengan perkembangan zaman yang begitu cepat, pelanggaran terhadap hak-hak tersebut tidak lagi hanya norma oleh lembaga negara maupun lembaga birokrasi publik. Melainkan perlunya lembaga untuk menangani pertanyaan yang sulit atas keberadaan suatu norma hukum yang diragukan konstitusional dan kewenengannya yang dijalankan oleh dua lembaga pemegang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi menjadi sangat penting sebagai bentuk pelaksanaan dungsinya sebagai pengawal atas berjalannya Konstitusi tersebut.
Mahkamah Konstitusi terlahir sebagai anak kandung reformasi yang memiliki empat wewenang dan satu kewajiban yang harus dijalankan. Tercetusnya ide yang melatarbelakangi lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia sangat sederhana, yang berkaitan erat dengan ide dalam mengembangkan fungsi pengujian terhadap Undang-Undang yang selalu berkaitan dengan kewenangan dengan Mahkamah Agung dalam sejarah awalnya pembentukan dari negara Indonesia. Lahir pada tanggal 13 Agustus 2003 yang masih terhitung muda, Mahkamah Konstitusi memberikan nuansa yang berbeda bagi kehidupan ketatanegaraan di bangsa kita. Saat menjalankan tugas dan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi berusaha semaksimal mungkin untuk terus mengawal Konstitusi yang sering terlaksana agar sesuai dengan semestinya. Diharapkan putusan-putusan yang dilahirkan oleh Mahkamah Konstitusi tidak hanya dapat memenuhi rasa keadilan, namun juga dapat bermanfaat bagi orang yang semestinya benar.
Dalam perkembangan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, banyak sekali tugas yang harus diemban dalam kewenangannya untuk mengadili setiap perkara yang ada. Misal yang terjadi pada perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kepala Daerah). Akan tetapi, sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan suatu putusan yaitu Nomor 97/PPU-XI/2013 pada Mei 2014, menjadikan kewenangan dalam mengadili PHP Kepala Daerah yang sifatnya hanya sementara. Hingga terbentuknya badan peradilan khusus dalam menangani perkara perselisihan tersebut.
Dari berbagai sisi positif dari terbentuknya Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya, ternyata masih banyak ditemukannya hak-hak warga negara yang belum terakomodir dari hadirnya Mahkamah tersebut. Kemungkinan terbesar dikarenakan masih maraknya pelanggaran konstitusional terhadap hak warga negara tetapi belum adanya mekanisme peradilan yang mampu menanganinya dan juga banyaknya suatu keraguan terhadap konstitusionalitas terhadap undang-undang yang menjadikan dasar hakim dapat mengadili suatu perkara dengan baik. Istilah yang lebih dikenal adalah Constitutional Complaint dan Constitutional Question. Constitutional Complaint adalah salah satu dari sekian banyaknya upaya hukum yang dijalankan untuk menjamin agar semua proses penyelenggaraan negara, baik dalam proses pembuatan dalam perundang-undangan, proses administrasi negara dan juga putusan peradilan yang tidak melanggar hak konstitusional pada warga negara.
Seiring bertambah dan berkembangnya Constitutional Complaint menjamin atas tidak dilanggarnya hak konstitusional pada warga negara oleh seluruh kebijakan pemerintah maupun putusan peradilan. Menjadikannya bagian dari kewenangan dari Mahkamah Konstitusi dari berbagai negara. Akan tetapi, kewenangan tersebut belum resmi diatur atau dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Pengaduan konstitusional (Constitutional Complaint) dapat diberikan sebagai pengaduan atau gugatan yang diajukan oleh perorangan ke Mahkamah Konstitusi terhadap segala perbuatan suatu lembaga publik yang dapat mengakibatkan terlanggarnya hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional dari orang yang bersangkutan. Lazimnya hal itu dapat terlaksana dan bisa diterima oleh Mahkamah Konstitusi setelah semua jalan penyelesaian melalui proses keadilan yang tersedia tidak ada lagi.
Adapun Constitutional Question merujuk pada suatu mekanisme pengujian undang-undang dimana seorang yang memiliki keputusan atau biasa disebut hakim yang sedang mengadili suatu perkara dinilai mempunyai ragu-ragu akan konstitusional undang-undang yang berlaku untuk perkara tersebut. Maka ia dapat mengajukan pertanyaan konstitusional ke Mahkamah Konstitusi mengenai ada tidaknya undang-undang tersebut. Lalu Mahkamah Konstitusi hanya memutus persoalan konstitusionalitas undang-undang tersebut, namun selama Mahkamah Konstitusi belum menyatakan terhadap keputusannya maka pemeriksaan terhadap kasus tersebut juga dihentikan. Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undng terhadap undang-undang. Sedangkan Mahkamah Konstitusi sendiri menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ternyata juga rentan menghadirkan persoalan hukum.
Berdasarkan hasil penelusuran didapatkan informasi bahwa terdapat surat maupun permohonan yang diterima oleh kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, ada 48 serat atau permohonan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk Constitutional Complaint. Jumlah tersebut tiga kali lipat dari jumlah permohonan Judicial Review yang masuk ke Mahkamah Konstitusi pada tahun yang sama. Dengan kata lain, jumlah tersebut setidaknya menunjukkan kebutuhan warga negara untuk menyalurkan Constitutional Complaint dalam rangka mempertahankan hak yang menjadi penting dan mendesak.
Sedangkan dari sisi Constitutional Question menjadi kewenangan yang tidak kalah pentingnya untuk Mahkamah Konstitusi tersebut. Seperti contoh dalam kasus Zinal Maarif yang diajukan ke pengadilan dengan dakwaan mencemarkan nama baik presiden yang menimbulkan banyaknya kontroversi disebabkan adanya persoalan bahwa pasal-pasal KUHP dijadikan dasar dakwaan. Dalam kasus tersebut, Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang untuk menangani Constitutional Question. "Apabila seorang hakim meragukan konstitusionalitasnya dalam suatu norma hukum yang hendak diterapkan dalam suatu kasus kongkret, maka sebelum memutuskan kasus yang dimaksud, hakim yang bersangkutan mengajukan permohonann terlebih dahulu ke Mahkamah Konstitusi perihal konstitusionalitas norma hukum tersebut." Dari perihal diatas, menunjukan bahwa penerapan mekanisme Contitutional Question di Indonesia.
Beberapa putusan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang merupakan dampak dari dianutnya sistem dualisme yang memiliki dampak membingungkan masyarakat. Sudah semestinya menjadi perhatian yang penting dimana kedua mahkamah tersebut memiliki kedudukan yang sehahar dengan kewenangan yang tentu berbeda. Namun dalam lapangan, terdapat hubungan dan titik singgung wewenang diantara keduanya.
Daftar Rujukan:
Mahkamah Konstitusi. 2018. Laporan Kinerja Mahkamah Konstitusi Tahun 2018. Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi.