Pada setiap mimpi tentang keadilan selalu ada orang-orang yang siap berkorban. Para pejuang yang sudi mempertaruhkan, membela orang-orang yang tak selalu dikenalnya. Bukan hanya meninggalkan diri sendiri, tetapi kadang juga meninggalkan keluarga dan sanak famili dengan marabahaya yang jadi santapan sehari-hari.
17 tahun jelas bukan waktu yang sebentar untuk menunggu kapan negara menyelesaikan kasus yang satu ini. Yaitu pembunuhan munir said thalib yang ada di pesawat terbang. Munir said thalib adalah seorang aktivis HAM Indonesia yang mempunyai keturunan Arab-Indonesia. Sebelum beliau meninggal, jabatan terakhirnya adalah menjadi Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Ketika menjabat dewan kontras, namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada saat itu karena beliau lah yang mencari dengan giat untuk menemukannya.
Secara singkat, Munir adalah pria sederhana, anak keenam dari tujuh bersaudara. Lahir di malang dalam keluarga muslim keturunan Arab. Lahir 6 Desember 1965 dan lulusan dari UNIBRA Malang. Munir Said Thalib dibunuh di dalam pesawat Garuda Indonesia GA 974 dengan tujuan Jakarta-Amsterdam pada 7 September 2004. Munir ke Belanda dengan tujuan melanjutkan studinya. Hasil otopsi yang telah ada menyebutkan bahwa Munir meninggal diracun dalam perjalanan. Didalam tubuhnya terdapat racun arsenik dalam dosis fatal. Munir sempat dimakamkan di Batu, Malang, Jawa Timur. Setelah otopsi menyebut bahwa munir diracun, makamnya pun di bongkar.
Munir adalah seorang aktivis HAM yang cukup berpengaruh di Indonesia. Para aktivis HAM sering kali terancam keselamatannya karena sering pemikiran mereka yang berseberangan dengan pemerintahan. Oleh karena itu, tidak heran jika kasus pembunuhan yang terjadi pada Munir terlihat sangat janggal. Sangat besar kemungkinannya bahwa kaum elite penguasa ikut campur dalam kasus tersebut. Beberapa pelaku yang ditetapkan sebagai pembunuh dari Munir yang telah diketahui, ternyata diberikan sangsi dan denda saja. Proses hukum yang terlalu berbelit-belit dan kadang tidak jelas semakin membuat kasus pembunuhan terhadap Munir semakin tidak tahu kemana arahnya.
Motif pembunuhan aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib, pada 7 September 2004 masih misterius hingga kini. Diduga ternyata Munir dibunuh karena memegang data penting seputar pelanggaran hak asasi manusia seperti pembantaian masal di Talang Sari, Lampung tahun 1989, penculikan aktivis 1998, referensi Timor Timur, hingga kampanye hitam yang terjadi saat pemilihan presiden tahun 2004.
Banyak pihak yang berkepentingan memang terlihat dengan sengaja membuat kasus pembunuhan ini seakan tidak dapat ditemukan titik terangnya karena sebegitu bahayanya Munir bagi pihak atas. Pollycarpus Budihari Prayitno adalah salah seorang nama pelaku utama yang diduga sebagai pembunuh Munir dengan sengaja. Karena telah cukup banyak bukti yang mengarah bahwa Pollycarpus lah yang dengan sengaja memalsukan surat ijin terbangnya padahal pada saat itu ia mendapat cuti dari pekerjaannya yang telah dilakoninya. Sebelum Munir meninggal, Pollycarpus sempat meminta Munir untuk pindah tempat duduk dengannya. Akan tetapi. Pollycarpus yang dituduh sebagai pembunuh Munir langsung mengelak tuduhan yang diberikan. Dalam proses hukum, Pollycarpus hanya dihukum karena pemalsuan surat ijin saja.
Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi karena tidak ada nya keterkaitan hubungan apapun antara Munir dan Pollycarpus. Menurut dugaan, Pollycarpus hanyalah orang suruhan yang disuruh untuk membunuh Munir. Banyak bukti yang mengarah kepada Pollycarpus tetapi Pollycarpus hanya dihukum karena pemalsuan surat ijin tugas saja sedangkan tuduhan bahwa dialah yang membunuh Munir itu dihilangkan secara tidak langsung.
Banyak kejanggalan dan keanehan dari kematian Munir tetapi jaksa agung dan hakim sebagai titik penentuan hukuman tidak dapat memberikan hukuman yang seharusnya dijatuhkan kepada pelaku pembunuhan Munir. Secara tidak langsung, Indonesia telah kehilangan satu orang yang sangat berpengaruh dan pintar untuk menegakan kebenaran yang telah pudar saat itu. Layaknya orang yang cenderung mempunyai kebenaran pada suatu kasus maka akan disingkarkan jika kebenaran tersebut dirasa dapat merugikan pihak penguasa yang ada.
Indonesia sebagai negara Demokrasi sudah seharusnya mementingkan HAM yang seharusnya bisa memberikan hukuman secara adil yang baik terhadap kasus kematian Munir, karena hal ini termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia. Tetapi tidak adanya orientasi hukum yang jelas telah menyebabkan rakyat menjadi lebih anarkis, banyak yang menuntut kejelasan dari pembunuhan aktivis Munir yang sebenarnya. Diduga karena lemahnya hukum di Indonesia menyebabkan kasus tersebut menjadi tidak jelas dan tahun demi tahun akan terlupakan dengan sendirinya.
Pembebasan pidana seperti Pollycarpus membuat kasus ini kembali gelap dan tidak ada arah yang pasti. Walaupun banyak bukti dan saksi yang ditunjukan pada hakim dan jaksa tetapi tampaknya hal itu tak digubris sebagai masalah serius oleh pemerintah khususnya Mahkamah Agung yang menjadi penentu dihukumnya tindak kriminal dan kejahatan. Ketidak adilan hukum dan ketidakseriusan pihk pemerintah dalam menangani hal ini menimbulkan kasus ini menjadi suram. Seharusnya hukum itu dikedepankan agar dapat menjadi contoh dan mencegah penyelewengan para golongan atas yang semakin hari semakin berkuasa. Negar dibangun untuk bersama akan tetapi banyak masyarakat yang tertindas oleh kalangan atas karena hukum yang tidak bisa berpihak pada kaum kalangan bawah.
Jika memang kematian yang terjadi pada Munir hanyalah kasus pembunuhan biasa seharusnya masalah tersebut sudah terselesaikan atau minimal pemerintah serius dalam menangani kasus ini sejak lama. Kemungkinan besar para kaum atas memiliki pendapat bahwa Munir memang sudah seharusnya disingkarkan agar mereka tetap berkuasa tanpa adanya orang yang mengancam kekuasaan mereka tersebut. Mereka seharusnya mengurus rakyat dengan baik bukan hanya memiliki niat untuk tetapi mempertahankan kekuasaannya saja dan merugikan rakyatnya demi kepentingan diri yang tidak dibawa mati.