Dalam panggung drama politik, netralitas penyelenggara negara seringkali menjadi karakter yang sulit diidentifikasi. Seolah-olah menjadi keberadaan yang kabur di antara kepungan ambisi dan permainan kekuasaan. Pertanyaannya pun muncul: mungkinkah netralitas penyelenggara negara, ataukah kita hanya tengah terjebak dalam kisah mitos yang mempesona?
Netralitas seharusnya menjadi pilar utama bagi penyelenggara negara. Sebuah cita-cita suci yang menggambarkan mereka sebagai penjaga keadilan, tak terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau tekanan kelompok tertentu. Sayangnya, di dunia nyata, netralitas seringkali tampak seperti bintang di siang bolong - sulit dicari dan mungkin hanya ada dalam imajinasi kita yang naif.
Mari kita berbicara tentang netralitas penyelenggara negara, sebuah tema yang seringkali disajikan sebagai pencerahan, tetapi mungkin lebih mirip dengan petualangan fantasi. Seolah-olah, para penyelenggara negara berdiri di atas bukit moral yang tinggi, melihat ke bawah dengan pandangan tajam tanpa cacat, siap untuk mengambil keputusan yang adil. Namun, apakah dunia nyata bisa sesederhana itu?
Netralitas seakan-akan terkunci dalam peti mati kebijakan, dan kuncinya tampaknya telah hilang atau bahkan mungkin tidak pernah ada. Tertimbun di antara undang-undang yang rumit, intrik politik, dan genggaman kepentingan korporat, netralitas tampak seperti harta karun yang selalu dicari tetapi tidak pernah ditemukan.
Jika kita merenung lebih dalam, muncul pertanyaan kritis: apakah netralitas penyelenggara negara hanya mitos yang dibuat untuk menenangkan hati kita yang gelisah? Mungkin seperti cerita rakyat yang diceritakan oleh nenek moyang kita untuk membuat anak-anak tertidur dengan nyenyak. Sebuah dongeng yang indah, tetapi jauh dari realitas pahit kehidupan politik.
Netralitas tampaknya berada pada ujung jari penyelenggara negara, tetapi mengapa seringkali terasa begitu sulit untuk dipegang? Apakah mungkin, dalam perburuan kekuasaan dan keuntungan, netralitas adalah korban pertama yang dikorbankan? Seakan-akan, setiap kali seseorang mencoba meraih netralitas, ambisi dan kepentingan pribadi menariknya kembali ke jurang kebijakan yang gelap.
Bisa jadi, netralitas seharusnya memiliki tempat khusus dalam kamus politik, tetapi tampaknya malah diabaikan atau bahkan dilupakan. Seperti kata-kata yang terpencar di antara huruf-huruf lainnya, netralitas menjadi samar, dan kita berakhir dengan pertunjukan politik yang lebih mirip dengan drama sabun daripada panggung perjuangan moral.
Jika netralitas penyelenggara negara adalah sebuah hadiah, maka mungkin kita semua tengah berburu hadiah itu dalam hutan yang gelap dan penuh tipu muslihat. Para penyelenggara negara yang mengklaim netralitas mungkin hanya terlihat seperti pahlawan di mata kita, tetapi di belakang tirai, mereka mungkin tengah menari dalam pertunjukan politik yang penuh intrik dan sandiwara.
Mungkin kita perlu mengubah paradigma kita tentang netralitas penyelenggara negara. Bukan sebagai sesuatu yang dapat dipegang teguh, tetapi lebih sebagai aspirasi yang selalu terlihat di kejauhan. Sebuah bintang yang mungkin hanya dapat kita lihat dengan mata tertutup dalam tidur nyenyak kita, sementara dunia nyata terus berputar di sekitar kita.
Jadi, mungkinkah netralitas penyelenggara negara? Mungkin. Tetapi seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami, mungkin kita harus bersiap-siap untuk menemui banyak jerami palsu dan bahkan mungkin beberapa jarum yang tumpul. Kita berada dalam perjalanan yang penuh tantangan, di mana netralitas bukanlah tujuan yang pasti tetapi lebih seperti petualangan yang terus menggoda kita dengan kemungkinan yang misterius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H