Mohon tunggu...
Ahmad Rusdiana
Ahmad Rusdiana Mohon Tunggu... Praktisi Pendidikan, Penulis, Peneliti, Pengabdi, Pendiri/Pembina YSDPAl-Misbah Cipadung Bandung-Pendiri Pembina Yayasan Tresna Bhakti Cinyasag-Panawangan-Ciamis Jawa Barat. Peraih Kontributor Terpopuler Tahun 2024 di Repositori UIN Bandung

"Kompasiana Best Fiction Award Explorer" 22/1/2025

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pengajian Warga: Ekosistem Kurikulum Cinta dan Deep Learning dalam Pembelajaran Era 5.0

26 April 2025   06:03 Diperbarui: 26 April 2025   06:03 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dok. Kiriman Abah Acara Pengajian Warga, di Masjid Al-Muhajir RW 02 Kel. Cipadung Kidul Kec. Panyileukan Kota Bandung (24/4/2025). 

Pengajian Warga: Ekosistem Kurikulum Cinta dan Deep Learning dalam Pembelajaran Era 5.0

Oleh: A. Rusdiana

Di tengah semangat transformasi pendidikan Indonesia melalui Kurikulum Merdeka dan P5PRA (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Rahmatan Lil Alamin), muncul kebutuhan mendesak akan pendekatan pembelajaran yang lebih bermakna. Dalam masyarakat, praktik pengajian warga secara organik telah berkembang menjadi ekosistem pembelajaran yang kaya nilai dan makna. Pengajian warga telah berevolusi dari sekadar forum mendengar ceramah menjadi ruang pembelajaran reflektif. Di sinilah prinsip Kurikulum Cinta berakar: menanamkan kasih sayang terhadap Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa. Sementara deep learning atau pembelajaran mendalam merujuk pada proses berpikir kritis, empatik, dan kontekstual yang lahir dari pengalaman nyata.

Tulisan ini penting sebagai sumbangan gagasan bagaimana praktik pengajian warga dapat diadopsi sebagai model kurikulum berbasis nilai dan pengalaman nyata. Ini relevan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran pada Era 5.0, yang menuntut pendidikan berbasis hati, bukan sekadar hafalan. Berikut: 5 Pembelajaran dari Pengajian sebagai Ekosistem Kurikulum Cinta dan Deep Learning: 

Pertama: Refleksi Sosial sebagai Materi Autentik; Ketika seorang ibu rumah tangga menceritakan perjuangannya merawat anak difabel, peserta pengajian belajar langsung tentang empati, ketangguhan, dan tanggung jawab. Ini bentuk deep learning, di mana emosi dan pengalaman membentuk pemahaman jauh lebih dalam dari sekadar teori kelas.

Kedua: Penguatan Nilai Spiritual dan Ekologis (Ekoteologi); Kebijakan Kurikulum Cinta yang diinisiasi Kementerian Agama menyatukan spiritualitas dengan kesadaran ekologis. Dalam pengajian warga, tema menjaga alam sebagai amanah Tuhan menjadi praktik nyata ekoteologi. Misalnya, kegiatan tanam pohon bersama setelah pengajian sebagai wujud cinta pada lingkungan.

Keempat: Intergenerasional Learning; Anak muda dan lansia duduk bersama dalam satu lingkaran belajar. Dialog yang terjalin mempertemukan hikmah hidup dan semangat perubahan. Hal ini memperkuat nilai gotong royong dalam pembelajaran serta memperkaya dimensi P5PRA (Profil Pelajar Pancasila dan Rahmatan Lil Alamin).

Kelima: Partisipatif dan Kontekstual; Berbeda dari sistem belajar satu arah, pengajian memungkinkan peserta bertanya, berdiskusi, bahkan memberi testimoni. Topik pun relevan dengan kehidupan warga: dari krisis air bersih hingga strategi mengasuh anak remaja. Ini sesuai semangat Kurikulum Merdeka yang menekankan pada konteks lokal.

Kelima: Budaya Cinta dalam Tindakan Nyata; Kurikulum Cinta tidak berhenti pada slogan. Di pengajian, kasih sayang diwujudkan lewat aksi: membantu tetangga yang sakit, menggalang dana pendidikan anak yatim, hingga membangun koperasi warga. Cinta menjadi kurikulum hidup yang dijalani, bukan sekadar dihafal.

Pengajian warga telah menjadi ruang belajar yang hidup, relevan, dan berakar pada nilai-nilai luhur. Ia mengajarkan cinta dalam bentuk nyata, serta mendorong pembelajaran mendalam berbasis pengalaman. Rekomendasi untuk guru dan pemangku kepentingan: 1) Integrasikan model pengajian reflektif dalam proyek P5PRA; 2) Libatkan komunitas warga sebagai co-fasilitator pembelajaran berbasis konteks lokal; 3) Dorong kebijakan pendidikan yang mengakui ruang-ruang informal sebagai sumber belajar berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun