Ruang Dialog dalam Komunitas; Menumbuhkan Kurikulum Cinta dan Deep Learning dalam Pembelajaran Era 5.0
Oleh: A. Rusdiana
Di tengah gempuran teknologi dan disrupsi sosial Era 5.0, masyarakat mengalami keterasingan emosional dan spiritual. Ruang-ruang dialog dalam komunitas seperti musyawarah warga, pengajian RT, atau forum keagamaan menjadi tempat “bernafas” secara sosial dan batiniah. Di ruang-ruang ini, nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan keadilan dapat ditumbuhkan dan dibagikan secara setara. Menurut teori komunikasi transformatif, ruang dialog memungkinkan pertukaran nilai tanpa dominasi tafsir. Dalam konteks ini, dialog bukan hanya alat komunikasi, tetapi wahana pembelajaran sosial yang setara, mendalam, dan memanusiakan. Ruang ini selaras dengan prinsip deep learning yang mengutamakan refleksi bermakna dan Kurikulum Cinta yang menumbuhkan kasih pada Tuhan, sesama, dan alam.
Tulisan ini bertujuan menawarkan perspektif praktis dan reflektif tentang bagaimana ruang dialog dalam komunitas dapat menjadi laboratorium hidup bagi implementasi Kurikulum Cinta dan Deep Learning. Ini penting, terutama di tengah transisi Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka dan P5PRA, agar pendidikan tidak kehilangan dimensi spiritual dan ekologisnya. Berikut, ruang dialog dalam komunitas dapat menjadi laboratorium hidup bagi implementasi Kurikulum Cinta dan Deep Learning:
Pertama: Dialog Setara sebagai Pembuka Hati; Dalam komunitas, dialog musyawarah menciptakan atmosfer pembelajaran yang bebas dari penilaian. Seorang guru di pesantren Yogyakarta, misalnya, membimbing santri berdiskusi soal “rasa takut terhadap Tuhan” dalam forum ba’da maghrib, bukan dengan ceramah, tetapi dengan tanya-jawab terbuka. Ini mencerminkan Kurikulum Cinta, yang mengutamakan kasih dan bukan intimidasi.
Kedua: Pengajian sebagai Ekosistem Deep Learning; Pengajian warga bukan sekadar tempat mendengarkan ceramah, melainkan ruang reflektif atas kehidupan. Seorang ibu rumah tangga menceritakan pengalamannya merawat anak difabel di forum ini. Dari situ, peserta belajar empati, resiliensi, dan tanggung jawab sosial. Ini bentuk deep learning, karena pembelajaran terjadi dari pengalaman hidup nyata.
Ketiga: Forum Keagamaan sebagai Sarana Ekoteologi; Kurikulum Cinta yang dicanangkan Kemenag RI dan nilai ekoteologi bisa bertemu dalam forum keagamaan. Di sebuah masjid kampung di Kalimantan, takmir masjid membentuk “Majelis Sampah” yang menyatukan nilai ibadah dan tanggung jawab ekologis. Ini menunjukkan bahwa teologi tidak hanya berakhir di mimbar, tetapi hidup di bumi.
Keempat: Kurikulum Cinta Mendorong Dialog Antariman; Di sekolah lintas agama di Salatiga, praktik dialog antariman menjadi bagian dari pembelajaran agama. Guru-guru mendorong siswa membuat proyek video tentang toleransi. Mereka berdiskusi dengan komunitas agama lain, mengenal tanpa prasangka. Kurikulum Cinta hadir di sana—sebagai pengalaman, bukan sekadar teori.
Kelima: Musyawarah Sekolah sebagai Model Demokrasi Spiritual; Implementasi P5PRA dalam Kurikulum Merdeka bisa diperkaya dengan musyawarah sekolah berbasis nilai. Di SMA berbasis agama di Bandung, siswa rutin mengadakan forum “Suara Siswa” untuk menyuarakan gagasan dan kritik secara konstruktif. Guru hadir sebagai fasilitator, bukan penentu tunggal. Proses ini membentuk karakter cinta pada keadilan, dan membuka jalan deep learning.
Ruang dialog dalam komunitas terbukti menjadi tempat strategis untuk mengimplementasikan Kurikulum Cinta dan Deep Learning secara nyata. Ia membuka ruang bagi pendidikan yang menumbuhkan kasih, rasa hormat, dan tanggung jawab ekologis. Rekomendasi: 1) Guru perlu memfasilitasi dialog terbuka di kelas dan komunitas; 2) Pemangku kebijakan perlu mendorong integrasi nilai-nilai ekoteologi dan kasih dalam Kurikulum Merdeka; 3) Sekolah perlu bermitra dengan komunitas lokal agar pembelajaran tak berhenti di ruang kelas, tetapi hidup dalam praktik sosial.