Jahilia sering dianonimkan sebagai jaman kebodohan disebabkan rendahnya pengetahuan suatu umat manusia. Karen Armstrong membahas secara menarik sisi lain dari jaman "jahilia". Suatu kaum disebut jahilia bukan hanya karena dari segi pengetahuannya saja, namun Karen Armstrong melihat secara filosofis bahwa pemberian label jahilia melampaui dari semua itu.
Suku Quraisy dizaman dahulu sering di konotasikan sebagai kaum jahilia bukan karena ketidak tahuannya tentang kebenaran Agama Tauhid yang dibawakan oleh Rasulullah, namun karena sifat kasar, arogansi, chauvinisme dan kecenderungan balas dendam dengan kekerasan. Chauvinisme yang tinggi ini ditandai dengan kesetiaan kepada suku meski ada anggota suku yang bersalah, maka ia akan dibela habis-habisan. Anggota suku akan dibela saat ia dirugikan ataupun saat ia merugikan.
Setelah enam belas tahun bergulirnya reformasi, politik di Indonesia telah membentuk fenomena baru dalam masyarakat kita. Pada masa-masa pemilihan umum, masyarakat menjadi terkotak-kotak hanya karena berbeda pilihan dan masing-masing pihak melakukan pembelaan terhadap pilihannya itu. Seringlah terjadi gesekan horizontal dalam masyarakat kita. Bahkan tidak berhenti sampai ditetapkannya pemenang kontetasi pemilu, pengkotak-kotakan itu berlanjut pasca pesta demokrasi. Atau jangan-jangan politik kita telah masuk dalam lingkar jahiliah politik. Bahkan tidak asing di telinga kita pomeo politik "Tidak ada kawan abadi dan tidak ada musuh abadi, yang abadi adalah kepentingan".
Kelompok-kelompok politik hanya memperjuangkan dan mengedepankan keuntungan kelompoknya dari pada kepentingan masyarakat luas. Sering kali dalam perumusan dan pengambilan sebuah kebijakan pemerintahan menjadi terkendala karena tidak didukung oleh mayoritas sebuah fraksi. Menjunjung tinggi tradisi koalisi adalah salah satu bukti ketidak bersatuan itu.
Tradisi koalisi adalah hitung-hitungan keuntungan politik kelompok yang hanya menjauhkan bangsa ini dari tradisi kegotongroyongan. Sebut saja perseteruan dalam penetapan rancangan undang-undang pilkada langsung menjadi pilkada tidak langsung yang menuai pro dan kontra dalam masyarakat. Sekiranya rancangan undang-undang pilkada dari pilkada langsung menjadi pilkada tidak langsung berhasil disyahkan oleh DPR RI, maka ini akan semakin menegaskan bahwa posisi pemerintahan kedepan akan semakin labil. Bahkan menurut Siti Zuhro akan muncul dinamika politik yang liar antara pusat dan daerah. Â
Ini tentunya mengindikasikan bahwa dalam dunia politik kita, tidak lagi mengenal "etika timbal balik". Pada hal etika timbal balik Cunfusius mengajarkan bahwa jangan lakukan pada orang lain apa-apa yang kamu tidak ingin orang lain lakukan kepada kamu. Jika kita ingin membangun diri kita sendiri, maka kita harus berusaha juga untuk membangun orang lain.
Etika timbal balik tentunya berbeda dengan politik transaksional. Politik transaksional hanya melihat bahwa apa yang bisa engkau berikan kepada kami, maka kami pun akan memberikan ini kepada anda tapi jika anda tidak punya kontribusi kepada kepentingan kami, maka buat apa kami mempertahankan anda. Sementara seorang yang mengedepankan etika timbal balik akan selalu berfikir bahwa tidak selamanya ia akan berada dalam posisi yang menentukan, olehnya itu ia menebar kebaikan tanpa pamrih, tanpa hitung-hitungan politis. Etika timbal balik percaya adanya karma dalam seluruh jaringan kehidupan di dunia ini.
Seringkali sebuah kebijakan publik gagal dikarenakan kebijakan tersebut tidak melibatkan kepentingan rakyat didalamnya. Permainan kepentingan politik ditingkat elit terkadang mengebiri kebutuhan rakyat dan inilah yang menjadi penyebab rakyat antipati. Sementara disisi lain untuk melanggengkan pemerintahan harus tetap memupuk simpatik dan dukungan rakyat. Rakyat menjadi kecewa karena merasa hanya dijadikan obyek sasaran janji disaat kampanye, setelah terpilih malah janji itu terlupakan.Â
Ada baiknya dalam politik kita mengadopsi gagasan Karen Armstrong tentang gaya hidup welas asih (compassion). Compassion berarti menanggungkan sesuatu bersama orang lain, menempatkan diri kita dalam posisi orang lain untuk merasakan penderitaannya seolah-olah itu adalah penderitaan diri kita sendiri dan secara murah hati kita masuk dalam sudut pandangnya. Sebagai wakil rakyat tentunya harus bisa merefresentasikan diri untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dengan terlebih dahulu merasakan dan terlibat langsung pada apa yang dialami oleh rakyat.
Salah satu hal yang menarik perhatian rakyat dan hal ini juga menjadi salah satu pemikat terpilihnya Joko Widodo sebagai gubernur DKI Jakarta bahkan Sebagai Presiden Republik Indonesia ke-tujuh adalah gaya blusukannya. Yang dilakukan Pak Jokowi pada dasarnya adalah bentuk compassion politik, politik yang dilandasi oleh kasih sayang, ikut merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Sering-sering mengunjungi rakyat mendengarkan keluhannya tentunya bisa membuka mata dan pikiran para pemimpin untuk selalu dekan dengan rakyat. Pemimpin yang rendah hati akan menjadi panutan bagi rakyat.
Lain lagi bentuk kedekatan rakyat yang dilakukan oleh Presiden RI yang ke-enam Bapak Susilo Bambang Yudoyono, dengan membuka sistem SMS dan PO BOX 9949. Dengan sistem ini rakyat dapat menyampaikan langsung keluhannya kepada presidennya. SMS yang masuk akan diklasifikasikan dalam beberapa kategori diantaranya; korupsi, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, keamanan, dukungan rakyat, bantuan hukum, good governance, dan masalah umum. SMS-SMS yang masuk tersebut akan ditindak lanjuti sesuai dengan kategorinya. Dengan tersedianya wadah keluhan rakyat ini, Presiden dapat merasakan langsung suasana batin rakyatnya lebih riil. Kita berharap trobosan inovatif ini harus bisa terus berlanjut pada tampuk pemerintahan berikutnya. Ini juga merupakan perwujudan dari demokrasi langsung (direct democracy).