Mohon tunggu...
Ahmad Habibi
Ahmad Habibi Mohon Tunggu... Freelancer - Fulltime writer
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Freelance copywriter dan jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jejak Perempuan dalam Politik hingga Peran Mereka Melawan Pandemi

3 Juni 2021   07:58 Diperbarui: 3 Juni 2021   08:15 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partisipasi perempuan dalam dunia politik semakin luas. Selain dukungan dari perundang-undangan, sudah banyak sosok perempuan yang maju dalam kancah perpolitikan, memberi inspirasi bagi masyarakat.

Namun, jejak perjuangan perempuan untuk keluar dari stigma "rumah tangga" yang seakan hanya sebagai pelengkap, pendamping keluarga, ternyata cukup panjang. Pada masa Orde Baru, organisasi perempuan hanya dipusatkan pada bidang "keperempuanan".

Dikutip dari portal resmi LIPI, organisasi terkenal pada masa itu, Dharma Wanita, yang berdiri pada 1974, dikenal sebagai organisasi istri pegawai negeri. Program yang terkenal ialah Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dengan kegiatan yang mencakup lingkup rumah tangga.

Saat itu berjamuran pula Persatuan Istri Tentara, seperti Candra Kirana untuk istri angkatan darat, Jalasenastri untuk istri angkatan laut, atau PIA Ardhya Garini untuk istri angkatan udara, serta Bhayangkari untuk istri anggota Polri.

Setelah rezim Orba lengser, peran perempuan mulai keluar dari stigma tersebut. Bahkan, partai politik mulai memasukkan perempuan dalam struktur kepartaiannya. Lebih jauh, amandemen UUD 1945 telah memuat unsur kesetaraan gender dalam bentuk persamaan hak dan kewajiban antar sesama warga negara dalam semua bidang kehidupan.

Hal tersebut semakin diperkuat dengan UU No. 39 Tahun 1999 pasal 46 yang menyebutkan bahwa HAM menjamin keterwakilan perempuan, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Pencapaian yang paling mencolok adalah ketika para aktivis perempuan berhasil mendorong aturan tentang kewajiban kuota 30% bagi calon legislatif perempuan. Pada UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, misalnya, mewajibkan parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat.

Selain itu amanah untuk menyertakan perempuan dalam politik juga diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR-DPRD dan UU No.7 Tahun 2007 tentang Pemilu.

Persentase 30% tersebut diambil berdasarkan hasil penelitian PBB yang menyebutkan bahwa jumlah ini memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.

Meski demikian, keterpilihan caleg perempuan dalam pemilu harus menjamin kualitas dan kompetensi. Artinya, perempuan yang terpilih memang memiliki kompetensi untuk duduk sebagai perwakilan rakyat, sama halnya dengan kontestan laki-laki.  

Sementara itu, di Indonesia sendiri terjadi peningkatan jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR RI. Menurut Ketua DPR RI Puan Maharani, pada periode 2014-2019 ada sekitar 17% anggota DPR perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun