Mohon tunggu...
Ahmad Yahya
Ahmad Yahya Mohon Tunggu... Penulis - Kang Yahya

Kang Yahya

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilpres dan Nalar Waras Berkontestasi

22 Februari 2019   11:55 Diperbarui: 22 Februari 2019   12:15 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap manusia (agen) hidup dalam satu arena sosial tertentu. Arena sebagai tempat pertarungan memperebutkan yang berupa kekuasaan, harta, tahta, jabatan, kehormatan, ketenaran, prestise, simbol budaya, popularitas, dan pengakuan.

Perebutan tersebut ternyata tidak mudah, karena mereka harus bersaing, saling bergesekan, bertanding dan berjuang memperebutkan makna, tanda dan mengidentifikasi diri. Keberadaan partai politik sebagai ajang bermanuver dan berjuang dalam mengejar kekuasaan yang didambakan. Untuk mencapai hal itu, manusia harus berkompetisi untuk merebut kekuasaan.

Kontestasi selalu dipahami sebagai upaya penggambaran adanya persaingan dan perjuangan dalam hubungan-hubungan atau interaksi dimana nantinya akan muncul 'pemenang' yang tetap bertahan ( Foucoult, 2000:221). 

Dalam kontestasi terdapat beberapa pihak dengan kepentingannya masing-masing saling bernegosiasi maupun kompetisi. Kontestasi ini berlangsung dalam sebuah relasi sosial didalamnya : saling mendukung, berjuang, bersaing dan menghancurkan (Pradipto, 2007:220).

Pilpres kali ini benar2 menguras energi seluruh anak bangsa, hal apapun menjadi sangat sensitif untuk memecah dan menjadi perpecahan. Simbolitas mengkultuskan partai politik dan capres tertentu menjadi tujuan untuk melakukan apapun yang mereka mau. Nalar waras berkontestasi secara sehat diabaikan dan ditabrakkan tanpa arah.

Setiap kontestasi tidak semata-mata berujung kekuasaan, tetapi ada hal penting selain itu yaitu adanya proses keteladanan. Keteladanan bisa dihadirkan saat, sebelum dan sesudah kontestasi. Tidak adanya saling menghujat, menjatuhkan satu sama lain, pembunuhan karakter, menabrak segala aturan main, mengedepankan saling sikut dalam kontestasi dan kompetisi menjadi orang nomor wahid  di negeri ini sembari mengubur dalam-dalam nalar dan etika sehatnya.

Otak waras keteladanan harus ditumbuhkan oleh setiap para pendukung paslon yang berkontestasi. Semua harus mengaca menjadi panutan ditengah hiruk pikuknya negeri ini yang semakin terdegradasi moral dan etika. Menjadi penerang, bukan sebaliknya sebagai marcusuar dikegelapan dan malah memupuk kegelapan menjadi pekat. 

Etika berkontestasi benar-benar harus dipegang teguh oleh setiap capres dan cawapres dan pendukungnya. Jangan sampai kontestasi pilpres kali dipraktikkan secara telanjang dan fulgar.

Keteladanan merupakan ruh dasar untuk menjadi pemimpin. Pemimpin yang amanah akan menjalankan kepemimpinannya dengan mawas diri, tanggung jawab, rendah hati, tidak sombong, berani di kritik dan bahkan siap menerima kecaman dari bawahan, dan bahkan oposisi.

Pemimpin yang mengedepankan keteladanan akan tetap yakin bahwa keteladanan adalah jurus jitu untuk mempersatukan seluruh elemen bangsa dengan berbagai karakter dan kepentingannya.  

Keteladanan seorang pemimpin saat ini mungkin menjadi barang langka di negeri ini. Menjadi pemimpin bukan melayani, tetapi justru minta dilayani. Keteladanan seorang pemimpin sebenarnya ada dalam diri kita masing-masing. Tetapi kadang hal mendasar seperti ini dilupakan dan terlupakan, kalah dengan arus deras peradaban manusia yang semakin tak karuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun