Mohon tunggu...
Ahmad Fauriza Nur Advani
Ahmad Fauriza Nur Advani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran

Aku adalah seorang manusia yang oleh Tuhan ditakdirkan untuk hadir di muka bumi pada tahun dimana sepakbola Eropa dikejutkan oleh klub-klub semenjana. Selain itu, tahun kelahiranku pula menjadi tahun yang istimewa karena menjadi tahun kabisat pertama pada Millenium ketiga. Kata mamah kelahiranku adalah anugerah, mungkin saja itu doa dan harapan besar orangtua untuk anaknya, dan semoga saja doa itu menjadi doa yang nyata dan terpanjat selalu hingga hari kematianku.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Auw Tjoei Lan, Wajah Perjuangan Perempuan Tionghoa pada Masa Pergerakan Nasional

4 Juli 2024   00:11 Diperbarui: 4 Juli 2024   00:17 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa bangsa Indonesia pada masa Hindia Belanda mulai mendapatkan peluang yang lebih besar dalam banyak aspek ketika memasuki awal abad ke-20. Hal ini bukan tanpa alasan, melainkan semenjak berlakunya politik etis di Hindia Belanda yang diprakarsai oleh Van Deventer. Dengan demikian bangsa Indonesia, terutama para pemuda mulai mendirikan organisasi-organisa. Pun disamping itu, pada masa pergerakan nasional inilah perempuan-perempuan mulai memperjuangkan hak-hak mereka agar dapat memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Adapun tokoh yang terkenal karena dianggap menjadi pemantik dari perjuangan hak-hak perempuan tak lain dan tak bukan adalah Raden Ajeng Kartini yang surat-suratnya diterbitkan dalam bentuk sebuah buku yang berjudul ”Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Di samping perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, nyatanya perjuangan tersebut diwarnai oleh perjuangan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa pada masa itu. Hal ini disebabkan oleh beberapa golongan etnis Tionghoa merasakan tumbuhnya rasa nasionalisme atau kebangsaan dalam diri mereka untuk Indonesia ini. Meskipun demikian, tak semua orang-orang Tionghoa memiliki perasaan yang sama, bahkan beberapa bagian cenderung berpihak kepada pemerintahan Hindia Belanda karena Belanda sendiri yang mengeluarkan hak khusus seperti diperbolehkannya orang Tionghoa memiliki perwakilan di Volksraad dan hak istimewa lainnya.

Salah satu tokoh yang berasal dari etnis Tionghoa dan ikut berjuang terkhusus berjuang bagi kaum perempuan adalah Auw Tjoei Lan. Namanya mungkin tak sebesar dan setenar Kartini, akan tetapi jejak perjuangan dan jasanya sangatlah berarti. Kiprahnya dalam memberantas pelacuran dan menolong perempuan-perempuan yang menjadi korban dari perdagangan manusia merupakan suatu tindakan yang berani yang dilakukan oleh Auw Tjoei Lan.

Adapun Auw Tjoei Lan sendiri dilahirkan di Majalengka pada tahun 1889 yang merupakan anak dari seorang kapitan dan pengusaha yang ditunjuk oleh pemerintahan Hindia Belanda bertugas di Majalengka. Sejak kecil seorang Auw Tjoei Lan yang hidup di tengah-tengah kelurga yang berada, sudah mendapatkan pendidikan yang baik dan mempelajari hal-hal penting lainnya, hal ini tentu saja merupakan hal yang bisa dibilang merupakan privilage karena pada masa itu, kedudukan perempuan akan kalah oleh kedudukan laki-laki, sehingga tak jarang banyak perempuan yang tidak mendapat perlakuan yang layak. Akan tetapi, orang tua Auw Tjoei Lan memiliki sebuah pandangan yang menyatakan bahwasannya pendidikan itu sangat penting, sekalipun untuk perempuan, dan hal ini lah yang menjadi salah satu didikan baik yang diterima oleh Auw Tjoei Lan pada masa kecilnya.

Seiring berjalannya usia, Auw Tjoei Lan pada akhirnya dinikahkan dengan seorang kapitan yang bernama Lie Tjian Tjoen pada tahun 1907. Pasca menikah dengan Lie Tjian Tjoen, pada akhirnya Auw Tjoei Lan pindah ke Batavia. Hal ini karena menurut tradisi yang dipercaya oleh etnis Tionghoa pada masa itu ialah jikalau telah menikah, maka sang perempuan akan dibawa pergi oleh sang suami untuk tinggal selama beberapa waktu di rumah mertuanya. Pada masa kehidupannya di Batavia, Auw Tjoei Lan tidak kesulitan dalam beradaptasi dalam hal menjalin hubungan sosial. Hal ini ditunjukan dengan tidak sulitnya Auw Tjoei Lan berbaur bahkan dengan orang Eropa ketika Auw Tjoei Lan harus menemani sang suami ke beberapa acara.

Adapun kesadaran dan perjuangan yang dilakukan oleh Auw Tjoei Lan terbentuk ketika ia melihat sebuah fenomena yang cukup miris. Pada masa itu, banyak terjadinya perdagangan manusia yang terjadi di Batavia dan korban dari perdagangan manusia tersebut nantinya akan dijual ke rumah-rumah bordel dan menjadi pelacur. Korban tersebut banyak yang berasal dari China yang mana hal tersebut bisa terjadi karena mereka-mereka yang ekonominya lemah diiming-imingi uang besar dengan bekerja di luar negeri. Hal ini juga merupakan dampak dari keruntuhan ekonomi pasca terjadinya perang candu di China. Adapun seorang kenalan Lie Tjian Tjoen dan Auw Tjoei Lan, yakni Dokter Zigman mengajaknya untuk membentuk asosiasi atau perkumpulan yang menolong korban dari perdagangan manusia dan pelacuran.

Dengan demikian, maka pada tahun 1914, pasangan Auw Tjoei Lan dan Lie Tjian Tjoen resmi mendirikan Yayasan Hati Suci yang dibangun untuk menolong korban perdagangan manusia dan pelacuran. Selain itu Dokter Zigman pun ikut membersamai berjalannya yayasan ini. Dan dalam keterlibatannya mengurus yayasan tersebut, Dokter zigman juga turut mengajak dua orang lainnya, yakni D. Van Hindeloopen dan Soetan Temanggoeng.

Pasca berdirinya Yayasan Hati Suci, akhirnya banyak yang berhasil ditampung dan diberikan pendidikan dan perawatan yang layak. Mereka-mereka yang ditampung diberikan pendidikan yang layak juga diberikan pemahaman dan pembekalan, khusunya terhadap perempuan untuk pernikahan. Selain itu juga perjuangan lain yang tak sia-sia yang dilakukan oleh Auw Tjoei Lan adalah membawa isu mengenai perdagangan manusia dan pelacuran pada kongres yang dinaungi oleh PPPI atau Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia yang pada akhirnya membentuk komisi dalam memberantas permasalahan tersebut.

Selain itu pada tahun 1937, Auw Tjoei Lan juga menjadi pembicara di depan Liga Bangsa-Bangsa yang mengurusi persoalan perdagangan perempuan, mewakili Indonesia di Bandung. Pada saat itu, Auw Tjoei Lan berbicara atas pengalamannya dalam menanggulangi perdagangan tersebut. Auw Tjoei Lan juga berbicara mengenai pemberian pendidikan yang lebih bagi perempuan, menyediakan rehabilitasi bagi perempuan, dan komplotan yang melakukan perdagangan manusia tersebut diberantas. Hal ini merupakan hal yang sangat berani, apalagi menilik bahwa dalam perjuangannya, Auw Tjoei Lan kerap mendapat ujian. Bahkan pernah sekali waktu Auw Tjoei Lan mendapat ancaman pembunuhan, akan tetapi itu semua tidak membuatnya gentar dan menyerah. Bahkan pemerintah Belanda sendiri memberikan penghargaan berupa bintang Ridder in de Orde van Orenje Nassau. Adapun perjalanan Auw Tjoe Lan harus berhenti karena ia wafat pada tahun 1965.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun