Pada masalah seperti ini dan seperti yang telah dibahas di atas, aku punya pengalaman memberikan terapi diit pada pasien dengan gizi buruk, seperti kwarshiorkor, marasmus dan marasmic kwarshiorkor dengan ancaman stunting yang menanti di  masa depannya.Â
Sebagaimana prosedur operasi standar atau standar operasional prosedur (standard operating procedure, SOP) bidang gizi, baik gizi klinik (clinical nutrition), maupun gizi masyarakat (public nutrition), maka aku memberikan konsul berupa pemberian Diit Tinggi Kalori dan Tinggi Protein (D-TKTP).Â
Jelas di sini diit haruslah yang tinggi kalori dan tinggi protein dengan catatan disesuaikan dengan makanan pokok utama pada masyarakat, maupun dengan penganekaragaman (diversifikasi) pangan dan gizi, terutama sumber karbohidrat dan sumber protein, baik protein hewani maupun nabati.
Kesemuanya disesuaikan dengan adat istiadat, seperti pantangan, tabu atau pamali, Â kebiasaan hidup, ketersedian sumber pangan, harga pangan dan cara mengolah pangan dan lain-lain.
Pemberian diit pun dilakukan dengan berbagai cara dari mulai makanan lewat pipa (MLP), sonde fooding, feeding tube atau nasogastric tube (NGT), yaitu suatu alat bantu medis yang digunakan untuk mengatasi masalah pemberian nutrisi pada pasien yang mengalami kesulitan menelan ataupun menolak untuk makan (seperti misalnya mogok makan).Â
Penempatan tabung alat bantu pemberian makanan ini dapat dilakukan secara sementara (pada kondisi akut) ataupun permanen (pada kondisi ketidakmampuan kronis). Tanpa adanya teknologi alat bantu ini maka banyak sekali pasien yang kemungkinannya untuk hidup berkurang.Â
Selain MLP itu ada makanan cair, makanan saring (berupa bubur saring), makanan lembek/makan lunak dan makanan biasa, tergantung pada situasi dan kondisi pasien.
Sebagaimana misalnya, dahulu ada pengalaman sangat menarik, yaitu ketika aku bertugas di sebuah pusat kesehatan masyarakatat (puskesmas) di sebuah kecamatan di sebuah kabupaten di Provinsi Timor Timur, pernah ada bantuan dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes-RI) dan lembaga Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Children's Fund, UNICEF), sebuah organisasi  Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memberikan bantuan kemanusiaan dan perkembangan kesejahteraan jangka panjang kepada anak-anak dan ibunya di negara-negara berkembang.Â
Lembaga ini adalah salah satu anggota dari United Nations Development Group (UNDP) dan bermarkas besar di kota New York. Pengalamanku dalam kegiatan proyek Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK), yaitu adanya penolakan secara halus dan terang-terangan bantuan pemberian makanan tambahan (PMT) penyuluhan dan pemulihan berupa kacang hijau, susu kental manis dan gula pasir.Â
Apa masalahnya, karena mereka orang Timor, khususnya ibu bayi dan balita menganggap, bahwa kacang hijau adalah lulik (adat, tabu atau pamali) yang tidak boleh dilanggar, meskipun aku dan rekan-rekan sejawat medis dan paramedis meyakinkan mereka, bahwa kacang hijau kaya akan gizi, protein, vitamin, mineral dan serat yang baik, bagi balita dan anak-anak mereka. Ini aneh tapi nyata.Â
Ketika aku konsultasikan dengan seniorku di Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) di Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Republik Indonesia di Provinsi Timor Timur, Dinas Kesehatan Provinsi Timor Timur, maupun Perwakilan UNICEF di Timor Timur, kesemuanya menjawab, bahwa jika ada penolakan yang masif, maka bahan PMT itu tidak perlu dikembalikan, melainkan boleh dimasak dan dikonsumsi sendiri.Â