Asal-Usul Nama Purwakarta
Menurut manuskrip Babad Wanayasa karya Moehammad Moekri, nama 'Purwakarta' diusulkan oleh seorang cutak -- setingkat wedana atau yang kemudian disebut wedana -- Sindangkasih yang bernama Purbasari. Nama 'Purwakarta' memiliki arti tersendiri, kata 'Purwa' artinya mulai atau baru dan 'Karta' artinya aman, damai dan sejahtera.Â
Pada masa itu nama 'Purwakarta' belum popular seperti sekarang. Masyarakat masih mengenal daerah itu dengan nama Sindangkasih, sebuah kelurahan yang saat ini pun masih ada dan berlokasi tidak jauh dari pusat kota. Secara resmi nama Purwakarta disahkan pada hari Rabu tanggal 20 Juli 1831 melalui Besluit Asisten Residen Krawang di Sindangkasih, G. De Seriere.
Sejarah Purwakarta
Menurut catatan sumber Kolonial Hindia Belanda, Java Bode, ketika Kabupaten  Karawang diperintah oleh Bupati Raden Adipati Aria (R.A.A.) Suriawinata (1829-1849), ibukota Kabupaten dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih pada hari Sabtu tanggal 09 Januari 1830.Â
Pada masa Hindia Belanda, perpindahan ibukota Kabupaten  bukan hal yang aneh, karena memang terjadi di beberapa daerah. Di Priangan misalnya, antara awal sampai dengan pertengahan abad ke-19, sejumlah Kabupaten mengalami perpindahan  ibukota. Beberapa Kabupaten   bahkan  mengalami  perpindahan ibukota berulangkali. Misalnya, tahun 1810 ibukota Kabupaten Bandung dipindahkan dari Krapyak (Dayeuhkolot sekarang) ke kota Bandung yang didirikan tahun itu.Â
Pada tahun yang sama, ibukota Kabupaten Parakanmuncang dipindahkan ke Andawadak (kira-kira Tanjungsari, Sumedang sekarang). Tahun 1815 ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan (perpindahan kedua kali) dari Imbanagara ke Cibatu (Ciamis). Tahun 1832 ibukota Kabupaten Sukapura dipindahkan (perpindahan ketiga kali) dari Sukaraja ke Pasirpanjang, kemudian ke Manonjaya. Pemindahan ibukota Kabupaten pada dasarnya adalah inisiatif bupati yang bersangkutan.
Mengacu pada pemindahan ibukota kabupaten-kabupaten di Priangan, pemindahan ibukota Kabupaten Karawang pun adalah gagasan Bupati yang disetujui oleh Asisten Residen dan Residen. Perpindahan ibukota Kabupaten tentu memiliki alasan dan tujuan. Dalam perpindahan ibukota kabupaten- kabupaten di Priangan, selain berdasarkan alasan yang sama, juga memiliki alasan yang berbeda. Akan tetapi, tujuan utama perpindahan itu sama. Demikian pula tujuan utama perpindahan ibukota Kabupaten Karawang ke Sindangkasih pada dasarnya sama dengan perpindahan ibukota beberapa Kabupaten di Priangan, yaitu untuk kelancaran jalannya pemerintahan dan kemajuan kehidupan pemerintah serta masyarakat daerah setempat. Ibukota Kabupaten Karawang dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih karena Wanayasa yang terletak di bagian Selatan Karawang, kurang strategis sebagai pusat pemerintahan dan beberapa alasan lainnya. Â Â
Menurut beberapa sumber tradisional, seperti manuskrip Babad Wanayasa karya Moehammad Moekri, proses perpindahan itu diawali oleh pencarian tempat yang dianggap baik untuk pusat pemerintahan kabupaten. Pencarian tempat dilakukan oleh Bupati R.A.A. Suriawinata disertai oleh para penasehatnya. Dalam upaya mencari tempat itu, bupati selalu meminta petunjuk dari Allah Subhanahu wa Taala melalui Shalat Istikharah. Â Memang ia sangat taat menjalankan ajaran agama Islam. Setiap waktu dan di setiap tempat, ia selalu membaca Shalawat. Â Oleh karena itu Bupati R.A.A. Suriawinata mendapat julukan Dalem Shalawat dari masyarakat pribumi Karawang.
Sindangkasih dipilih menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Karawang menggantikan kedudukan Wanayasa, berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertimbangan itu menyangkut beberapa faktor.Â
Pertama, letak Sindangkasih cukup strategis bagi jalannya pemerintahan, karena berada di bagian tengah daerah Karawang. Kedua, tanahnya subur dan arealnya memungkinkan untuk dikembangkan. Ketiga, memiliki sumber air, yaitu kolam (situ, empang) yang kemudian dibangun menjadi Situ Buleud. Keempat, suhu udara di Sindangkasih cukup menyenangkan (berhawa sedang-panas). Â Suhu udara demikian sangat disenangi oleh para pejabat kolonial, antara lain residen dan asisten residen. Kelima, keberadaan Cikao sebagai pelabuhan sungai, adalah salah satu faktor penting bagi kehidupan ekonomi masyarakat daerah setempat. Â
Dengan kata lain, kondisi Sindangkasih waktu itu dianggap lebih baik bila dibandingkan dengan kondisi Wanayasa. Pertimbangan-pertimbangan itu memang sesuai dengan tradisi masyarakat Sunda waktu itu dalam menentukan tempat untuk pusat pemerintahan.
Sindangkasih Menjadi Purwakarta
Sindangkasih telah lama ada dan dikenal jauh sebelum kepindahan Kabupaten  Karawang di Wanayasa ke Sindangkasih, yaitu sejak masa Galuh Pajajaran dan Pakuan Pajajaran yang dapat dibuktikan melalui jalan raya kuno (Pajajaran Highway) dari sejak Kawali -- Karang Sambung -- Tomo -- Kutamaya -- Cisalak -- Sagalaherang -- Wanayasa -- Kembang Kuning -- Cikao -- Tanjungpura -- Cibarusah -- Warung Gede -- Cileungsi hingga Batutulis, Pakuan.
Hal ini juga dapat dibuktikan melalui peta kuno berupa Arsip Peta (Map Archief):
- Peta Sindangkasih dan sekitarnya, karya Wimmercrantz, 05 Desember 1778.
- Peta Cikao dan sekitarnya, karya J.G. Mathee, 21 Juli 1790.
- Peta Citarum dan sekitarnya, karya Eerhardt, 1809/1810.
- Peta Cikao dan sekitarnya, karya Anonim, 1840.
- Peta Lampiran Skripsi "Pelaksanaan Proyek Djatiluhur", karya R. Walujo Basuki bin R. Pardjan Partodihardjo, FISIP UGM, Yogyakarta, 1966.
Setelah Bupati R.A.A. Suriawinata menetap di Sindangkasih, sebagian dari daerah itu segera dibangun menjadi ibukota baru Kabupaten Karawang. Dapat dipastikan, pembangunan kota itu didasarkan pada-pola kota tradisional, dengan ciri utama alun-alun sebagai pusat kota, pendopo di sebelah Selatan alun-alun, masjid agung di sebelah Barat alun-alun dan rumah keluarga bupati di sebelah Timur alun-alun.Â
Pola kota dengan ciri-ciri tersebut memang merupakan pola kota-kota lama di Jawa Barat khususnya dan di Pulau Jawa umumnya. Pola ini mengacu pada tata kota jaman Kesutanan Cirebon dan Kesultanan Mataram Islam dan keduanya mengacu pada tata kota Kerajaan Majapahit.
Sindangkasih  sebagai  ibukota  Kabupaten Karawang  diresmikan  berdasarkan Besluit (Surat Keputusan) Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tanggal 20 Juli 1831 Nomor 2 (Lampiran 1), dengan nama baru, Purwakarta. Akan  tetapi, nama Sindangkasih tetap digunakan, yaitu sebagai nama distrik di wilayah ibukota Kabupaten  (sekarang menjadi nama kelurahan). Surat keputusan tersebut adalah sumber akurat dan primer serta mengandung makna yuridis formal.  Oleh karena itu, tanggal 20 Juli 1831 merupakan fakta sejarah tentang berdirinya kota/daerah bernama Purwakarta.
Menurut Djoenaedi Abdoelkadir Soemantapoera, dalam buku karyanya yang berjudul "Sejarah Purwakarta I: Dari Karawang ke Purwakarta Lewat Wanayasa (1633-1942)", bahwa: kepindahan ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih yang kemudian hari berganti nama menjadi Purwakarta oleh bupati R.A.A. Soeriawinata (Dalem Shalawat) diiringi oleh segenap anggota keluarga, kerabat dan pejabat Kabupaten  beserta rakyat Wanayasa ini terjadi pada hari Minggu Legi tanggal 02 Mei 1830 sekitar pukul 10.00 WIB yang kemudian diadakan upacara selamatan/syukuran kepindahannya dan sekaligus penetapan ibukota Kabupaten  Karawang yang berkedudukan di Purwakarta pada hari Jumat Legi tanggal 07 Mei 1830 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 16 Dzul-qa'dah (Hapit) 1245 Hijriyah, sekitar pukul 09.00 WIB.Â
Dengan Chandra Sangkala: "Swarga Katon Bhujangga Budhi" 1830. Arti harfiahnya adalah 'Surga kelihatan oleh bhujangga yang berbudi'. Ada pun pengertiannya adalah: karena lebih dahulu aman dan lebih dahulu sentosa, maka karena kekuatan dan keamanan kita itu kepercayaan terhadap Allah, Tuhan Yang Maha Esa semakin bertaambah tebal. Berikut ini adalah catatan tentang persamaan kalendernya:
- Tanggal Masehi: 07 Mei 1830, Jumat Sukra
- Tanggal Jawa: 14 Dulkaidah (Hapit) 1757, Jemuwah, Legi
- Tanggal Hijriah: 14 Dzul Qaidah 1245, Jumat
- Dina, Pasaran: Jemuwah, Legi
- Windu, Lambang: Sangara, Kulawu
- Warsa: Jimawal
- Wuku: Warigagung / Warigadyan
- Mangsa: Kasewelas-Sadha (Dhesta) (19/04 s/d 11/05)
- Musim: Mareng
Menurut Djoenaedi Abdoelkadir Soemantapoera, bahwa R.A.A. Soeriawinata pada tahun 1830 memindahkan ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih. Sebagai seseorang yang taat kepada agama Islam dan masih patuh pada cara perhitungan buhun untuk pindah itu beliau memakai perhitungan Pranatamangsa. Yang dipakainya adalah mangsa Desta, antara 19 April 1830-12 Mei 1830. Mangsa Desta, yaitu waktu yang baik untuk hal-hal yang baik seperti pindah tempat, pindah rumah, menikahkan, membuat rumah, memberi nama dan lain-lain. Pranatamangsa adalah penanggalan rakyat yang sungguh hidup dalam masyarakat dari dahulu sampai sekarang.Â
Untuk mengetahui pergantian musim, baik musim kemarau maupun musim hujan dengan mengadakan perhitungan bulan dan tahun menurut jalannya matahari. Pengetahuan itu dimiliki secara turun temurun dan digunakan dalam bidang pertanian, terutama dalam hal bertanam padi di sawah. Pengetahuan orang Sunda itu menunjukkan persamaannya dengan pengetahuan orang Jawa. Orang Sunda mengetahui juga peredaran bintang di langit. Pada bulan November (Mangsa Kanem), Bintang Wuluku (Orion), pada waktu subuh kelihatan di ufuk Timur, dianggap oleh petani untuk mulai mengerjakan sawah.
Kira-kira bulan April (Mangsa Desta), Bintang Wuluku itu pada permulaan malam tampak terbalik. Hal ini pertanda untuk menyimpan bajak, sudah selesai menuai padi. Orang-orang beristirahat, waktu itu adalah waktu yang baik untuk mengerjakan hal-hal yang baik.Â
Pada mangsa Desta itulah yang dipakai oleh bupati R.A.A. Soeriawinata untuk memindahkan ibukota Kabupaten Karawang di Wanayasa ke Sindangkasih dan bersama-sama dengan Purbasari memberi nama Purwakarta. (Nama Purbasari ini sementara masih sangat misterius karena siapakah ia, darimana asalnya dan apa saja kiprahnya belum ada data yang dapat dipertanggungjawabkan, kecuali manuskrip Babad Wanayasa karya Moehammad Moekri, belum ada manuskrip tradisional maupun sumber arsip kolonial).
Beliau selalu membaca shalawat dimana saja dan kapan saja tak ada waktu yang terlewat oleh karena itulah maka beliau mendapat sebutan Dalem Shalawat. Beliau pindah ke kabupaten di sebelah barat Situ Buleud, setelah mendapat ilafat yang diterimanya setelah shalat istikharah, antara tidur dan tidak tidur beliau mendengar suara, bahwa ibukota Kabupaten Karawang harus dipindahkan dari Wanayasa ke sebelah Utara dimana terdapat sebuah kolam (situ) dan di sanalah harus didirikan kabupaten. Kabupaten itu sendiri dibuat pada tahun 1829 sebelum pindah dari Wanayasa ke Purwakarta. R.A.A. Soeriawinata pindah dari Wanayasa ke Sindangkasih pada hari Minggu tanggal 02 Mei 1830, pukul 10.00 pagi, diikuti oleh seluruh keluarga dan pegawai kabupaten, demikian juga rakyat banyak yang mengantarkannya.
Kapankah mulai ada nama Purwakarta? Jawabannya adalah setelah 5 (lima) hari bupati R.A.A. Soeriawinata memindahkan ibukota Kabupaten Karawang di Wanayasa ke Sindangkasih dan pemberian nama itu disetujui oleh bupati R.A.A. Soeriawinata, yaitu pada hari Jumat Legi tanggal 07 Mei 1830 sekitar pukul 09.00 pagi atau bertepatan dengan tanggal 16 Hapit 1245 Hijriyah di Kabupaten Karawang yang berkedudukan di Purwakarta yang letaknya di sebelah barat Situ Buleud -- pada saat diadakan syukuran kepindahan.
Beberapa kalangan menanggapi pendapat atau versi Djoenaedi Abdoelkadir Soemantapoera dalam Seminar Sejarah Purwakarta pada tanggal 31 Juli 1986. Pada garis besarnya mereka semua sama-sama memuji pendapat tersebut dan menerima tanpa reserve. Terdapat beberapa nama pejabat dan tokoh masyarakat yang ikut hadir dalam seminar sejarah tersebut. Selain seminar sejarah tersebut, menurut Djoenaedi Abdoelkadir Soemantapoera di Purwakarta paling tidak sudah 3 (tiga) kali diselenggarakan acara seminar yang sama (termasuk yang diselenggaraka pada tanggal 31 Juli 1986), kemudian pada tanggal 18 November 2000 dan terakhir pada tanggal 20 Juli 2004 yang lalu.
Menurut pendapat beberapa kalangan, menanggapi versi Djoenaedi Abdoelkadir Soemantapoera, bahwa tanggal ini dianggap sebagai hari jadi Purwakarta berdasarkan analogi pada tradisi, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Jawa dalam mencari hari, tanggal dan bulan baik tiap tahun berdasarkan penanggalan Pranatamangsa, untuk melakukan kegiatan penting, seperti bertani, pindah tempat tinggal dan pemberian nama.
Menurut perhitungan Pranatamangsa, hari dan tanggal baik tahun 1830 berada dalam Mangsa Desta yang mencakup tanggal 19 April sampai dengan 12 Mei. Dalam Mangsa Desta tanggal 02 Mei 1830 dianggap tanggal yang baik untuk pindah tempat, maka tanggal itulah 'diduga' bupati Karawang R.A.A. Soeriawinata pindah dari Wanayasa ke Sindangkasih. Pergantian nama Sindangkasih menjadi Purwakarta 'diduga' terjadi pada tanggal 07 Mei 1830, karena pada Mangsa Desta, tanggal itu dianggap sebagai tanggal yang baik untuk memberi nama.
Menurut Ahmad Said Widodo, versi ini mengandung kelemahan, karena beranalogi pada tradisi. Memang, kepercayaan akan Pranatamangsa sangat kuat dalam kehidupan masyarakat tradisional Jawa, termasuk masyarakat tradisional Sunda. Tahun 1830 diduga sebagai tahun perpindahan bupati, masih dapat diterima, karena tahun itu berada dalam periode pemerintahan bupati R.A.A. Soeriawinata (1829-1849). Akan tetapi, dugaan tanggal 02 Mei 1830 sebagai tanggal pindahnya bupati Karawang R.A.A. Soeriawinata dari Wanayasa ke Sindangkasih adalah dugaan yang lemah karena tidak ditunjang oleh data lain.
Demikian pula, dugaan pemberian nama Purwakarta terjadi tanggal 07 Mei 1830, sulit untuk dapat diterima karena tidak ditunjang oleh data lain yang memperkuat dugaan itu. Dugaan itu mengandung arti, bahwa nama Sindangkasih diganti menjadi Purwakarta setelah bupati R.A.A. Soeriawinata tinggal di daerah Sindangkasih selama 5 (lima) hari.
Beberapa sumber sejarah menunjukkan, bahwa kota Purwakarta dibangun sebagai ibukota kabupaten . Kota itu berasal dari lahan kosong yang sebagian besar berupa hutan wilayah Sindangkasih. Kota Purwakarta diresmikan setelah di sana dibangun infrastruktur untuk jalannya pemerintahan, paling tidak pendopo kabupaten. Arti kata 'Purwakarta' menunjukkan, bahwa ibukota baru Kabupaten Karawang itu baru diberi nama Purwakarta, setelah kota itu mulai menunjukkan perkembangan, baik aspek fisik maupun aspek kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu sulit dipercaya apabila kota Purwakarta dan pendopo selesai dibangun dalam waktu 5 (lima) hari (02-07 Mei 1830) dan pemberian nama Purwakarta terjadi tanggal 07 Mei 1830.
Tanggal-tanggal yang disebutkan dalam versi tersebut, tidak ditemukan dalam sumber sejarah, baik secara tegas tersurat (explicit) maupun secara halus tersirat (implicit). Hal ini menunjukkan versi hari jadi Purwakarta tersebut tidak sesuai dengan ketentuan memilih tanggal hari jadi. Pemilihan tanggal dalam versi itu lebih cenderung didasarkan pada subjektif-emosional, bukan objektif-rasional. Oleh karena itu dari sisi sejarah, khususnya kaidah bentuk sumber versi tersebut tidak dapat diterima sebagai sumber acuan hari jadi Purwakarta.
Menurut Ahmad Said Widodo, Djoenaedi Abdoelkadir Soemantapoera sudah melakukan sesuatu hal yang sangat baik dengan melakukan penelitian ilmiah bidang sejarah, khususnya Sejarah Purwakarta, seperti pernyataannya pada bukunya yang berjudul "Sejarah Purwakarta I: Dari Karawang ke Purwakarta Lewat Wanayasa (1633-1942)" dalam Riwayat Penulis pada halaman 234 tertulis:
"......... 2. Pengalaman / Pekerjaan ......... (6) Mulai tahun 1958-1989, mengadakan penelitian Sejarah Purwakarta, mengunjungi Museum Gajah di Jakarta, Arsip Nasional di Pasar Minggu, Jakarta, meneliti naskah-naskah yang ada di tempat itu ........."
Juga pada buku karyanya yang lain yang berjudul "Hari Jadi Purwakarta 07 Mei 1830 M."Â Dalam Kata Pengantar pada halaman (v) tertulis:
"Sejak tahun 1957, Penulis mengadakan penelitian ilmiah mencari Hari Jadi Purwakarta. Metode riset yang Penulis pakai, sehingga dapat menentukan Hari Jadi Purwakarta, sebagai berikut: a. Mengunjungi Gedung Arsip Nasional di Jl. Gajah Mada, Jakarta (sekarang pindah ke Pasar Minggu). Yang tersedia arsip-arsip sejak jaman penjajahan Belanda, sampai tahun 1860 dan Musium Gedung Gajah di Jakarta dan Musium Sri Baduga di Bandung ......... ".
Hal ini bagi Ahmad Said Widodo adalah sesuatu yang sangat hebat dan luar biasa, bahwa seseorang begitu peduli terhadap sejarah yang nota bene adalah sejarah kota atau kabupatennya sendiri dan pada saat orang lain begitu acuh tak acuh. Beliau melakukannya secara intens dalam kurun waktu 1957-1958 sampai dengan 1989. Namun sayang sebagaimana dinyatakannya soal hari jadi Purwakarta, nampaknya ada banyak hal yang dilewatkannya, antara lain kalau benar beliau selama 1957-1958 hingga 1989 mengunjungi Arsip Nasional sebagaimana dituturkannya:
".......... Arsip Nasional di Pasar Minggu, Jakarta, meneliti naskah-naskah yang ada di tempat itu ........." kemudian ".......... Mengunjungi Gedung Arsip Nasional di Jl. Gajah Mada, Jakarta (sekarang pindah ke Pasar Minggu). Yang tersedia arsip-arsip sejak jaman penjajahan Belanda, sampai tahun 1860 ......... ",
maka semestinya beliau sudah menemukan bukti-bukti fisik otentik seputar Sejarah Purwakarta maupun hari jadi Purwakarta, jauh sebelum orang lain mencari dan menemukannya. Dalam penulisannya beliau terlalu banyak terpengaruh oleh pendapat Hoessein Djajadiningrat dan R. Soekanto, sementara dalam kesempatan-kesempatan lain, seakan-akan pendapat atau hipotesanyalah yang paling benar sementara pendapat atau hipotesa orang lain adalah salah besar. Demikian pula dalam buku-buku karyanya banyak sekali hal-hal yang harus diperbaiki atau diluruskan.
Namun setelah Ahmad Said Widodo meneliti manuskrip-manuskrip atau naskah-naskah lainnya, diantaranya adalah karya yang diberi judul "Babad Wanayasa" karya dari Moehammad Moekri di Wanayasa yang ditulis dalam huruf Arab dan berbahasa Sunda (huruf Pegon atau huruf Jawi)Â serta ditransliterasikan atau diterjemahkan oleh cucunya yang bernama Grah Nurbudi (Ayi), maka Ahmad Said Widodo berkesimpulan, bahwa Djoenaedi Abdoelkadir Soemantapoera mendasarkan bukunya pada karya naskah "Babad Wanayasa" ini secara utuh bahkan tanpa pernah sedikit pun mencantumkannya sebagai sumber referensi maupun nama Penulis aslinya sebagai narasumber.
Di samping itu, Ahmad Said Widodo berkesimpulan pula, bahwa semestinya versi ini lebih layak disebut sebagai versi Moehammad Moehri daripada disebut versi Djoenaedi Abdoelkadir Soemantapoera karena hingga saat ini belum ditemukan naskah yang lebih tua usianya dibandingkan naskah karyanya tersebut. Menurut pendapat beberapa kalangan, sebagai berikut:
"......... Oleh karena itu sulit dipercaya apabila kota Purwakarta dan pendopo selesai dibangun dalam waktu 5 (lima) hari (02-07 Mei 1830) dan pemberian nama Purwakarta terjadi tanggal 07 Mei 1830."
Ini menandakan, bahwa tidak teliti dan tidak jeli membaca buku karya Djoenaedi Abdoelkadir Soemantapoera. Di dalam buku sumber tersebut terdapat kalimat:
"......... bahwa ibukota Kabupaten Karawang harus dipindahkan dari Wanayasa ke sebelah Utara dimana terdapat sebuah kolam (situ) dan di sanalah harus didirikan kabupaten. Kabupaten itu sendiri dibuat pada tahun 1829 sebelum pindah dari Wanayasa ke Purwakarta. ........."
Semestinya mereka tidak serta merta apriori seratus persen terhadap pendapat atau hipotesa Djoenaedi Abdoelkadir Soemantapoera yang meskipun terkesan subjektif-emosional, namun toh dalam kajian sejarah mestinya pendapat atau hipotesa orang lain harus tetap dihargai dan dihormati.
Menurut Ny. Ojamah Soedarna TM, melalui beberapa paparan dalam berbagai kesempatan, bahwa kepindahan ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Purwakarta oleh Bupati R.A.A. Soeriawinata (Dalem Shalawat) menurutnya adalah tanggal 23 Agustus 1830 berdasarkan perkiraan yang dianalogikan, bahwa kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dimana di sini angka-angka yang muncul adalah: 17 -- 08 -- 1945, 17 (tujuh belas) adalah angka keramat karena bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, di mana kitab sucinya adalah Al Quran yang ayat pertamanya diturunkan pada malam 17 Ramadhan, sementara di dalam rukun Islam yang ke-2, yaitu shalat wajib (fardlu) ada 17 (tujuh belas) kali rakaat dan dengan 17 (tujuh belas) kali membaca Surat Al Fatihah.Â
Sementara itu untuk menetapkan hari jadi Purwakarta, perlu diperkirakan perhitungan kurang lebih 1 (satu) minggu (pekan) sesudahnya. Maka ditentukan, bahwa perhitungannya haruslah menghasilkan angka yang ganjil, yaitu diperoleh tanggal 23 Agustus 1830, dengan anggapan bahwa angka 23 (dua puluh tiga) ini terdiri dari angka 2 (dua) dan 3 (tiga) dan bahwa penjumlahan antara angka 2 (dua) dengan 3 (tiga) akan menghasilkan angka 5 (lima), yaitu dimana umat Islam sebagai mayoritas penduduk Purwakarta meyakini, bahwa dalam Rukun Islam ada 5 (lima) rukun dan salah satu rukunnya adalah Shalat 5 (lima) waktu.Â
Juga sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang berfalsafahkan Pancasila yang terdiri dari 5 (lima) sila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Dapat juga dikatakan, bahwa perkalian antara angka 2 (dua) dengan 3 (tiga) akan menghasilkan angka 6 (enam), yaitu bahwa umat Islam meyakini, bahwa dalam ajaran agama Islam ada yang disebut sebagai Rukun Islam yang terdiri dari 6 (enam) rukun.
Hal ini tentu saja hanya berdasarkan hitungan yang (mohon maaf) 'asal-asalan' tanpa argumentasi yang jelas dan tanpa berdasarkan data dan fakta ilmiah. Berikut ini adalah catatan tentang persamaan kalendernya:
- Tanggal Masehi: 23 Agustus 1830, Senin Soma
- Tanggal Jawa: 04 Mulud 1758, Senen, Wage
- Tanggal Hijriah: 04 Rabi'ul 'Awwal 1246, Isnin
- Dina, Pasaran: Senen, Wage
- Windu, Lambang: Sangara, Kulawu
- Warsa: Je
- Wuku: Prang Bakat
- Mangsa: Katiga-Manggasri (Karo) (25/08 s/d 17/09)
- Musim: Kemarau
Menurut pendapat Djoenaedi Abdoelkadir Soemantapoera, mustahil sekali bupati R.A.A. Soeriawinata yang bergelar Dalem Shalawat pindah dari Wanayasa ke Sindangkasih pada tanggal 23 Agustus 1830, tujuh hari sebelum 12 Rabi'ul Awwal karena menurut tradisi (adat) sekitar Wanayasa dan Purwakarta khususnya dan Jawa Barat (Sunda) pada umumnya dari tanggal 01 Rabi'ul Awwal sampai dengan tanggal 12 Rabi'ul Awwal tidak dipakai untuk menikahkan, pindah, membuat rumah dan upacara lain, kecuali hajat Muludan karena pada tanggal itu adalah masa 'tigerat' atau masa 'paceklik'.
Menurut pendapat beberapa kalangan, tanggal ini diperoleh melalui semedi sehingga mendapat 'wangsit'. Kemudian wangsit itu dihubungkan dengan tanggal dan bulan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Atas dasar itu, tanggal 23 Agustus 1830 dianggap sebagai tanggal berdirinya kota Purwakarta. Informasi dari sumber berupa wangsit, lebih-lebih tentang tanggal, sulit untuk dapat diterima secara rasional-ilmiah, karena wangsit jelas bukan sumber ilmiah. Mengenai arti atau makna wangsit kiranya tidak perlu dibahas lebih jauh, karena sudah dipahami secara umum, bahwa wangsit adalah bagian dari kepercayaan tradisional.
Ahmad Said Widodo menanggapi komentar sementara kalangan, terutama kalimat:
"Tanggal ini diperoleh melalui semedi sehingga mendapat 'wangsit'. ......... ".
Padahal dalam hal ini narasumber, Ny. Ojamah Soedarna TM, mengatakan, bahwa ia tidak pernah melakukan semedi sehingga mendapat wangsit sebagaimana disangkakan oleh kalangan tersebut.
Menurut Mochammad Affandi Bratakoesoemah, dalam buku karyanya yang berjudul "Sejarah Purwakarta", bahwa kepindahan ibukota Kabupaten Karawang di Wanayasa ke Purwakarta oleh Bupati R.A.A. Soeriawinata (Dalem Sholawat) dan kelahiran nama kota Purwakarta sebagaimana diuraikan menurut analisa adalah dalam tahun 1836 dengan seloka Chandrasangkala: "Bendera (6) kang murub (3) pangersa (8) ning Ratu (1)", maksudnya 'Kecemerlangan wilayah karena olah pemerintah'.
Awal tahun 1836 Masehi telah bebas dari kerusuhan Cina Makao, dalam arti ini telah 'Aman.' Walau pembangunan ibukota pusat pemerintahan belum sempurna atau belum selesai, namun pengelolaan atau pengurusan roda pemerintahan 'Mula(i) Tertib'. Karena terhindar, terlepas dan terbebas dari malapetaka dan gangguan pengacau atau kerusuhan, ucapan syukur ke hadirat Allah s.w.t. yang atas perkenananNyalah, maka pekerjaan pembangunan kota mulai dilaksanakan, juga pembinaan wilayah dan pengaturan roda pemerintahan Mula(i) Aman atau Tertib jalannya atau disebut 'Pertama Aman atau Tertib', sehingga istilah ini patut dan layak dijadikan nama kota (ibukota) pemerintahan dengan nama "Purwakarta", yang tepatnya diikrarkan pada saat peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w., hari Senin tanggal 12 Rabi'ul 'Awwal 1252 Hijriyah / 27 Juni 1836 Masehi. Berikut ini adalah catatan tentang persamaan kalendernya:
- Tanggal Masehi: 27 Juni 1836, Senin Soma
- Tanggal Jawa: 12 Mulud 1764, Senen Wage
- Tanggal Hijriah: 12 Rabi'ul 'Awwal 1252, Isnin
- Dina, Pasaran: Senen, Wage
- Windu, Lambang: Sancaya, Langkir
- Warsa: Ehe
- Wuku: Dukut
- Mangsa: Kasa-Kartika (22/06 s/d 01/08)
- Musim: Kemarau
Menurut Mochammad Affandi Bratakoesoemah, tanggal 27 Juni 1836, mempunyai makna yang dalam bagi seorang Muslim jika dikaitkan dengan kelayakan wangsit Dalem Shalawat saat memberi nama Purwakarta. Tanggal merupakan arah hari, misalnya tanggal 27 adalah menunjukkan hari ke-27 dalam bulan itu. Dua puluh tujuh terdiri dari angka 2 (dua) dan angka 7 (tujuh), kedua angka itu melambangkan wahana kehidupan manusia di dunia. Dua melambangkan asal manusia dari Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa. Dua juga menyatakan kedua penglihatan adanya kiri dan kanan, membuktikan adanya hari siang dan malam dan lain-lain. Tujuh melambangkan adanya 7 (tujuh) lubang kehidupan, seperti : 2 lubang hidung, 2 lubang telinga, 1 lubang mulut dan 2 lubang limbah (pengeluaran). Dapat juga diartikan dengan 7 (tujuh) anggota badan ketika sujud dalam shalat, yaitu 1 kening, 2 telapak tangan, 2 lutut dan 2 telapak kaki, baik shalat yang fardlu maupun yang sunat.
Bulan 6 penggugah Muslim, bahwa wajib percaya kepada Rukun Iman yang bersifat abstrak tapi konkrit. Tahun 1836 seloka (simbol) dari 18 dan 36, yaitu 1 + 8 = 9 dan 3 + 6 = 9, atau adanya angka 99, yaitu 99 (sembilan puluh sembilan) yang tiada lain adalah banyaknya Al Asma Al Husna (Asmaul Husna atau Nama-nama Allah Yang Indah) dan suatu gambaran kewajiban seorang Muslim mengucapkan 'Keagungan Dzat Yang Maha Kuasa' pada malam hari dan siang hari sejumlah 99x ucapan 'Allahu Akbar'. Pada saat shalat Isya 23x, saat shalat Subuh 12x, shalat Lohor (Dzuhur) 23x, shalat Ashar 23x dan shalat Maghrib 18x. Jika angka tahun 1836 dijumlahkan keseluruhannya, tetap akan mendapatkan angka tertinggi angka 9.
Menurut keterangan keturunan-keturunannya, bahwa R.A.A. Soeriawinata atau Dalem Shalawat kelebihannya di dalam mengamalkan Shalawat Rasulullah s.a.w. tiada hentinya sehingga mendapatkan julukan itu. Gambaran lain dalam hal ini dalam menghadapi segala sesuatu yang akan dilaksanakan, selalu bermunajat, tafakur atau istikharah memohon agar selalu mendapatkan petunjuk, bimbingan serta ridla Allah s.w.t. dan dalam waktu yang baik saat memperingati hari-hari besar Islam. Selaku bupati, merasa kurang cocok pusat pemerintahan berada di Wanayasa atau istilahnya jolok. Ikhtiar mengatasinya, beliau lebih dahulu bermunajat dan tafakur, yang seolah-olah tergetar dan terusik hatinya untuk memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten di dalam bulan Mulud (Rabiul 'Awwal) dengan mencarikan harinya pada hari Senin, ke arah Barat, Utara atau Barat Laut.
Pandangan bulan Mulud dan hari Senin ini adalah suatu keyakinan yang dijadikan titik tolak terbaik dengan dihubungkan pada hari dan tanggal kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. tanggal 12 Rabi'ul 'Awwal tahun Fiil ke-1 atau disebut tahun Gajah. Jadi diselaraskan dengan wangsit, layaknya perhitungan ini adalah jatuh pada hari Senin tanggal 12 Rabi'ul Awwal 1246 Hijriyah atau tanggal 20 Agustus 1830 Masehi. Kelayakan lain jika dikaitkan dengan mitos (bijgeloof) berdasarkan Pawukon, maka akan didapati serangkaian kepercayaan, bahwa : bulan Muharam, Sapar dan Mulud harus berjalan ke Barat atau ke Utara, artinya Selamat atau Rahayu. Sekali-kali tidak boleh ke Timur atau ke Selatan (Sunda : mapag kala). Kalau kita selaraskan kepribadian Dalem Shalawat di dalam mengembangkan ajaran agama Islam, kita tautkan dengan Candrasangkala: 1830. "Gedening (0) kawruh (3) kersaning (8) Guru (1)", yang maksudnya : Berkembangnya ilmu pengetahuan karena bimbingan guru.
Tahun 1830-1832 Masehi, kepindahan dari Wanayasa ke Sindangkasih tidak mungkin sekaligus karena di tempat baru di distrik Sindangkasih tak mungkin dapat menampung sekaligus sarana bagi keperluan pusat pemerintahan Kabupaten  sebagai kenyataan di dalam tahun 1830 di distrik Sindangkasih itu masih memerlukan perluasan dengan harus membuka hutan belukar (Sunda : ngabukbak leuweung) sampai tahun 1832 yang tertunda karena kedatangan Cina Makao yang mengacaukan dan melakukan penggarongan. Dalam tahun 1835 baru reda dan dapat tertumpas sehingga di distrik Sindangkasih pada awal tahun 1836 setelah aman dari perusuh Cina Makao dimulainya pembangunan untuk pusat pemerintahan Kabupaten  sebagaimana dikemukakan di atas.
Menurut beberapa kalangan, tanggal ini yang dianggap sebagai hari jadi Purwakarta didasarkan pada ceritera tokoh masyarakat tempo dulu. Akan tetapi ceritera itu tidak jelas sumbernya. Versi inipun sulit dapat diterima. Ceritera turun temurun tanpa ditunjang oleh fakta dari sumber yang jelas dan kuat adalah informasi yang lemah bagi suatu peristiwa sejarah karena sejarah bukan dongeng dan bukan pula mitos. Menanggapi komentar kalangan tersebut, Ahmad Said Widodo sangat setuju.
Menurut Ahmad Said Widodo, bahwa sejarah kepindahan ibukota Kabupaten Karawang dari Wanayasa ke Sindangkasih yang kemudian hari berganti nama menjadi Purwakarta oleh Bupati Raden Adipati Aria (R.A.A.) Soeriawinata (Dalem Shalawat), secara de facto terjadi pada tanggal 09 Januari 1830 Masehi. Hal ini berdasarkan beberapa sumber data sebagai sumber sekunder dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (Nederlansche Indische), yaitu Java Bode. Sayangnya penulis belum menemukan sumber primernya.
Ahmad Said Widodo, dalam bukunya "Sumber-sumber Asli Sejarah Purwakarta", 2001-2021 yang versi temuannya didasarkan pada buku karya F. de Haan yang berjudul "Priangan: De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur Tot 1811", Batavia, 1912 yang merujuk tanggal 20 Juli 1831 berdasarkan Besluit 20 Juli 1831 No. 2 yang ditulis di Sindangkasih oleh Assistent Resident Krawang G. de Seriere yang arsipnya telah diketemukan oleh Ahmad Said Widodo di Arsip Nasional Republik Indonesia -- Jakarta pada hari Rabu Pon tanggal 07 Januari 2004 Masehi (14 Dzul-qa'dah 1424 Hijriyah) pada pukul 12.00-16.00 WIB dengan disaksikan oleh beberapa orang staf Sub Direktorat Pelayanan Arsip -- Arsip Nasional Republik Indonesia -- Jakarta setelah melalui serangkaian penelitian dan penelusuran sejarah Purwakarta yang cukup lama saat itu ( 2 tahun 4 bulan lamanya).
Jadi sesungguhnya hari jadi Purwakarta itu secara de jure adalah pada tanggal 20 Juli 1832. Berikut ini adalah catatan Penulis tentang persamaan kalendernya:
- Tanggal Masehi: 20 Juli 1831, Rabu Budha
- Tanggal Jawa: 09 Sapar 1759, Rebo Kliwon
- Tanggal Hijriah: 09 Shafar 1247, Arba'a
- Dina, Pasaran: Rebo, Kliwon
- Windu, Lambang: Sangara, Kulawu
- Warsa: Dal
- Wuku: Galungan
- Mangsa: Kasa-Kartika (22/06 s/d 01/08)
- Candrasangkala: 1831 (Tunggal-Nala-Mangesti-Jagat)
Menurut Ahmad Said Widodo, hendaknya dicarikan atau diusahakan historis zakelijkheid dan juridis rechtzekerheid yang sebenar-benarnya dan yang sejujur-jujurnya agar terdapat Sejarah Purwakarta yang dapat dipercaya (credible).
Pertimbangan dalam menentukan tanggal untuk ditetapkan sebagai hari jadi, harus memperhatikan dan memenuhi ketentuan penulisan sejarah. Tanggal yang ditetapkan harus berasal dari sumber yang akurat, yaitu sumber yang memuat data atau menyampaikan informasi yang dapat dipercaya (credible). Penetapan tanggal harus melalui interpretasi, dalam melakukan interpretasi itu ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu: memperhatikan konteks permasalahannya dan interpretasi itu dilandasi oleh sikap objektif-rasional, bukan subjektif-emosional. Ketentuan tersebut berlandaskan metode sejarah, khususnya kritik sumber dan interpretasi data. Oleh karena itu dalam memilih tanggal hari jadi, ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat tersebut harus dipenuhi agar tanggal yang dipilih merupakan fakta sejarah yang kuat (hard fact). Dengan demikian, penetapan tanggal hari jadi dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Besluit atau surat keputusan adalah sumber otentik dan mengandung makna yuridis formal. Secara metodologis, informasi dari sumber otentik, keakuratan dan keabsahannya dapat dipercaya. Oleh karena itu tanggal 23 Agustus 1830 yang sementara ini dianggap sebagai hari jadi Purwakarta menjadi gugur karena diketemukan fakta baru yang lebih kuat, yaitu tanggal 20 Juli 1831. Tanggal yang disebut terakhir bukan lagi merupakan data melainkan fakta sejarah yang kuat tentang peresmian kota bernama Purwakarta. Dengan kata lain, tanggal 20 Juli 1831 adalah tanggal berdirinya Purwakarta sebagai ibukota baru Kabupaten Karawang. Sejak tanggal 20 Juli 1831 itulah di wilayah Kabupaten Karawang terdapat kota bernama Purwakarta dengan status sebagai ibukota Kabupaten. Sudah menjadi kelaziman, tanggal peresmian suatu tempat atau bangunan dijadikan tanggal hari jadi tempat atau bangunan yang bersangkutan.
Sejarah Singkat Administratif
Keberadaan Purwakarta tidak terlepas dari sejarah Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang serta perjuangan Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kesultanan Mataram Islam melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Batavia di bawah pimpinan Gouverneur Generaal (Gubernur Jenderal) Jan Pieterszoon Coen.
Pada tahun 1628, Sultan Agung Hanyokrokusumo mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Sura Agul-agul dan Tumenggung Bahurekso dibantu oleh Adipati Ukur, Kyai Ronggo, Tumenggung Manduro Rejo dan Tumenggung Uposonto. Adipati Ukur juga dibantu oleh 9 (sembilan) orang umbul.
Pada tahun 1629, Sultan Agung Hanyokrokusumo mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Kyai Adipati Juminah, Kyai Adipati (Pangeran) Purboyo dan Kyai Adipati (Pangeran) Puger dibantu oleh Kyai Adipati Sumenep, Tumenggung Singoranu, Tumenggung Madiun, Raden Ario Wironotopodo, Adipati Ukur dan Warga.
Untuk menghambat perluasan wilayah kekuasaan Kompeni (VOC), Sultan Agung mengutus Bupati Galuh (Ciamis), R.A.A. Wirasuta yang bergelar Adipati Panatayuda (Adipati Kertabumi III), agar segera memasuki, menduduki dan menguasai daerah Rangkas Sumedang (sebelah Timur Sungai Citarum). Daerah ini dimaksudkan sebagai Siti Negara Gung Bongas Kilen dengan membangun benteng-benteng pertahanan di daerah Adiarsa, Kutatandingan, Parakansapi, Rangkas Sumedang, Tanjungpura, Teluk Jambe dan Tunggak Jati agar terdapat daerah penyangga (demarkasi, buffer) antara kekuasaan VOC dengan Kesultanan Mataram. Setelah mendirikan benteng-benteng tersebut Adipati Panatayuda (Adipati Kertabumi III) kemudian kembali ke Galuh hingga wafatnya. Karawang dinamakan demikian mungkin karena kondisi daerahnya berawa-rawa. Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh para bupati keturunan dari Adipati Panatayuda (Adipati Kertabumi III) dan keturunan bupati-bupati Bogor.
Piagam Pelat Kuningan Kandangsapi Gede adalah suatu piagam dari raja Mataram (Sultan Agung Hanyokrokusumo) untuk Pangeran Rangga Gede dari Sumedang. Berikut ini transliterasi lengkap atas naskah aslinya dalam bahasa Jawa yang berbunyi sebagai berikut:
"Penget ingkang piagem Ka(ng)djeng ing Ki Rangga Gede ing Soemedang kagadehaken ing Si Astrawadana. Milane soen gadehi piagem, soen kongkon angraksa kagengan Dalem siti nagara-goeng, kilen wates Tjipami(ng)kis, wetan wates Tjilamaja, sirta soen kon anoenggoni loemboeng, isinipoen pari limang takes poe(n)djoel tiga welas djait. Wondening pari sinamboet dening Ki Singapra(ba)sa. Basa kala tan angrawahi piagem, lagi lampahipoen Ki Joedabangsa, kaping kalih Ki Wangsataroena. Ingkang potoesan Ka(ng)dje(ng) Dalem ambakta tata titijang kalih ewoe; Wadananipoen Ki Singaprabangsa, kalih Ki Wirasaba, kang dipoen wadanakaken ing manira.Â
Â
Sasangpoen katampi dipoen prenahaken ing Waringinpitoe lan ing Ta(n)djoe(ng)poera. Angraksa siti goeng boengas kilen. Kala noelis piagem ing dina Rebo tanggal ping sapoeloeh, sasi Moeloed taoen Alip. Kang anoelis piagem manira Anggaprana. ti. ti. I segi patoen, kang dipoen oetang ini loekoenkang."
    Â
Sementara terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
"Perhatian, ini adalah piagam dari Kangjeng (Paduka Sultan Agung) kepada Ki Rangga Gede di Sumedang yang diserahkan kepada Si Astrawadana. Sebabnya maka kuserahi piagam, ialah karena kutugasi menjaga tanah Negara Agung milik Paduka, di sebelah barat berbatas sungai Cipamingkis, di sebelah timur berbatas sungai Cilamaya dan kutugasi menunggui lumbung padi, yang isinya padi lima takes lebih tiga belas jait. Adapun padi tersebut diterima oleh Ki Singaprabangsa. Tatkala kuserahi piagam ini, Ki Yudabangsa sedang dalam perjalanan berdua dengan Ki Wangsataruna. Yang diutus oleh Kangjeng Dalem (Paduka) untuk pergi dengan membawa serta 2.000 (duaribu) orang; (Yang diangkat menjadi) wedananya adalah Ki Singaprabangsa dengan Ki Wirasaba, yang dijadikan wedana di sana.
Sesudah (piagam ini) diterima kemudian mereka berdua ditempatkan di Waringinpitu dan di Tanjungpura. Tugasnya adalah menjaga tanah Negara Agung di sebelah barat. Saat piagam ini ditulis pada hari Rabu tanggal 10 Mulud (Rabi'ul 'Awwal) tahun Alip (Alif = 1). Yang menulis piagamnya, Anggaprana. Selesai."
Pendapat R.D. Asikin Widjaja Koesoema sebagai berikut:
"Titimangsa taun Alip urang saluyukeun jeung panetepan Dr. Brandes, nya eta taun Masehi 1633 (tingali Tyds. Taal-, Land- en Volkenkunde XXXII, kaca 353-355). Jadi sanes taun 1656, saperti pamanggihna Dr. de Haan, Priangan III-Commentaren kaca 158; Staten en Tabellen kaca 912). Anu jadi sabab musababna ku kuring parantos didadarkeun dina Tyds. Taal-, Land- en Volkenkunde LXXVII 1937, Afl. 2 kaca 188-200, dina artikel "De stichting van het regentschap Krawang en Krawangs eerste regent". (Ngadegna Kabupaten  Karawang jeung bupati Karawang anu munggaran)."
Artinya adalah :
"Titimangsa tahun Alip kita sesuaikan dengan penetapan Dr. Brandes, yaitu tahun Masehi 1633 (lihat Tyds. Tall-, Land- en Volkenkunde XXXII halaman 353-355). Jadi bukan tahun 1656 seperti penemuan Dr. de Haan, Priangan III-Commentaren halaman 158; Staten en Tabellen halaman 912). Yang menjadi sebab-sebabnya oleh Penulis sudah dijelaskan dalam Tyds. Tall-, Land- en Volkenkunde LXXVII 1937, Afl. 2 halaman 188-200, dalam artikel : "De stichting van het Regentschap Krawang en Krawangs eerste Regent." (Berdirinya Kabupaten  Karawang dan bupati Karawang yang pertama)."
Kalau dilihat dari tanggal ditulisnya Piagam Pelat Kuningan Kandangsapi Gede, hari / dina Rebo, tanggal / ping Sapuluh, bulan / sasi Mulud, tahun / taun Alip, Brandes menganalisa tanggal 14 September 1633 Masehi. Sehingga hari jadi Karawang jatuh pada 'dina Rebo, tanggal ping Sapuluh, sasi Mulud, taun Alip'. Dimana 1 Sura tahun ini jatuh pada hari Jumat Legi, 1 Sapar jatuh pada hari Minggu Legi, 1 Mulud jatuh pada hari Senin Kliwon sehingga tanggal 10 Mulud tahun ini jatuh pada hari Rabu Wage, adapun tahunnya adalah Caka 1555 bertepatan dengan nama 'windu Kuntara'. Jadi hari jadi Kabupaten  Karawang adalah:
Tanggal Masehi: 14 September 1633, Rabu Budha
Tanggal Jawa: 10 Mulud 1555, Rebo Wage
Tanggal Hijriah: 10 Rabi'ul 'Awwal 1043, Arba'a
Dina, Pasaran: Rebo, Wage
Windu, Lambang: Kuntara, Langkir
Warsa: Alip
Wuku: Warigagung
Mangsa: Katiga-Manggasri (25/08 s/d 17/09)
Sumber lainnya adalah pada R.D. Asikin Widjaja Koesoema De stichting van het Regentschap Krawang en Krawangs eerste Regent. Overgedrukt uit het Tijdschrift voor Indische Tall-, Land- en Volkenkunde TBG Deel LXXVII -Â Jaarg. 1937 - Afl. 2. Petikan dalam bahasa Jawa yang berbunyi sebagai berikut:
"Penget lajang ingsoen Singaprabangsa katjekel dening Ki Astrawadana kalajan Ki Wanajoeda; mila manira katjekel lajang sawijos manira (k)ang  djoepoet pari kagengan Soesoehoena(n), kang kagadeh dening Ki Rangga Soemedang, loemboeng Kalapa doewa kang tinoe(ng)goe dening Ki Astrawadana kalih Wanajoeda.
Isine kang manira djoepoet pari limang ta(ng)kes poe(n)djoel tiga welas djai bobot, arawahe Ki Joedabangsa. Titi. Kala noelis ing dina Djamaat, ta(ng)gal pisan, sasi Moekaram, taoen Alip."
Â
"Nawala piagem ing Kangdjeng Soesoehoenan, kagadoeh dene si Oewa Arya Wiraradja, i Soemedang. Karaning angadoeh lajang piagem, dening soen oelihaken maring Soemedang; sarta soen gadoehi wong, kehe wong lima welas, kang metoe saking Mataram wong lilima, kang saka Soemedang wong sapoeloeh. Ikoe ta sanak prasanake miwah anak poetoene adja'na noekarta noekarta.Â
Taha jen anaha noekartaha, de-palaksanaha ing nagara ing kangdjeng Soesoehoenan i paseban Kidoel. Kaja-boeta-prang-ing-ratoe: 1553; sirah tiga tenggek lima. Titi."
Â
Sementara terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut
"Perhatian, suratku Singaprabangsa yang dibawa oleh Ki Astrawadana bersama Ki Wanajoeda; sebabnya diberikan surat agar dirinya yang mengambil padi milik Susuhunan, yang dimiliki oleh Ki Rangga Sumedang, lumbung Kalapadua yang ditunggui oleh Ki Astrawadana dan Wanajoeda. Isinya bahwa dirinya harus mengambil padi 5 (lima) takes lebih 13 (tigabelas) jai beratnya, yang diserahkan Ki Joedabangsa. Titi. Saat menulis pada hari Jumat, tanggal 1 (satu), bulan Muharram, tahun Alip."
"Nawala piagam dari Kangjeng Susuhunan, diberikan pada si Uwa(k) Arya Wiraraja, di Sumedang; dikarenakan mendapatkan surat piagam karena aku pulangkan ke Sumedang; serta aku beri orang, banyaknya 15 (limabelas), yang keluar dari Mataram orang berlima, yang dari Sumedang 10 (sepuluh) orang. Itu aku persaudarakan beserta anak cucunya jangan sampai terjadi perselisihan-perselisihan. Namun jika terjadi juga perselisihan, laksanakanlah di negara kangjeng Susuhunan di Paseban Selatan. Seperti-raksasa-perang-melawan-ratu: 1553; kepala tiga tegak lima. Titi."
Â
Para Bupati Kabupaten Karawang Periode Wanayasa, Sindangkasih dan Purwakarta
- R.A.A. Singaperbangsa III (Panembahan Singaperbangsa, Adipati Kertabumi IV, Dalem Ciparage-Kalidaun, Eyang Manggung) (1633-1679).
- R.A.A. Panatayuda I (Adipati Kertabumi V, R. Anom Wirasuta. Panembahan Manggu (1679-1721).
- R.A.A. Panatayuda II (R. Jayanegara, Panembahan Waru Tengah) (1721-1732).
- R.A.A. Panatayuda III (R. Singanegara, R. Martanegara, Panembahan Waru Ilir) (1732-1752).
- R.A.A. Panatayuda IV (R. Mohammad Soleh, R. Mohammad Zainal Abidin, R Mas Balon, Dalem Balon, Dalem Sorambi) ( 1752-1786).
- R.A.A. Panatayuda V (R.A.A. Singasari I, R.A.A. Singasari Panatayuda I, Panembahan Singasari, Suro Brebes, Kyai Sepuh) (1786-1809), hingga akhirnya wilayah Wanayasa digabungkan dengan Kabupaten  Karawang pada tahun 1790.
- R.A. Surialaga (Dalem Talun) (1811-1813).
- R.A. Sastradipura (1813-1820).
- R.A.A. Surianata (Dalem Santri) (1821-1828).
Selama masa pemerintahan Gubernur Jenderal Kolonial Hindia Belanda (Gouverneur Generaal van Nederlansche Indische) Herman Williem Daendels yang tidak begitu lama memerintah, yakni dari tahun 1808 sampai tahun 1811, banyak perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan olehnya, terutama dalam bidang pemerintahan. Dan ia meletakkan dasar-dasar pemerintahan menurut sistem Barat. Pulau Jawa dibagi menjadi 9 (sembilan) daerah yang disebut dengan Prefektuur. Setiap prefektuur dikepalai oleh seorang Prefect. Dan mereka langsung berada di bawah Gubernur Jenderal.
Dengan Keputusan Komisaris Jenderal (Commissioner-Generaal)Â 20 Juli 1818, Kabupaten Krawang dipisahkan dari Preanger Regentschappen dan di tempatkan terpisah, dengan nama Residentie van Krawang. (Lih. Ind. Stbl. 1818 No. 53 dan Bataviasche Courant 1818 No. 36). Tempat ini telah ditarik dan ditempatkan ke Residentie van Buitenzorg. (Lih. Ind. Stbl. 1826 No. 24). Pembagian Krawang dengan Residentie van Batavia. Disatukan kembali. (Lih. Ind. Stbl. 1826 No. 53). Sekali lagi dianggap sebagai bagian tersendiri. (Lih. Ind. Stbl. 1828 No. 59, Pasal. 3, 1. L.)
Semula semua kepala wilayah di Tatar Sunda sejak tahun 1677 Masehi dibiarkan mandiri oleh VOC dan sejak lahirnya Indische Staatsregeling, Wet op de Staatsinrichting van Nederlands-Indie (Wet van 2 September 1854, Ned. S. 1850-2 jo. No. 1) (Laatstelijk gewijzegd bij St. 1936) No. 699 -- de inwerkingtreding van deze wijziging is bij St. 1937 No. 20 vastgesteld op 1 Pebruari 1937). Kabupaten Karawang meliputi wilayah tanah yang terletak di sebelah Timur Sungai Citarum/Cibeet dan sebelah Barat Sungai Cipunagara. Dalam hal ini kecuali Onderdistrik Gandasoli, pada waktu itu termasuk Kabupaten Bandung. Kemudian dimasukkan ke dalam Kecamatan Plered maupun Kecamatan Darangdan
Pada masa pemerintahan bupati R.A.A. Surianata ibukota Kabupaten Karawang dari Karawang dipindahkan ke Wanayasa pada tahun 1827. Dan pada masa pemerintahan bupati R.A.A. Suriawinata ibukota Kabupaten Karawang dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih yang kemudian berubah nama menjadi Purwakarta. Pembangunan dimulai, antara lain dengan pengurugan rawa-rawa untuk pembuatan Situ Buleud, Pembuatan Gedung Keresidenan (lama), Pendopo (lama), Mesjid Agung, Tangsi Tentara di Ceplak, termasuk membuat Solokan Gede, Sawah Lega dan Situ Kamojing. Pembangunan terus berlanjut sampai pemerintahan Bupati berikutnya.
Â
Para Bupati Kabupaten Karawang Periode Wanayasa, Sindangkasih dan Purwakarta
- R.A.A. Surianata (Dalem Santri) Â (1821-1828).
- R. Adinata Kartadiredja (Dalem Bogor, Dalem Panyelang) (1828-1829)
- R.A.A. Suriawinata (Dalem Solawat) (1829-1849)
- R.T. Sastranegara (R. Muhammad Enoch) (1849-1954)
- R.A.A. Sastraadhiningrat I (R.A. Sumadipura, R. Sumanegara, Uyang Ajiam, Dalem Sepuh (1854-1863)
- R.A.A. Sastraadhiningrat II (R. Adikusuma, Apun Muhammad Hasan, Dalem Bintang) (1863-1886)
- R.A. Sastraadhiningrat III (R. Suriakusuma, Apun Harun, Kanjeng Adipati, Dalem Adipati) (1886-1911)
- R.T.A. Gandanegara (Apun Ahyar, Kanjeng Aria, Dalem Aria, Dalem Tumenggung) (1911-1925)
- R.A.A. Suriamiharja (Adipati Songsong Kuning, Dalem Songsong Kuning, Dalem Adipati) (1925-1942)
- R. Pandu Suriadiningrat (1942-1945)
- R.T. Juwarsa (1945-1947)
    Â
Staatsblad 1925 No. 385 tentang Penunjukan Kabupaten Krawang Sebagai Daerah Pemerintahan Yang Berdiri Sendiri berdasarkan Besluit van den Gouverneur Generaal van 14 Agustus 1925 No. 1x. Yang dibuat di Bogor tanggal 14 Agustus 1925 oleh Gubernur Jenderal Kolonial Hindia Belanda Dirk Fock dan Sekretaris Jenderal G.R. Erdbrink. Yang dikeluarkan tanggal 17 Agustus 1925 oleh Sekretaris Jenderal G.R. Erdbrink. Dan Ordonansi ini mulai berlaku sejak tanggal 01 Januari 1926. Perhatikan kutipan Artikel 4: 1 b:
"........., alsmede den vijver ter hoofdplaats Poerwakarta; ........."Â
Â
atau jika diterjemahkan artinya adalah Pasal 4 Ayat 1 b:Â
"........., demikian pula di ibukota Purwakarta; ........."
Pengaturan wilayah di jaman penjajahan tentara Jepang tidak mengalami banyak perubahan hanya sekedar penggantian nama-nama ke dalam bahasa Jepang, seperti terdapat dalam Osamu Seirei (Oendang-oendang) Â Nomor 27 Tahoen 2602 Syoowa / 1942 Masehi tentang Peroebahan Tata Pemerintahan Daerah" yang diubah dengan Osamu Seirei (Oendang-oendang) Nomor 30 Tahoen 2602 Syoowa / 1942 Masehi. Kewenangan mengatur rumahtangga sendiri Ken dan Si ditetapkan untuk sementara waktu di dalam Osamu Seirei Nomor 12 Tahun 2603, disebut juga Tahun Syoowa 18 (2603) Tahun Masehi 1943. Pada masa pendudukan bala tentara Jepang (atau lebih tepatnya lagi masa penjajahan Jepang), yang menduduki jabatan sebagai penguasa wilayah di Purwakarta adalah sebagai berikut :
Â
- DR. K.H.R. Mas Soetardjo Kartohadikoesoemo (Syuu-tyoo, Syuu-co atau Residen Jakarta di Purwakarta sejak tahun 1943),
- R. Pandoe Soeradhiningrat (Ken-tyoo, Ken-co atau Bupati Karawang di Purwakarta),
- R.T. Djoewarsa (Fuku Ken-tyoo, Fuku Ken-co atau Patih Kabupaten  Karawang di Purwakarta) dibantu oleh beberapa orang Son-tyoo, Son-co atau Camat. Ada pun wilayah Kabupaten Purwakarta meliputi: Cikampek, Cilamaya, Karawang, Pamanukan, Purwakarta, Rengasdengklok dan Subang.
Adapun persamaan istilah dalam bidang pemerintahan pada masa penjajahan Jepang adalah sebagai berikut : Syuu-tyoo, Syuu-co atau Residen di Karesidenan; Si-tyoo, Si-co, Tokubetu-Si atau Staads Gemeente; Ken-tyoo, Ken-co atau Regent-Regentschap, Bupati di Kabupaten; Fuku Ken-tyoo, Fuku Ken-co atau Patih di Kepatihan; Â Gun-tyoo, Gun-co atau Distrik, Wedana di Kawedanan; Son-tyoo, Son-co atau Onder Distrik, Camat di Kecamatan dan Ku-tyoo, Ku-co atau Kepala Desa; Tonarigumi atau Rukun Kampung/Warga dan Kumi-tyoo, Kumi-co atau Rukun Tetangga.
Dalam hal tata pemerintahan sipil dimulai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1942 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah yang berisi 5 pasal dengan sebuah pasal Tambahan. Undang-undang tersebut berlaku untuk seluruh pulau Jawa dan Madura terkecuali daerah kesultanan (Vorstelanden). Pulau Jawa dan Madura terbagi atas Syuu, Si, Ken, Gun, Son dan Ku yang masing-masing sama dengan: daerah-daerah Karesidenan, Stadsgemeente (Kotapradja), Kabupaten, Kawedanan, Kecamatan dan Desa. Dalam pasal 4 dijelaskan, bahwa di dalam daerah Si, Ken, Gun, Son dan Ku masing-masing diangkat seorang Si-Tyoo, Ken-Tyoo, Gun-Tyoo, Son-Tyoo dan Ku-Tyoo. Dalam pada itu ada daerah Si (Stadsgemeente) yang ditunjuk oleh Gunseikan (Pembesar Pemerintah Balatentara Dai Nipppon) menjadi Stadsgemeente Luar Biasa dan dinamai Tokubetu-Si yang diselenggarakan dengan aturan istimewa.
Undang-undang Nomor 27 Tahun 1942 ini merupakan peraturan perundang-undangan desentralisasi Jepang yang menimbulkan perubahan besar terhadap sistem desentralisasi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda dahulu, seperti yang dinyatakan dalam pasal Tambahan.
Si-Tyoo, Ken-Tyoo dan Ku-Tyoo, masing-masing menjadi kepala Stadsgemeente, Regentschap dan Desa sebagai badan-badan yang mengurus rumah tangga sendiri dan yang mempunyai daerah pemerintahan masing-masing. Selanjutnya berhubung dengan berdirinya Batavia Tokubetu-Si, maka untuk daerah Batavia Syuu diadakan perubahan pembagian daerah Karawang Ken, yaitu Pangkalan Son (Kecamatan) di Karawang Gun (Kawedanan) dipecah menjadi dua Son, yaitu: Pangkalan Son, tempat kedudukan Son-Tyoo di Pangkalan yang terdiri dari 21 (duapuluh satu) desa. dan Teluk Jambe Son, tempat kedudukan Son-Tyoo di Teluk Jambe yang terdiri dari 16 (enambelas) desa.
Dalam konferensi yang ketiga yang diseleggarakan pada tanggal 16 Februari 1948 sampai dengan tanggal 05 Maret 1948 Negara Jawa Barat atau Negara Pasundan secara resmi dinyatakan berdiri. R.H.A.A. Wiranatakoesoemah V dipilih menjadi Wali Negara dan dilantik pada tanggal 26 April 1948. Menginduk kepada ketentuan-ketentuan sebelumnya Wali Negara Pasundan telah mengeluarkan Surat Keputusan tanggal 29 Januari 1949 No. 12 tentang Herziening Administratieve Indeling Kabupaten Karawang dibagi dua, menjadi:
- Kabupaten Karawang beribukota di Karawang dan
- Kabupaten Purwakarta beribukota di Subang.
Sejak tahun 1948-1950-lah terjadi Kepala Wilayah Pemerintahan ganda dengan adanya Bupati RI dan Bupati Recomba (Regeerings Commissaris voor Bestuur Aangelegenheden) yang bertanggungjawab penuh kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Pemerintahan di bawahnya, seperti bupati disebut bupati Recomba. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 (juncto Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950) tentang Pembentukan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Barat. Perhatikan kutipan dari Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1: Daerah-daerah jang meliputi daerah Kabupaten :
"......... 3. sebagian Krawang, jang terdiri dari kawedanan-kawedanan Tambun, Srengseng, Tjikarang, Rengasdengklok, Tjikampek dan Krawang, 4. bagian Krawang ketinggalannya jang terdiri dari kawedanan-kawedanan Subang, Segalaherang, Pamanukan, Tjiasem dan Purwakarta, ........." ditetapkan menjadi Kabupaten  : "......... 3. Krawang, 4. Purwakarta, .........", selanjutnya diatur penetapan Kabupaten Purwakarta dengan ibukota Subang, yang meliputi Kewedanaan Subang, Sagalaherang, Pamanukan, Ciasem dan Purwakarta.
Para Bupati Kabupaten Karawang, Periode Karawang dan Subang
- Danta Ganda Wikarma (1947-1948), bupati di wilayah Karawang Timur (Purwakarta dan Subang)
- M.Sapei (1947-1950), bupati di wilayah Karawang Barat (Karawang)
- R. Ateng Surapraja (1948-1949), bupati Recomba di Karawang
- R. Rubaya (1949-1951), bupati di Karawang
- Tb. Mochammad Hasan Sutawinangun (1949-1950) , bupati Recomba di Subang
- R.P. Suyono Hadipranoto (1950-1958), bupati Kabupaten Purwakarta di Subang
- M. Tanu Gandawijaya (1958-1959), bupati Purwakarta di Subang
- Tb. Mochmmad Hasan Sutawinangun (1959-1966), bupati Purwakarta di Subang
- Letkol TNI-AD R.H. Acu Syamduddin (1966-1968)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang. Perhatikan kutipan dari Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 1:
"Membentuk Kabupaten: a. Purwakarta, jang meliputi wilayah ketjamatan-ketjamatan: 1. Purwakarta, 2. Plered, 3. Wanajasa, 4. Tjampaka, ditambah dengan desa Kertamanah dan desa. Sukasari dari Kabupaten Krawang serta desa Tjiramaeuwah Hilir dan desa Tjitamiang dari Kabupaten Tjiandjur. ........." Â Pasal 2 Ayat 1: Pemerintah Daerah Kabupaten Purwakarta berkedudukan di Purwakarta. Pasal 2 Ayat 2: Pemerintah Daerah Kabupaten Subang berkedudukan di Subang. Bab 2 Ketentuan Peralihan Pasal 6: Kepala Daerah Kabupaten Purwakarta-lama pada saat Undang-undang ini berlaku mendjadi Kepala Daerah Kabupaten Subang jang berkedudukan di Subang.
Sehingga pada tahun 1968 Kabupaten Purwakarta hanya memiliki 4 Kecamatan, yaitu Kecamatan Purwakarta, Plered, Wanayasa dan Campaka dengan jumlah desa sebanyak 70 desa. Untuk selanjutnya dilaksanakan penataan wilayah desa, kelurahan, pembentukan kemantren dan peningkatan status kemantren menjadi kecamatan yang mandiri. Pada masa sesudahnya Kabupaten Purwakarta memiliki wilayah: 183 desa, 9 kelurahan, 8 kamantren dan 11 kecamatan.
     Â
Para Bupati Kabupaten Purwakarta Periode Purwakarta
- H.R. Suria Sunarya Ronggowaluyo (Pj. Bupati) (1968-1969)
- Kol. TNI-AD R.A. Muchtar (1969-1979)
- Kol. TNI-AD R.H. A. Abubakar (1979-1980)
- Letkol TNI-AU Drs. Mukdas Dasuki (1980-1982)
- Kol. TNI-AD (Purn) R.H. A. Abubakar (Pj. Bupati) (1982-1983)
- Drs. H.R. Sudarna TM, S.H., M.Si (1983-1993)
- Drs. H. Bunyamin Dudih, S.H. (1993-2003)
- Drs. H. Lili Hambali Hasan, M.Si dan H. Dedi Mulyadi, S.H. (2003-2008)
- H. Dedi Mulyadi, S.H. dan Drs. H. Dudung Bachdar Supardi (2008-2013)
- H. Dedi Mulyadi, S.H. dan Drs. H. Dadan Koswara (2013-2018)
- Dr. H. Muhammad Taufik Budi Santoso, M.Eng. (Pj. Bupati) (2018)
- Hj. Anne Ratna Mustika, S.E. dan H. Aming (2018-2023)
Berdasarkan perkembangan Kabupaten Purwakarta, pada tahun 1989 telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 821.26-672 tanggal 29 Agustus 1989 tentang lahirnya lembaga baru yang bernama Wilayah Kerja Pembantu Bupati Purwakarta Wilayah Purwakarta yang meliputi Wilayah Kecamatan Purwakarta, Kecamatan Jatiluhur, Kecamatan Campaka, Perwakilan Kecamatan Cibungur yang pusat kedudukan Pembantu Bupati Purwakarta berada di Purwakarta.Â
Sedangkan wilayah kerja Pembantu Bupati Wilayah Plered meliputi wilayah Kecamatan Plered, Kecamatan Darangdan, Kecamatan Tegalwaru, Kecamatan Maniis, Kecamatan Sukatani yang pusat kedudukan Pembantu Bupati Purwakarta berada di Plered. Wilayah kerja Pembantu Bupati Wilayah Wanayasa yang meliputi Kecamatan Wanayasa, Kecamatan Pasawahan, Kecamatan Bojong, Perwakilan Kecamatan Kiarapedes, Perwakilan Kecamatan Margasari dan Perwakilan Kecamatan Parakansalam yang pusat kedudukan Pembantu Bupati Purwakarta Wilayah Wanayasa berada di Wanayasa yang telah diresmikan pada tangga 31 Januari 1990 oleh Wakil Gubernur Jawa Barat.Â
Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta dimulainya pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Purwakarta tepatnya pada tanggal 1 Januari 2001. Serta melalui Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2001, telah terjadi restrukturisasi organisasi pemerintahan di Kabupaten Purwakarta. Jumlah Dinas menjadi 20 Dinas, 4 Badan, 1 Kantor, 1 Inspektorat, 2 Sekretariat (Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD) serta 17 kecamatan, 9 kelurahan dan 183 desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H