Mohon tunggu...
Ahmad Said Widodo
Ahmad Said Widodo Mohon Tunggu... Sejarawan - Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Peneliti dan Penulis Sejarah dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Tradisi yang Hilang di Kota Purwakarta

8 Juni 2019   17:00 Diperbarui: 30 Oktober 2022   17:23 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang aku tulis ini adalah apa yang aku lihat, aku dengar dan aku alami di Purwakarta. Apa yang pernah terjadi selama berpuluh-puluh tahun sejak tahun 1970-an hingga tahun 2000-an. 

Dahulu bila menjelang bulan puasa Ramadhan tiba, maka seminggu atau tiga hari sebelumnya, ada tradisi memukul beduk bertalu-talu sejak pagi hari hingga malam hari, yang biasa disebut dulag. Pada waktu-waktu itu juga orang ramai membersihkan makam-makam orangtua, keluarga, leluhur serta berziarah menghantarkan doa-doa, tabur bunga dan siram makam. 

Pun demikian, pada waktu-waktu itu orang ramai memasak masakan khas, yang biasanya terdiri dari nasi putih atau ketupat, semur daging sapi, rendang daging sapi atau opor ayam, sambal goreng kentang+hati sapi (atau ayam) + petai, bihun goreng dan sayur ase cabai hijau dalam satu rangkaian rantang atau menggunakan piring-piring dalam satu baki. Setiap keluarga saling mengirimkan masakan masing-masing kepada sanak saudara, keluarga dan tetangga di kampung (se-RT dan se-RW, bahkan lintas wilayah).

Tradisi ini mulai menghilang di kota Purwakarta, kecuali daerah pinggiran kota, di kampung-kampung pada setiap desa. Dahulu sering aku saksikan orang saling menghantarkan dengan berjalan kaki, dengan bersepeda, dengan bersepeda motor, dengan bermobil atau dengan beca. Nampak sekali keikhlasan, kebersamaan dan kehangatan dari tradisi itu. 

Demikian juga kira-kira tiga hari menjelang hari raya Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 1 dan 2 Syawal Tahun Hijriyah. Makam keluarga pun ramai dikunjungi anggota keluarga yang menyapu dedaunan kering, mengepel pusara dan batu nisa agar bersih dari debu dan tanah.

Dan pada saat Idul Fitri tiba, maka orang berduyun-duyun pergi shalat Id di masjid-masjid, lapangan terbuka atau di Alun-alun Kian Santang yang kini berubah fungsi sehingga bila digunakan untuk shalat maka ada shaf-shaf yang terputus oleh taman-taman bunga, kolam air mancur dan lain-lain sehingga kurang tepat menurut syariat Islam.

Sedangkan makanan ciri khas Idul Fitri tidak banyak berubah sama dengan yang telah aku sebutkan di atas. Adapun makanan kecil (kudapan, snack) rata-rata hampir sama. Biasanya terdapat kacang bawang, kacang atom, kacang gurih, kacang polong, kacang mete, telur gabus, nastar, putri salju, kastengel, lidah kucing, tapai ketan, manisan kolang-kaling dan lain-lain.

Setiap daerah, baik provinsi, kabupaten, kota maupun kecamatan tentu punya tradisi dan ciri khas masing-masing, baik yang masih setia dipertahankan maupun yang sudah mulai menghilang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun