b. Menurut Ibnu Khaldun
- Ilmu Filsafat
- Ilmu Tradisional/Konvensional
- Ilmu Alat
Menurut Al-Qur'an, manusia memiliki potensi untuk meraih ilmu pengetahuan dan mengembangkannya dengan izin Allah. Banyak sekali ayat yang memerintahkan manusia untuk melakukan berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Berkali-kali juga disebutkan di dalam Al-Qur'an betapa tinggi kedudukan orang-orang berilmu dan berpengetahuan.
Dalam perspektif Al-Qur'an, Ilmu terdiri dari dua macam, yaitu ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia yang disebut ilmu ladunni dan ilmu yang diperoleh atas usaha yang dilakukan manusia atau disebut dengan ilmu kasbi. Ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang ilmu kasbi lebih banyak daripada yang menjelaskan tentang ilmu ladunni. Pembagian ini disebabkan karena dalam pandangan Al-Qur'an ada hal-hal yang ada tetapi tidak dapat diketahui melalui upaya manusia sendiri. Oleh karena itu, obyek ilmu dalam perspektif Al-Qur'an meliputi materi dan non materi, fenomena dan nomena, bahkan ada wujud yang tidak hanya tidak dapat dilihat tetapi juga tidak dapat diketahui (Shihab, 1998).
Ilmu pengetahuan adalah prasyarat untuk mewujudkan salah satu tujuan diciptakannya alam raya ini, yaitu untuk manfaat kepentingan umat manusia. Akan tetapi, ilmu pengetahuan diberikan oleh Allah melalui kegiatan manusia sendiri dalam upaya memahami alam raya ini. Hal ini berbeda dengan agama yang diberikan dalam bentuk wahyu atau pengajaran lewat para utusan Allah.
Dalam upaya memahami alam sekitar itu, manusia mengerahkan dan mencurahkan akalnya dan alam menjadi obyek pemahaman sekaligus sumber pemahaman bagi mereka yang berfikir. Bentuk kegiatan memahami alam itulah yang disebut akal. Oleh karena itu, akal bukanlah alat manusia untuk menciptakan kebenaran melainkan untuk memahami dan menemukan kebenaran yang memang dari semula sudah ada dan berfungsi dalam lingkungan di luar diri manusia.
Secara aktual memang manusia belum, bahkan mungkin tidak akan pernah memahami seluruh alam raya. Akan tetapi, secara potensial, manusia dapat memahami alam itu. Ketika terungkap seluruh rahasia alam ini, baik mikro dalam diri manuisia sendiri maupun makro dalam seluruh cakrawala, maka pada saat itulah manusia akan menyadari sepenuhnya kebenaran ilahi. Â
"Akan Kami perlihatkan kepada mereka (manusia) tanda-tanda Kami di seluruh cakrawala dan dalam diri mereka sendiri, sehingga akan menjadi jelas bagi mereka bahwa Al-Quran atau bisa juga Tuhan itu benar adanya." QS. Fushshilat (41): 53
Dalam memanfaatkan alam itu, manusia tidak boleh membatasi diri hanya untuk tujuan mengeksploitasi alam, tetapi juga harus memanfaatkan alam itu sebagai sumber pengambilan pelajaran dalam mendekatkan diri kepada Allah dan dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama makhluk. Maka dari itu, selain bersifat tidak eksploitatif, manusia juga harus menunjukkan sikap-sikap yang apresiatif terhadap alam lingkungan sebagai bentuk kebesaran Allah. Sebab meskipun alam ini berkedudukan lebih rendah daripada manusia, hal tersebut hanya terjadi dalam hierarki kosmis yang bersifat batiniyyah, yang terbebas dari ruang da waktu, seluruh alam dan manusia merupakan sesama makhluk ciptaan Allah Swt. (Madjid, 1992).
Oleh karena itu, sekalipun manusia adalah makhluk tertinggi dan khalifah Allah di bumi, dan sekalipun alam ini dibuat lebih rendah (taskhir) agar dapat digunakan oleh manusia, tetapi hubungan manusia dengan alam sekitarnya harus disertai dengan sikap rendah hati yang sewajarnya, dengan melihat alam sebagai sumber ajaran dan pelajaran untuk menerapkan sikap tunduk kepada Allah (islam). Manusia harus menyertai alam sekitarnya dalam bertashbih memuji Allah, antara lain dengan memelihara keseimbangan alam itu dan menunbuhkannya ke arah yang lebih baik (ishlah), bukan dengan cara melakukan kerusakan dan pengrusakan di muka bumi (fasad fil ardhi). Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris tidak akan ada artinya, jika tidak menjaga persepsi batin manusia mengenai keadaannya, potensi-potensinya, resiko-resiko yang dihadapinya sebagai manusia, dan nasibnya di akhirat nanti (Madjid, 1992).
Ilmu pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan ilmiah karena didapatkan dari hasil pengamatan dengan mata dan telinga, tetapi ilmu pengetahuan ini pada akhirnya harus "sampai ke hati" dan mampu menghidupkan iman dan persepsi batin manusia. Tanpa memiliki persepsi batin ini, ilmu pengetahuan dan teknologi itu dapat menjadi kekuatan yang sangat berbahaya. Dengan demikian, pengembangan ilmu pengetahuan, di satu sisi, haruslah dibarengi dengan kekuatan iman dan penajaman persepsi batin di sisi lain.