Mohon tunggu...
Faiz Muzaki
Faiz Muzaki Mohon Tunggu... Guru - Hanya sebutir debu di antara milyaran debu yang ada di dunia

Mahasiswa resmi di UIN Jakarta sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menangkal Radikalisme dan Mengembangkan Moderatisme

1 Februari 2020   13:38 Diperbarui: 1 Februari 2020   14:12 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: geotimes.co.id

Para sosiolog agama membagi beberapa paham atau ajaran keagamaan dalam suatu kategori tertentu. Secara umum, paham atau ajaran-ajaran tersebut terbagi di antaranya berupa konservatif, fundamentalis, liberal, radikal, dan moderat. Banyaknya pemahaman atau sekte yang dianut oleh hampir seluruh umat Islam seringkali menimbulkan berbagai problematika yang sulit untuk dibendung kehadirannya. Salah satu problematika yang nyata ialah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh berbagai kelompok berpaham radikal yang dapat mengganggu stabilitas maupun keamanan berbagai pihak lain. Syahdan, berbicara mengenai radikalisme dalam Islam tidak lepas daripada sebuah kefanatikan seseorang atau segelintir orang terhadap ajaran syariat Islam yang dianutnya.

Ditelisik dari segi bahasa, radikal berasal dari bahasa Latin, radix yang berarti akar, mengakar, atau mendasar. Secara istilah, radikalisme dapat diartikan sebagai suatu paham atau ideologi yang berupaya untuk mengubah suatu tatanan sosial-politik dengan cara-cara kekerasan (ekstrim) secara totalitas. Tindakan ini dipicu dari berbagai pengalaman maupun pengamalan berdasarkan diktum-diktum keagamaan yang ditelan secara mentah-mentah tanpa mempertimbangkan aspek lain yang sifatnya jauh lebih substansial. Misalnya, bagi kelompok radikal arti kata jihad diartikan sebagai suatu upaya sungguh-sungguh untuk memerangi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran syariat Islam. Kendati demikian, tanpa melalui proses penafsiran yang lebih spesifik dan komprehensif, arti kata jihad menurut kelompok ini dapat digunakan sebagai sesuatu semacam penglegitimasian (pembenaran) terhadap berbagai tindakan-tindakannya. Satu dari sekian banyaknya tindakan yang dilakukan oleh kelompok radikal yang paling ekstrim ialah pemberontakan terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengannya atau terhadap kekuasaan (otoritas) yang sah yang dianggapnya bertentangan dengan syariat ajaran Islam. Selain itu, menurut kelompok ini jihad diperuntukkan untuk memperebutkan kembali (revival) kejayaan Islam. Menurut Afadlal, dkk. (2005) dalam Islam dan Radikalisme di Indonesia, radikalisme tidak ubahnya dengan fundamentalisme. Keduanya saling sepakat untuk mengembalikan society culture ke dalam konsep dasar-dasar agama. Fundamentaslime yang dimaksud merupakan sebuah ideologi baik individu maupun masyarakat untuk selalu berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama. Menurut penulis, apabila ditinjau berdasarkan ideologis maupun teologis, kedua paham ini bisa terbilang paham yang membantah dan menantang keras Marxisme.

RADIKALISME DAN FUNDAMENTALISME MENANTANG KERAS MARXISME

Marxisme yang dipelopori oleh Karl Marx, seorang ekonom senior asal Jerman yang menyatakan bahwa agama dicap sebagai candu masyarakat. Prof. Frans Magnis-Suseno dalam bukunya Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme dikatakan bahwa agama dapat membuat rakyat menjadi candu karena mereka (pecandu) mendapatkan kepuasan yang timbul dari agama itu sendiri, tetapi sebenarnya kepuasan itu sifatnya semu atau sementara karena menurut Marx, hal tersebut tidak mengubah situasi buruk terhadap si pecandu. Dengan kata lain, rakyat menjadi lebih mudah untuk terdoktrinasi yang pada akhirnya akan menerima seluruh nasib buruk yang dialaminya tanpa termotivasi untuk memperbaiki keadaan yang ada. Oleh karena itu, adanya fundamentalisme maupun radikalisme  yang sangat keras membantah Marxisme dan (mereka) menawarkan solusi untuk mengubah keadaan atau nasib seseorang menjadi lebih baik berdasarkan tuntunan ajaran agama. Walaupun radikalisme sangat menentang keras Marxisme, namun di sisi lain radikalisme justru dapat memicu tindakan-tindakan kekerasan yang berafiliasi kepada fundamentalisme manakala kebebasan untuk kembali pada ajaran agama tadi dihalangi oleh sosial-politik yang sedang menimpa masyarakat. Padahal jika ditelusuri secara mendalam, radikalisme sendiri sebetulnya tidak akan bermasalah manakala ia hanya bersarang dalam pemikiran (ideologis) para penganutnya. Sebaliknya, radikalisme menjadi sebuah masalah bahkan ancaman besar manakala ideologinya telah bergeser menjadi sebuah gerakan-gerakan yang bertujuan untuk merealisir fundamentalisme dari berbagai kukungan yang dilakukan oleh kekuatan politik lain. Tidak jarang gerakan ini dapat menimbulkan konflik terbuka atau kekerasan antara dua pihak yang saling bersebrangan. Penulis ingin mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh kelompok tersebut merupakan sebuah ekspresi atau manifestasi daripada pergelokan ajaran yang dianut olehnya.

Masifnya gerakan-gerakan ormas yang ingin mengubah konstitusi negara sesuai prinsip-prinsip Islam ditambah dengan maraknya berbagai serangan teror berupa  pengeboman di berbagai daerah belakangan akhir-akhir ini yang membawa embel-embel simbol Islam secara tidak langsung dapat melegalkan tindakannya yang pada akhirnya dapat menimbulkan situasi dan keadaan negara menjadi kacau tak terkendali. Adanya berbagai provokasi yang dilontarkan oleh orang-orang berpaham radikal menjadikan minoritas di negeri ini semakin terancam keberadaannya. Hal tersebut merupakan keinginan segelintir kaum Islam untuk mendominasi seluruh aspek dalam suatu negara berupa sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, ideologi, dan agama sebagai perwujudan daripada populisme Islam. Hilangnya sikap tasamuh, ta'awun, tawazun, dan musawah yang menjadi intisari daripada ajaran agama Islam, dinodai oleh tindakan-tindakan yang justru bertentangan dengan ajaran agama Islam itu sendiri. Tindakan-tindakan inilah yang sebetulnya dapat menciderai citra Islam, maka tidak heran bila dunia Barat selalu menjustifikasi bahwa agama Islam selalu identik dengan cap terorisme. Di pihak lain, Islam moderat hadir untuk mencegah bahkan menangkal ajaran-ajaran Islam yang radikal sebelum terlampau masif. Islam moderat sebagai antagonis daripada Islam radikal memainkan perannya untuk senantiasa menangkal daripada ajaran-ajaran ekstem yang sebetulnya menyimpang dari syariat ajaran Islam. 

ISLAM RADIKAL VS ISLAM MODERAT

Perbedaan mendasar antara Islam radikal dengan Islam moderat yaitu sebetulnya hanya berkutat pada seputar esensi pemahaman terhadap ajaran agama Islam itu sendiri. Dr. Sri Yunanto dalam bukunya, Islam Moderat vs Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer mengatakan bahwa penganut Islam radikal cenderung memahami agama secara tekstual, berpikiran kolot, anti-hermeneutika, ekslusif, eksplisit, normatif, dan terlebih lagi ingin memperjuangkan formalisasi syariah ke dalam konstitusi negara. Lain halnya dengan kaum Islam moderat (wasathiyyah), mereka cenderung lebih bersikap inklusif, implisit atau berpikiran terbuka, dan lebih mengutamakan isi, substansi, dan mempertahankan kemajuan Islam secara defensif serta tidak melakukan perubahan secara sistemik sehingga mewujudkan tatanan kehidupan yang harmonis dan rukun antar sesama ras, suku, maupun agama sehingga keutuhan negara akan dapat terus terjaga.

Terlepas daripada itu semua, Bung Hatta pernah mengatakan dalam suatu pernyataanya bahwa hendaknya kita sebagai umat Islam memilih dan mempertahankan strategi pengamalan Islam garam ketimbang Islam gincu. Filosofinya adalah Islam garam walaupun warnanya tidak terlihat namun rasa atau substansinya dapat dirasakan, begitupun sebaliknya, Islam gincu yang jelas warnanya terlihat menyala-nyala, namun rasa (substansi) nya tak bisa dirasakan. Menurut hemat penulis, pernyataan beliau sangat merepresentasikan Islam moderat yang mengajarkan untuk senantiasa bersikap tasamuh, ta'awun, tawazun, dan musawah dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, hendaklah kita selaku umat Islam untuk senantiasa mengembangkan sikap moderatisme dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari agar terhindar dari paham radikalisme yang justru dapat merusak tatanan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya kedamaian dunia. 

Akhir kata, segeralah untuk menjadi pribadi yang moderat sebelum terlambat dan sebelum terjadi tindakan-tindakan radikal yang amat sangat merugikan banyak umat. Mengingat kata pepatah, prevention is more better than cure.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun