Mohon tunggu...
Ahmad Chahardah
Ahmad Chahardah Mohon Tunggu... -

Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka yang berharga; Kitab Allah dan Itrah Ahlul Baitku. Selama berpegang pada keduanya, kalian tak akan tersesat selama-lamanya. (HR Muslim, Ad-Darimi, Ahmad, Al-Hakim, dan Turmudzi).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Islam: Muawiyah dan Khawarij

15 November 2013   15:26 Diperbarui: 4 April 2017   17:35 1783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona



Tahukah Anda siapa Muawiyah? Muawiyah adalah putra Abu Sufyan, orang Makkah yang memerangi Rasulullah saw. Sedangkan ibu Muawiyah adalah Hindun, perempuan yang memakan hati Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah saw).

Sejarah mengisahkan bahwa Muawiyah adalah warga Makkah yang memusuhi Nabi Muhammad saw. Ia memerangi Nabi bersama ayahnya yang bernama Abu Sufyan. Ketika pasukan Islam yang dipimpin Rasulullah saw berupaya membebaskan Makkah, orang-orang kafir Makkah ketakutan. Ada yang lari ke gunung. Ada yang sembunyi di Kabah. Juga ada yang meminta ampunan kepada Rasulullah saw. Dari beberapa orang yang meminta ampunan itu adalah Muawiyah. Ia kemudian masuk Islam. Ia menjadi sahabat Nabi dan dianggap penulis wahyu. Saya merasa heran kenap para penulis sejarah dan ustad-ustad sering bilang Muawiyah itu sahabat utama dan paling banyak menulis wahyu. Kalau dilacak dari peristiwa Futuh Makkah, Muawiyah masuk Islam kurang dari sepuluh tahun. Itu juga ketika keadaan terdesak karena mengalami "kekalahan"  menghadapi pasukan Islam.

Setelah wafat Rasulullah saw, Muawiyah bin Abu Sufyan terlihat belangnya. Dengan dalih menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan yang wafat dibunuh sahabat-sahabat yang tidak suka dengan kebijakan Utsman bin Affan, ia meminta Imam Ali sebagai khalifah terpilih agar menghukum orang-orang yang terlibat pembunuhan Utsman.

Saat kejadian huru hara, Muawiyah berada di luar Madinah dan tidak membantu Utsman yang dikepung. Padahal Muawiyah punya hubungan dekat dengan Utsman.

Imam Ali selaku sahabat ikut membantu melindungi Khalifah Utsman dari demonstrasi. Karena emosi yang sudah memuncak--dalam buku Saqifah Bani Saidah karya O.Hashem--disebutkan tiga orang masuk ke kamar Utsman. Langsung menikamnya. Saat ditikam itu, Utsman bicara, “Celakalah engkau putra sahabat-sahabatku. Ayahmu pasti marah kalau dia masih hidup.”

Setelah Utsman meninggal dunia, seluruh umat Islam membaiat Imam Ali sebagai khalifah keempat. Imam Ali membuat kebijakan dengan mengganti pejabat-pejabat yang diangkat Utsman adalah kerabat-kerabatnya seperti Marwan bin Hakam, Amr bin Ash, Mughirah bin Syub’ah, dan Muawiyah yang menjadi seorang kepala daerah.

Gaji pejabat disamakan dengan orang-orang miskin yang layak dapat santunan baitul mal. Istana khalifah yang dihuni Utsman dijual dan uangnya diberikan fakir miskin. Imam Ali memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke kota Kufah, Irak. Di sanalah Imam Ali merintis dakwah dan memimpin umat Islam. Karena itu, tidak heran kalau sebagian besar pasukan Islam berasal dari Kufah.

Tidak terima dengan pemecatan, mantan pejabat Utsman membaut makar. Ia melakukan teror kepada Umat Islam. Bahkan menyebarkan isu bahwa Imam Ali terlibat dalam pembunuhan Utsman. Kabar tersebut membuat Imam Ali geram. Apalagi tindakan mantan pejabat Utsman seperti Muawiyah melakukan penuntutan darah atas matinya Utsman. Dengan dalih menutut balas, Muawiyah menyerang kepada umat Islam. Tindakan itu membuat Imam Ali geram sehingga mengambil tindakan. Terjadilah peperangan di Shiffin antara pasukan Islam yang dipimpin Imam Ali melawan pasukan pemberontak yang dipimpin Muawiyah.

Dalam perang Shiffin, pasukan Muawiyah yang memberontak kepada Imam Ali bin Abi Thalib terdesak saat melawan pasukan Imam Ali. Penasihat Muawiyah yang bernama Amr bin Ash menyarankan untuk mengacungkan Quran dengan tombak sebagai upaya perdamaian. Imam Ali mengetahui bahwa itu hanya taktik. Imam Ali meminta untuk terus memerangi orang-orang yang berontak terhadap pemerintahan yang sah. Sayangnya, segelintir orang yang punya penagruh di Kufah terpengaruh dengan taktik Quran tersebut. Mereka meminta Imam Ali untuk berhenti perang dan mengajak damai. Imam Ali menyampaikan bahwa lawan mau damai sudah ajak awal akan melakukannya ketika surat ajaka dialog dilayangkan kepada Muawiyah. Ternyata tidak direspon malah menyerang umat Islam. Meski sudah dijelaskan, orang Islam yang terpengaruh itu memaksa, bahkan mengancam akan balik menyerang kepada Imam Ali.

Sang pemimpin Islam itu pun menuruti untuk menghindari dari hal-hal yang buruk. Pihak Muawiyah menginginkan agar ada juru damai dari masing-masing. Dari kelompok Muawiyah adalah Amr bin Ash. Sedangkan dari pasukan Islam adalah Musa Asyari. Sebelumnya, Imam Ali mengajukan Malik Asytar atau Ibnu Abbas. Tetapi ditolak oleh orang-orang telah terpengaruh tipu muslihat Muawiyah yang menggunakan Quran diacungkan. Yang diajukan adalah Musa Asyari oleh mereka. Untuk maslahat orang banyak, Musa didatangkan yang saat itu tidak ikut berpihak pada keduanya.

Terjadilah perundingan. Di antara keduanya sepakat bahwa pemimpin Islam harus diserahkan kepada umat Islam. Biarlah umat Islam memilih. Lalu, kedua belah pihak yang mewakili harus menurunkan masing-masing pemimpinnya. Yang pertama mengumumkan adalah yang tua: Musa Asyari. Ia naik podium dan menyatakan Imam Ali secara resmi bukan lagi khalifah. Giliran Amr bin Ash bicara. Ia naik podium dan menyatakan bahwa ia menetapkan Muawiyah sebagai khalifah.

Terjadilah keributan lagi. Orang-orang yang memaksa Imam Ali untuk berunding marah. Mereka meminta Imam Ali untuk membatalkannya. Sesuai dengan ajaran Islam bahwa sebuah perjanjian harus dilaksanakan sehingga Imam Ali membiarkannya. Karena tidak direspon, orang-orang itu kemudian keluar dari barisan pasukan Islam atau kelompok Imam Ali. Mereka inilah yang kemudian disebut Khawarij.

Orang-orang Khawarij ini dalam gerakannya hampir sama dengan kelompok Muawiyah. Mereka menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Karena itu, tidak sedikit umat Islam yang berakhir dengan kematian saat menolak seruan mereka.

Sekadar informasi bahwa di negeri kita ini masih ada orang-orang yang tidak belajar sejarah. Kerap kali menganggap orang-orang Islam yang keluar dari barisan Imam Ali sebagai Syiah yang berkhianat kepada Ahlulbait. Justru yang disebut Syiah itu adalah mereka yang tidak terpengaruh oleh Muawiyah dan tetap mengikuti Imam Ali bin Abi Thalib dan Keluarga Rasulullah saw.

Terbukti dalam sejarah, Khawarij diperangi oleh Imam Ali dan kelompok Muawiyah di Damaskus, Syiria, mendapat serangan dari Khawarij. Peta Islam pascawafat Rasulullah saw terbagi dalam tiga: Pertama, kelompok Ali bin Abi Thalib atau Ahlulbait yang kemudian disebut-sebut-sebut Syiah Ali atau Syiah. Kedua, kelompok Muawiyah dan pengikutnya yang memberontak kepada pemerintahan Islam yang sah. Ketiga adalah Khawarij, kaum Muslim pengikut Imam Ali yang kecewa atas perundingan kemudian memisahkan menjadi kelompok tersendiri. [ahmad]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun