Perjalanan tradisional mudik Lebaran, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, telah menjadi sebuah kebiasaan yang turun-temurun. Ribuan orang memilih untuk kembali ke kampung halaman menjelang perayaan Idul Fitri.
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru; jejak sejarah mudik di Indonesia dapat ditelusuri hingga zaman kerajaan. Konsep "mudik" sendiri mencerminkan arti perjalanan kembali ke kampung halaman.
Walaupun teknologi dan infrastruktur telah berkembang dengan pesat, tradisi mudik tetap menjaga kekokohan nilai-nilai budaya dan kebersamaan yang kuat. Tulisan ini akan mengupas sejarah, makna, dan hal-hal yang penting untuk diperhatikan selama perjalanan mudik.
Makna dan Asal Usul Tradisi Mudik di Indonesia
Tradisi mudik memiliki akar yang dalam, telah berlangsung sejak zaman kerajaan di Indonesia. Kata "mudik" berasal dari Bahasa Jawa, merupakan singkatan dari "mulih dilik", yang artinya pulang ke kampung halaman sementara.
Asal-usul kata "mudik" juga dapat ditelusuri ke bahasa Melayu "udik", yang menggambarkan makna hulu atau ujung. Pada masa lampau, masyarakat Melayu yang tinggal di daerah hulu sungai sering melakukan perjalanan ke daerah hilir sungai menggunakan perahu atau biduk untuk bertemu dengan sanak keluarga yang jauh.
Fenomena ini sudah ada bahkan sebelum zaman kerajaan Majapahit dan Mataram Islam. Namun, istilah "mudik lebaran" mulai populer pada tahun 1970-an, ketika Jakarta menjadi pusat daya tarik bagi penduduk desa yang berbondong-bondong merantau mencari pekerjaan.
Tradisi mudik juga erat kaitannya dengan akar perantauan, di mana jutaan orang meninggalkan kota untuk menuju kampung halaman menjelang libur lebaran. Dari persiapan hingga momen pulang kampung, kegiatan mudik menjadi bagian integral dari perayaan Idul Fitri di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H