Mohon tunggu...
AHMAD WILDAN SYARIFULLAH
AHMAD WILDAN SYARIFULLAH Mohon Tunggu... Aktor - Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Mahasiswa pegiat kajian filsafat dan isu keuangan -a Stoic

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kenaikan PPN, Cara Mudah Pemerintah Memeras Rakyat Kecil

29 Desember 2024   09:46 Diperbarui: 29 Desember 2024   19:13 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: 676a03ec89540.jpg (1200800) 

Momentum natal dan tahun baru kali ini diwarnai oleh keputusan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai alias PPN dari 11% menjadi 12%. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih gemar mencari solusi cepat daripada menata ulang masalah ekonomi struktural. Dengan dalih meningkatkan pendapatan negara, pemerintah justru memperbesar jurang ketimpangan sosial dan ekonomi masyarakat.

PPN bersifat regresif, yang artinya lebih membebani masyarakat miskin daripada yang kaya. Regresifitas ini menimbulkan beban yang lebih berat terhadap kelompok berpenghasilan rendah, yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk konsumsi kebutuhan dasar. Sementara itu, kelompok superkaya yang memiliki kapasitas konsumsi lebih besar justru merasakan dampak yang lebih kecil secara proporsional terhadap penghasilan mereka.

Melalui kebijakan ini, kepentingan rakyat tampaknya hanya menjadi nomor sekian. Tapi apa peduli pemerintah? Toh, mereka yang miskin selalu dianggap mampu menanggung segala kecacatan kebijakan. Kenaikan tarif dari 11% ke 12% yang artinya masyarakat miskin harus membayar lebih untuk kebutuhan pokok, sementara para konglomerat terus melenggang dengan kekayaan mereka yang terlindungi dari pajak progresif.

Mengutip teori optimal taxation ala Ramsey (1927), sistem pajak seharusnya meminimalisir distorsi ekonomi dan ketimpangan sosial. Namun, pemerintah tampaknya lebih memilih langkah yang paling mudah: memeras rakyat yang tidak punya daya tawar. Lagi-lagi, yang paling terdampak adalah kelompok rentan yang sebagian besar penghasilannya dihabiskan untuk sekadar konsumsi kebutuhan dasar.

Selain itu, kebijakan ini jelas mengabaikan logika dasar ekonomi bahwa: konsumsi adalah akar penggerak ekonomi. Dengan menaikkan PPN, harga barang dan jasa otomatis naik, daya beli masyarakat menurun, dan konsumsi domestik tercekik. Akibatnya? Pertumbuhan ekonomi yang seharusnya bisa didorong oleh konsumsi justru melambat.

Alih-alih memperbaiki sistem perpajakan yang kacau, di mana pengemplang pajak dari kalangan elit bebas berkeliaran, pemerintah malah memilih jalan pintas dengan menaikkan tarif PPN. Sungguh sebuah ironi ketika rakyat kecil yang setiap harinya bergelut dengan inflasi harus menanggung beban lebih besar, sementara mereka yang berlimpah kekayaan terus menikmati celah hukum.

Jika pemerintah serius mencari solusi untuk meningkatkan pendapatan negara, mengapa tidak memperbaiki administrasi pajak dan menindak para pengemplang pajak? Tapi tentu saja, menindak pengemplang pajak membutuhkan keberanian secara politis-sesuatu yang tampaknya tidak dimiliki oleh para perumus kebijakan ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun