Pendahuluan
Kriminologi komparatif merupakan salah satu cabang dari ilmu kriminologi yang mempelajari dan memahami fenomena kriminalitas dan sistem penegakkan hukum melalui analisis lintas negara. Studi ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi serta menemukan kebijakan yang lebih efektif dalam menangani kriminalitas. Sebagai bahan perbandingan, artikel ini menggunakan contoh penanganan sektor kriminal dari dua negara, yaitu Norwegia dan Amerika Serikat (AS). Komparasi ini menarik, sebab Norwegia sering dianggap sebagai contoh negara dengan sistem peradilan pidana yang humanis, sementara AS dikenal memiliki sistem yang lebih represif.
Sistem Hukum
Norwegia menggunakan sistem hukum berbasis sipil yang menekankan pada keadilan restoratif. Fokus utama sistem ini adalah memperbaiki hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Sebagai contoh, pengadilan di Norwegia sering menawarkan alternatif selain hukuman penjara, seperti pelayanan masyarakat (Pratt, 2008). Sebaliknya, AS mengadopsi sistem hukum berbasis common law yang cenderung menitikberatkan pada pencegahan kriminalitas melalui hukuman berat. Undang-Undang seperti "Three Strikes Law" di beberapa negara bagian AS menunjukkan pendekatan ini, di mana pelanggar residivis menghadapi hukuman yang sangat berat bahkan untuk pelanggaran ringan (Mauer & Chesney-Lind, 2002).
Sistem Penahanan
Norwegia dikenal dengan fasilitas penahanannya yang menyerupai lingkungan rehabilitasi. Penjara seperti Halden Prison dirancang untuk memberikan lingkungan yang mendukung rehabilitasi, menggunakan fasilitas modern, mendukung pelatihan kerja, dan akses pendidikan (Sterbenz, 2014). Narapidana diperlakukan dengan hormat, yang bertujuan untuk mempersiapkan mereka kembali ke masyarakat. Di sisi lain, sistem penahanan di AS sering kali bersifat represif dan padat penghuni. Banyak penjara di AS menghadapi masalah overkapasitas, kekerasan antar narapidana, dan kurangnya program rehabilitasi. Kondisi ini sering dikaitkan dengan tingkat residivisme yang tinggi di negara tersebut.
Tingkat Keberhasilan Rehabilitasi
Pendekatan humanis ala Norwegia terbukti menghasilkan tingkat residivisme yang rendah. Hal ini tercermin pada data dari Kriminalomsorgen yang menyebut bahwa persentase residivis di Norwegia adalah sekitar 18% dalam waktu dua tahun setelah pembebasan, dan meningkat menjadi 25% dalam waktu lima tahun. Secara eksplisit, data ini menunjukkan keberhasilan pendekatan Norwegia yang menekankan pada reintegrasi sosial narapidana. Sebaliknya, tingkat residivisme di AS mencapai sekitar 68% dalam tiga tahun setelah pembebasan. Tingginya angka ini menunjukkan bahwa pendekatan represif kurang efektif dalam mencegah pelanggaran berulang.
Reintegrative Shaming & Labeling Theory
Secara teoritis, pendekatan humanis yang diterapkan oleh Norwegia dapat dijelaskan melalui teori "Reintegrative Shaming" yang dikembangkan oleh John Braithwaite (1989). Teori ini menekankan bahwa rasa malu yang tidak merendahkan martabat pelaku tetapi mendorong mereka untuk bertanggung jawab dan memperbaiki kesalahan, memiliki potensi besar untuk mencegah residivisme. Dalam konteks Norwegia, sistem peradilan pidana mereka mempraktikkan pendekatan ini melalui rehabilitasi yang fokus pada reintegrasi sosial.