1). Aspek internal
Aspek ini mencakup hak ataupun kewenangan yang sifatnya eksklusif bagi negara untuk merancang struktur lembaga-lembaga pemerintahannya, membuat undang-undang sesuai dengan keinginan negara dan juga tentunya membuat kebijakan untuk menegakkan hukum tersebut.
2). Aspek eksternal
Aspek ini merujuk pada hak suatu negara untuk secara mandiri menentukan hubungan internasionalnya dengan negara ataupun aktor hi lainnya, tanpa adanya paksaan dari entitas lain.
3). Aspek teritorial
Kedaulatan mengacu pada kekuasaan yang dimiliki negara secara eksklusif atas individu-individu dan objek yang ada di dalam wilayah kekuasaannya.
3. Deklarasi Djuanda
Pada awal kemerdekaan, batas wilayah laut Indonesia ditetapkan sejauh 3 mil laut dari garis pantai (coastal baseline) di setiap pulau. Ketetapan ini mengacu pada peraturan kolonial Belanda yang diatur dalam Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939 (Soewito et al., 2000). Namun, aturan tersebut dianggap tidak lagi relevan untuk memenuhi kebutuhan keamanan Negara Indonesia. Sebagai respon terhadap tantangan ini, konsep Nusantara sebagai negara kepulauan (archipelago) diperkenalkan melalui Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957, yang menegaskan pendekatan baru dalam pengelolaan wilayah laut Indonesia. Deklarasi ini menyatakan bahwa seluruh perairan yang mengelilingi, berada di antara, dan menghubungkan pulau-pulau yang menjadi bagian wilayah daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia dianggap sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia. Tanpa memandang ukuran atau luas perairannya, wilayah tersebut diakui sebagai perairan nasional yang berada di bawah otoritas penuh Negara Indonesia. Sederhananya, deklarasi ini menegaskan hak kedaulatan Indonesia atas wilayah perairannya, yang mencakup seluruh elemen laut di dalam batas negara tersebut.
Pembahasan Utama
Sengketa Ambalat berawal dari perbedaan klaim wilayah antara Indonesia dan Malaysia setelah keputusan ICJ pada tahun 2002 yang memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia. Keputusan ini secara tidak langsung memengaruhi delimitasi batas laut di sekitar wilayah Ambalat. Malaysia menggunakan prinsip zona maritim yang dihasilkan dari pulau-pulau tersebut untuk memperluas klaimnya terhadap Blok Ambalat, sementara Indonesia mengacu pada garis dasar yang ditetapkan sebelumnya sesuai Deklarasi Djuanda. Selain aspek hukum, konflik ini juga dipicu oleh potensi cadangan minyak dan gas yang signifikan di Blok Ambalat, yang menjadikannya kawasan strategis bagi kedua negara.
Sejak tahun 2005, ketegangan meningkat dengan serangkaian insiden antara angkatan laut kedua negara. Salah satu insiden paling signifikan terjadi pada Maret 2005, ketika kapal perang Malaysia, KD Rencong, memasuki wilayah yang diklaim Indonesia, sehingga memicu respons dari TNI-AL. Insiden-insiden ini menciptakan suasana yang tidak kondusif untuk dialog, meskipun kedua negara mencoba menjaga hubungan diplomatik secara formal. Di sisi lain, konflik ini juga memicu sentimen nasionalisme, terutama di Indonesia. Demonstrasi anti-Malaysia menjadi salah satu respons domestik terhadap apa yang dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan oleh negara tetangga (Yusvitasari 2020). Secara eksplisit, sentimen ini memperumit upaya penyelesaian konflik, karena pemerintah kedua negara harus merespons tekanan publik.