MAIN CONGKLAK SAMA CAPRES DAN CAWAPRES
 "Karena hidup tidak hanya mengambil tapi juga memberi"
Hembusan angin sore itu sangat kencang, langit -- langit biru mulai tertutup oleh mendung, suara kilat menggelegar merambat dari kota ke perdesaan, itulah gambaran kecanggihan teknologi sekarang 1 menit berita bisa viral. Tapi yang paling penting kita kehujanan basah kuyup atau tiduran di rumah nonton tv sambil makan kerupuk, menikmati keributan ini itu yang bikin bulu -- bulu leher berdiri sendiri se akan -- akan ada aura -- aura kebencian.
Sekarang tv -- tv tidak hanya berada di perkotaan atau di perdesaan. Di penjuru warung -- warung di sediakan fasilitas tv sebagai wahana nobar kejuaraan sepak bola, tapi chanel itu di tahun 2019 mulai di arahkan ke acara televisi soal debat memperkuat dukungan capres dan cawapres yang pada tahun 2019 akan mencatat sejarah baru yang memang harus di abadikan dan di informasikan. Seakan -- akan ini adalah permaian sepak bola baru para kaum penikmat kopi,  yang banyak suposter-nya sana -- sini teriak yel -- yel antar pendukung sebagai bentuk partisipasi dalam pemilu tahun 2019, itu hal yang bagus dan luar biasa dalam membentuk kreatifitas dan ketrampilan setiap pemilih. Tapi kreatifitas itu akan hilang dan lebur dengan kata -- kata yang saling memojokan satu sama lain.
Sore itu Langlang kebingungan di tinggal kakaknya Buana pergi ke warung, pasalnya dia di tinggal sendiri di area persawahaan di bawah gubuk kecil. Temannya hanyalah rintihan hujan, karena semua yang dia dengar sebuah anugrah yang luar biasa meskipun yang di dengar adalah berita -- berita yang kadang tidak benar. Dia bersyukur tidak bisa melihat, memang Tuhan memberikan kebutaan terhadap matanya bukan sebuah musibah atau rasa cacat, dia mulai memaknai kebutaan ketika berkali -- kali mendengar cerita dari kakaknya Buana yang menjelaskan di dunia ini apa yang tidak menipu? Padangan mata yang selalu dilihat hanyalah fana yang sebenarnya kesimpulan indah dan buruknya muncul dari hati yang paling dalam bukan karena pandangan mata. Bagaimana tidak? tanpa melihat, Langlang tahu  bahwa nilai keindahan bisa dia rasakan lewat sentuhan dan rabaannya dari hati yang paling dalam mengenahi perilaku setiap orang. Bukan karena berpakaian yang rapi atau compang camping tapi melainkan dari perilaku yang diberikan kepada orang lain itulah keindahan menurut Langlang dalam mengartikan kebutaannya.
Tak lama hujan berhenti, Buana dan adek -- adeknya kembali menemui Langlang. Awalnya ingin memulung dijalanan tapi Buana berubah pikiran saat melihat seorang anak desa sedang bermain congklak yang sangat seru penuh denga nilai ke agungan yang berharga untuk adek -- adeknya. Akhirnya Buana hanya membawakan berbutir -- butir batu kerikil dan satu batang ranting sebagai percobaan permaian tersebut. yang dimana permaian itu dari kecil belum pernah dia mainkan sama sekali.
Karena tidak memiliki papan congklak, Buana akhirnya melukiskan lingkaran -- lingkaran kecil berjumlah 14 lingkaran yang berhadapan dengan 7 lingkaran untuk  lawan dan 7 lingkaran untuk  dirinya sendiri, begitu juga dilukiskan dua lingkaran besar di kedua sisi. Ketika lukisan papan congklak itu selesai adeknya mulai bingung apa yang Buana lakukan dengan lingkaran - lingkaran tersebut. Denga rasa penasaran Bara bertanya pada kakaknya.
"Kenapa lingkaran yang berhadapan kok cuma 7?" Tanya Bara merasa bingung.
Buana berpikir sejenak karena Buana juga belum begitu mengerti. Â Tak lama dari itu karena memiliki pemikiran yang sangat cepat dia mulai menjawab sesuai dari perjalanan hidupnya.
" Oh itu ... Jadi 7 melambangkan sebuah hari, dimana hari -- hari itu nantinya akan terus kita lewati, begitu juga melewati hari lainya hingga kita jatuh pada lingkaran yang paling besar yaitu kematian" Ucap Buana sambil menunjuk kedua lubang besar di kedua sisi.
"Terus cara bermainnya gimana mas?" Tanya Langlang yang hanya bisa mendengar.