Mohon tunggu...
Ahmad Khoirul Ikhsan
Ahmad Khoirul Ikhsan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta yang memiliki ketertarikan terhadap dunia tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menuju Pilkada 2024, Ancaman bagi Persatuan dan Kebhinekaan

16 Juli 2024   21:20 Diperbarui: 17 Juli 2024   11:58 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Opini : " Tahun politik menjadi momentum para pejabat yang ingin mendapatkan kekuasaan  dengan menggunakan berbagai cara, termasuk politik identitas atau strategi politik yang memanfaatkan identitas kelompok tertentu untuk mencapai tujuan politik tertentu. Tidak jarang kita mendapati masyarakat yang terpecah belah karena perbedaan pilihan, bahkan dalam satu keluarga. Upaya apa yang perlu dilakukan supaya kita bisa menjaga persatuan di tahun politik. "

Pemilihan kepala daerah 2024 (Pilkada) akan menjadi sebuah momen penting demi menuju negara demokrasi. Seperti halnya pesta demokrasi umumnya, Pilkada 2024 tidak hanya  menjadi ajang pemilihan pemimpin daerah saja, namun juga menjadi ajang yang mencerminkan dinamika politik, partisipasi masyarakat, dan perkembangan sosial ekonomi di berbagai daerah.

Dalam pandangan generasi milenial dan generasi Z terhadap dunia politik bisa dikatakan jika generasi tersebut menjadi salah satu penyumbang hak suara terbesar dalam perhelatan politik yang akan datang. Jika dilihat dari beberapa akhir ini, generasi milenial banyak yang terjun langsung ke dalam perpolitikan Indonesia tepatnya dalam sejarah Pemilu 2024 kemarin dan Pilkada serentak 2024 menjelang. Banyak generasi milenial yang maju mencalonkan dirinya untuk ikut berpartisipasi dalam perhelatan dunia politik Indonesia. Dalam hal ini generasi milenial termasuk ke dalam lingkup kalangan yang aktif dalam perhelatan politik di negara ini.

Namun, berbeda dengan generasi Z yang menjadi salah satu penyumbang hak suara terbesar dalam perhelatan politik. Generasi Z cenderung masuk ke dalam kategori mengidap penyakit labilitas dan emosionalitas. Bisa dikatakan jika kalangan generasi Z masuk ke dalam pusaran antara antusiasme politik dan apatisme politik, pada sisi mereka bersemangat mendengar bahkan mengikuti berita-berita politik melalui sosial media yang sudah menjadi salah satu aspek kehidupan mereka, dan di sisi lain belum tentu mereka mempunyai antusiasisme yang simetris dengan realitas perilaku politiknya. Banyak generasi Z yang sudah melek akan sejarah politik Indonesia bahkan mereka pun sering kali menarik dengan jejak digital para paslon yang akan maju tersebut. Faktor tersebutlah yang bisa menjadikan generasi Z mengidap penyakit labilitas dan emosionalitas dalam konteks perpolitikan.

Jika dilihat dari kedua sisi generasi milenial dan generasi Z tersebut, generasi milenial yang berani terjun langsung maju mencalonkan diri dalam perhelatan dunia politik Indonesia harus mampu membuat ulang citra baik terhadap dunia politik terhadap generasi Z.

Dalam tahun politik Indonesia seperti tahun ini, banyak kejadian-kejadian yang menjadi sebuah sorotan, seperti halnya penggunaan politik identitas. Dapat diambil contoh pada mobilisasi massa dalam Aksi 411 dan 212 di Jakarta sendiri yang menjadi bukti nyata menguatnya muslim di beberapa daerah Indonesia dalam merespons isu penodaan agama yang dilakukan Ahok. Bisa dikatakan jika mobilisasi massa tersebut bernuansa politisasi agama.

Munculnya praktik politik identitas bukanlah hal yang baru di negara ini, dikarenakan setiap datangnya tahun politik para-para pejabat yang ingin meraih kekuasaan dan keuntungan material tertentu menggunakan semua cara untuk mendapatkan semua itu. Isu agama dijadikan bahan jual beli dalam sebuah ajang kontes politik sudah memiliki ruang yang besar di negara ini. Di mana negara yang memiliki mayoritas agama tertentu menjadi tempat yang sangat relevan untuk melakukan politisasi agama, dikarenakan pembahasan bahkan praktik tersebut akan sangat laku dan menjadi kekuatan yang besar untuk para pejabat mencapai tujuan kekuasaan politik.

Pada tahun politik akhir-akhir ini panasnya agama dan politisasi menjadi perbincangan yang selalu ramai di kalangan masyarakat. Politisasi agama sendiri bisa diartikan jika penggunaan norma, doktrin, ajaran, prinsip, teks, dan simbol-simbol keagamaan untuk mencapai sebuah tujuan politik praktis-kekuasaan. Bisa dikatakan jika agama dapat digunakan, dimanipulasi, dan eksploitasi sedemikian rupa untuk kepentingan politik identitas dan kekuasaan tertentu baik pihak kelompok sosial maupun individu.

Fenomena politik identitas yang selalu dikemas dalam populisme Islam, suku, ras, dan budaya kalau berada di tangan para pemimpin dan politisi yang tidak berani melawan arus, populisme tersebut bisa berubah menjadi racun yang akan membunuh demokrasi secara perlahan tapi pasti.

Politik Identitas

Politik identitas sendiri pertama kalinya populer di Amerika Serikat, dikarenakan pada saat itu tingkat diskriminasi sangat tinggi antara ras kulit hitam dan ras kulit putih. Dalam persepsi Cressida Heyes (2007) politik identitas mendefinisikan sebagai penandaan aktivitas politis dalam pengertian yang lebih luas dan teorisasi terhadap ditemukannya pengalaman ketidakadilan yang dialami oleh anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun