Mohon tunggu...
Ahmad Rusdiana
Ahmad Rusdiana Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Pendidikan, Peneliti, Pengabdian Kepada Masyarakat-Pendiri Pembina Yayasan Pendidikan Al-Misbah Cipadung Bandung- Pendiri Pembina Yayasan Tresna Bhakti Cinyasag-Panawangan-Ciamis Jawa Barat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Membaca dan Menulis Dengan Moto Belajar dan Mengabdi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengatasi Toxic Relationship: The Over-Dependent Partner (Bergantung Penuh) Menjelang Bonus Demografi 2030

28 Mei 2024   17:11 Diperbarui: 28 Mei 2024   19:03 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Viddsee, Tersedia di https://www.viddsee.com/channel/viddsee-picks/indonesia?locale=id

Mengatasi Perilaku Toxic Relationship: The Over-Dependent Partner (Bergantung Penuh) Menjelang Era Bonus Demografi di Indonesia 2030

Oleh: Ahmad Rusdiana

Indonesia akan segera memasuki era bonus demografi pada tahun 2030, di mana populasi usia produktif akan mencapai puncaknya. Era ini menawarkan peluang besar bagi negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun, untuk memaksimalkan potensi ini, generasi muda perlu diberdayakan menjadi individu yang mandiri dan percaya diri. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah perilaku dalam hubungan interpersonal, khususnya perilaku ketergantungan berlebihan pada pasangan, atau yang dikenal sebagai the over-dependent partner (bergantung penuh). Ketergantungan berlebihan ini dapat menghambat perkembangan pribadi dan kemandirian, sehingga mengurangi kontribusi individu dalam masyarakat. Thomas L. Cory dan Riani (2021),  Tulisan ini akan membahas lebih lanjut tentang perilaku over-dependent partner, dampaknya, dan cara mengatasinya untuk meningkatkan talenta muda Indonesia. Mari Kita breakdown, satu persatu: 

Pertama: Memahami Perilaku Over-Dependent Partner; Perilaku over-dependent partner ditandai dengan ketergantungan emosional dan psikologis yang berlebihan pada pasangan. Individu yang mengalami ketergantungan ini sering kali merasa tidak mampu membuat keputusan atau menghadapi tantangan tanpa bantuan pasangan mereka. Mereka mungkin menunjukkan rasa takut berlebihan akan kehilangan, membutuhkan konfirmasi terus-menerus, dan merasa tidak aman ketika tidak bersama pasangan.

Kedua: Dampak Ketergantungan Berlebihan; Ketergantungan berlebihan pada pasangan dapat memiliki dampak negatif yang signifikan. Secara pribadi, individu yang terlalu bergantung mungkin mengalami penurunan rasa percaya diri dan kemandirian, sehingga menghambat perkembangan pribadi dan profesional. Mereka mungkin juga menghadapi kesulitan dalam mengembangkan keterampilan sosial dan coping mechanisms yang diperlukan untuk menghadapi tantangan hidup.

Dalam konteks yang lebih luas, perilaku ini dapat mengurangi kontribusi individu dalam masyarakat. Ketika generasi muda tidak dapat berfungsi secara mandiri, potensi mereka untuk berinovasi, berwirausaha, dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan ekonomi dan sosial negara menjadi terbatas. Hal ini sangat relevan menjelang era bonus demografi, di mana setiap individu diharapkan dapat memberikan kontribusi maksimal.

Ketiga:  Strategi Mengatasi Ketergantungan Berlebihan; Untuk mengatasi ketergantungan berlebihan, diperlukan pendekatan yang komprehensif yang melibatkan individu, pasangan, dan masyarakat. Berikut beberapa strategi yang dapat diterapkan: 1) Pendidikan dan Kesadaran: Meningkatkan kesadaran akan pentingnya kemandirian dan rasa percaya diri melalui program pendidikan dan kampanye sosial. Pendidikan tentang hubungan sehat dan pengembangan pribadi dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan universitas. 2) Pelatihan Keterampilan: Menyediakan pelatihan keterampilan untuk mengembangkan kemampuan individu dalam membuat keputusan, menghadapi tantangan, dan mengelola stres. Program pelatihan ini bisa dilakukan oleh lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta. 3) Dukungan Psikologis: Membuka akses yang lebih luas terhadap layanan konseling dan dukungan psikologis. Konseling dapat membantu individu memahami dan mengatasi ketergantungan mereka, serta membangun hubungan yang lebih sehat dan seimbang.

Singkatnya, menjelang era bonus demografi 2030, Indonesia memiliki kesempatan emas untuk memanfaatkan potensi generasi muda dalam pembangunan negara. Namun, tantangan seperti perilaku ketergantungan berlebihan dalam hubungan dapat menghambat perkembangan pribadi dan kontribusi individu. Dengan memahami, mengatasi, dan memberdayakan generasi muda untuk menjadi lebih mandiri dan percaya diri, Indonesia dapat memaksimalkan manfaat dari bonus demografi ini. Melalui pendidikan, pelatihan keterampilan, dan dukungan psikologis, kita dapat membentuk talenta muda yang siap menghadapi masa depan dengan mandiri dan penuh percaya diri, memberikan kontribusi maksimal untuk masyarakat dan negara. Wallahu A'lam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun