Tri Pantangan KHD: Memperkuat Integritas dan Kebijaksanaan Dalam Pembelajaran
Belajar "Eksplorasi Pedoman Operasional Praktis 7-Tri-Ki Hadjar Dewantara" Â Bagian II
Ini mencerminkan fokus pada nilai-nilai moral yang penting seperti integritas, penghargaan terhadap keberagaman, tanggung jawab, keadilan, dan kebijaksanaan, yang merupakan elemen kunci dalam proses pembelajaran bagi guru dan siswa.
Oleh: Ahmad Rusdiana
Tri pantangan merupakan salah satu ajaran tamansiswa yang lahir dari pemikiran Ki Hajar Dewantara yaitu terkait tiga larangan penyalahgunaan kekuasaan, larangan penyalahgunaan keuangan, dan larangan melanggar kesusilaan (Trisharsiwi et al., 2020). Tri Pantangan mengacu pada prinsip-prinsip moral dan etika yang harus dihindari atau dijauhi dalam proses pendidikan. Ini mencakup larangan terhadap perilaku yang merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan, serta penolakan terhadap perilaku-perilaku negatif seperti kebohongan, kekerasan, dan intoleransi.
Pemahaman Tri Pantangan Tamansiswa meliputi pantang menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang, pantang menyalahgunkan keuangan dan pantang melanggar kesusilaan (Prihatni, 2020). Penjelasan Tri Pantangan Tamansiswa menurut Wijayanti (2018) yaitu: 1) Larangan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki artinya, seseorang yang memiliki kekuasaan atau jabatan tidak diperbolehkan menyalahgunakan jabatan tertentu untuk bertindak tidak jujur. 2) larangan penyelewengan keuangan. Uang harus digunakan sebagaimana mestinya demi kesejahteraan tidak diperbolehkan melakukan korupsi. 3) larangan melanggar kesusilaan. Seseorang yang berbudi pekerti luhur sejogjanya menjunjung tinggi norma-norma sehingga tidak melakukan kecurangan.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar, pemahaman dan penerapan Tri Pantangan menjadi sangat penting baik bagi pengajar maupun pelajar. Tri Pantangan yang merupakan salah satu ajaran penting dalam filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, menawarkan pandangan yang relevan dalam menghadapi dinamika pendidikan yang terus berkembang.
Pertama-tama, larangan menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang menjadi kunci dalam membangun hubungan yang sehat antara pengajar dan pelajar. Dalam konteks pengajar, hal ini menekankan pentingnya integritas dan etika profesional. Pengajar memiliki kekuasaan dalam menyampaikan pengetahuan dan membimbing perkembangan siswa. Namun, kekuasaan tersebut tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Dalam merancang Kurikulum Merdeka, pengajar perlu memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada kepentingan terbaik bagi keseluruhan komunitas belajar, bukan kepentingan pribadi.
Kedua, larangan penyelewengan keuangan menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya pendidikan. Dalam konteks Kurikulum Merdeka, sumber daya pendidikan tidak hanya terbatas pada aspek keuangan, tetapi juga meliputi waktu, tenaga, dan fasilitas pendidikan lainnya. Pengajar dan pelajar perlu memastikan bahwa sumber daya tersebut dimanfaatkan secara efisien dan efektif untuk mendukung proses pembelajaran yang optimal. Pengajar bertanggung jawab untuk mengelola anggaran pendidikan dengan penuh integritas dan menghindari praktik korupsi atau penyelewengan dana pendidikan.
Ketiga, larangan melanggar kesusilaan menegaskan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika dalam interaksi antar individu di lingkungan pendidikan. Dalam konteks Kurikulum Merdeka, pengajar dan pelajar perlu menjaga sikap hormat dan toleransi terhadap perbedaan, serta menghindari perilaku yang dapat merugikan atau melukai orang lain secara fisik maupun emosional. Penerapan nilai-nilai kesusilaan ini akan membantu menciptakan lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan mendukung perkembangan karakter positif pada setiap individu.