Korupsi telah menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan. Praktik korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah dan menghambat pembangunan nasional. Sebagai salah satu bentuk pencegahan dan penindakan terhadap kejahatan ini, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sebagai instrumen hukum yang diharapkan mampu menjerat hasil kejahatan korupsi secara efektif.
Namun, meskipun telah lama dibahas, RUU Perampasan Aset menghadapi berbagai hambatan dalam proses pengesahannya. Kendala tersebut meliputi dinamika politik, perbedaan kepentingan, hingga kekhawatiran akan penyalahgunaan wewenang. Hal ini menjadikan pengesahan RUU tersebut sebagai salah satu isu yang mendesak untuk segera diselesaikan demi mendukung pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif di Indonesia.
Mengapa RUU Perampasan Aset Sulit Disahkan?
Beberapa faktor utama yang menyebabkan RUU Perampasan Aset sulit disahkan antara lain:
1. Ketidakkonsistenan DPR
Meskipun banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi, kenyataannya sering kali tidak sejalan dengan tindakan mereka dalam mengesahkan regulasi yang mendukung upaya tersebut. Ketidakkonsistenan ini dapat terlihat dari prioritas yang diberikan pada RUU lainnya dibandingkan RUU Perampasan Aset, serta terjadinya tarik ulur antara kepentingan politik dan kebutuhan mendesak untuk memberantas korupsi. Hal ini mengindikasikan bahwa keberpihakan terhadap agenda antikorupsi belum sepenuhnya menjadi konsensus di DPR.
2. Kekhawatiran terhadap Hak Asasi Manusia
Salah satu alasan utama lambatnya pembahasan RUU ini adalah adanya kekhawatiran bahwa peraturan yang terlalu ketat dalam penyitaan aset dapat melanggar hak asasi manusia (HAM). Beberapa anggota DPR berpendapat bahwa langkah-langkah yang agresif dalam merampas aset hasil kejahatan dapat berpotensi mengorbankan prinsip praduga tak bersalah dan keadilan hukum. Perdebatan mengenai keseimbangan antara kebutuhan memberantas korupsi dan perlindungan HAM menjadi salah satu hambatan besar dalam pengesahan RUU ini.
3. Pengaruh Politik dan Ekonomi
Korupsi sering melibatkan jaringan yang kuat di sektor politik dan ekonomi, sehingga RUU ini menghadapi resistensi dari pihak-pihak yang merasa terancam oleh keberadaannya. Beberapa anggota DPR mungkin memiliki hubungan atau kepentingan yang terkait dengan jaringan tersebut, sehingga keberpihakan terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi lemah. Kepentingan pribadi dan politik sering kali mengalahkan kebutuhan publik untuk memiliki regulasi yang lebih tegas dalam memerangi korupsi.