Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

RUU Perampasan Aset Terkendala: Antara Tekanan Masyarakat dan Dinamika Politik

10 Desember 2024   18:10 Diperbarui: 10 Desember 2024   18:10 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi telah menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan. Praktik korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah dan menghambat pembangunan nasional. Sebagai salah satu bentuk pencegahan dan penindakan terhadap kejahatan ini, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset sebagai instrumen hukum yang diharapkan mampu menjerat hasil kejahatan korupsi secara efektif.

Namun, meskipun telah lama dibahas, RUU Perampasan Aset menghadapi berbagai hambatan dalam proses pengesahannya. Kendala tersebut meliputi dinamika politik, perbedaan kepentingan, hingga kekhawatiran akan penyalahgunaan wewenang. Hal ini menjadikan pengesahan RUU tersebut sebagai salah satu isu yang mendesak untuk segera diselesaikan demi mendukung pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif di Indonesia.

Mengapa RUU Perampasan Aset Sulit Disahkan?

Beberapa faktor utama yang menyebabkan RUU Perampasan Aset sulit disahkan antara lain:

1. Ketidakkonsistenan DPR

Meskipun banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan komitmen mereka terhadap pemberantasan korupsi, kenyataannya sering kali tidak sejalan dengan tindakan mereka dalam mengesahkan regulasi yang mendukung upaya tersebut. Ketidakkonsistenan ini dapat terlihat dari prioritas yang diberikan pada RUU lainnya dibandingkan RUU Perampasan Aset, serta terjadinya tarik ulur antara kepentingan politik dan kebutuhan mendesak untuk memberantas korupsi. Hal ini mengindikasikan bahwa keberpihakan terhadap agenda antikorupsi belum sepenuhnya menjadi konsensus di DPR.

2. Kekhawatiran terhadap Hak Asasi Manusia

Salah satu alasan utama lambatnya pembahasan RUU ini adalah adanya kekhawatiran bahwa peraturan yang terlalu ketat dalam penyitaan aset dapat melanggar hak asasi manusia (HAM). Beberapa anggota DPR berpendapat bahwa langkah-langkah yang agresif dalam merampas aset hasil kejahatan dapat berpotensi mengorbankan prinsip praduga tak bersalah dan keadilan hukum. Perdebatan mengenai keseimbangan antara kebutuhan memberantas korupsi dan perlindungan HAM menjadi salah satu hambatan besar dalam pengesahan RUU ini.

3. Pengaruh Politik dan Ekonomi

Korupsi sering melibatkan jaringan yang kuat di sektor politik dan ekonomi, sehingga RUU ini menghadapi resistensi dari pihak-pihak yang merasa terancam oleh keberadaannya. Beberapa anggota DPR mungkin memiliki hubungan atau kepentingan yang terkait dengan jaringan tersebut, sehingga keberpihakan terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi lemah. Kepentingan pribadi dan politik sering kali mengalahkan kebutuhan publik untuk memiliki regulasi yang lebih tegas dalam memerangi korupsi.

4. Kurangnya Tekanan Masyarakat

Meskipun masyarakat Indonesia secara umum menyadari dampak buruk korupsi, tekanan publik untuk mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset sering kali tidak cukup kuat. Hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi yang sampai ke masyarakat mengenai pentingnya regulasi ini, serta lemahnya advokasi dari organisasi masyarakat sipil untuk menjadikan isu ini sebagai prioritas nasional. Tanpa tekanan yang signifikan dari masyarakat, DPR tidak merasa cukup terdorong untuk mempercepat proses legislasi.

5. Proses Legislasi yang Rumit

Proses legislasi di Indonesia melibatkan tahapan yang panjang dan kompleks, mulai dari penyusunan draf, pembahasan di DPR, hingga pengesahan. Proses ini sering kali terhambat oleh dinamika politik, perbedaan pandangan antara fraksi, serta kurangnya koordinasi antara lembaga pemerintah terkait. RUU Perampasan Aset pun tidak terlepas dari hambatan ini, di mana perdebatan dan tarik ulur antar pemangku kepentingan menyebabkan stagnasi dalam pengesahan regulasi tersebut.

Konsep NCBAF: Harapan Baru atau Tantangan Baru?

1. Pernyataan Wamenkum Edward O. S. Hiariej Terkait RUU Perampasan Aset

Wakil Menteri Hukum (Wamenkum), Edward O. S. Hiariej, menegaskan pentingnya pembahasan mendalam terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang tengah digodok bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Salah satu hal yang menjadi sorotan utama adalah pengenalan konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF) atau perampasan aset tanpa pemidanaan. Konsep ini merupakan hal baru dalam sistem hukum Indonesia dan diadopsi dari pedoman internasional melalui United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

a. Pentingnya Kajian Mendalam

Wamenkum Eddy menjelaskan bahwa karena NCBAF adalah hal baru bagi Indonesia, kajian yang mendalam diperlukan, terutama terkait hukum acara. NCBAF memungkinkan negara untuk merampas aset hasil kejahatan tanpa harus membuktikan kesalahan pelaku melalui proses pemidanaan. Ini menimbulkan tantangan baru, terutama untuk memastikan konsep ini selaras dengan prinsip hukum Indonesia, seperti keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.

b. Konsep NCBAF dalam UNCAC

Konsep NCBAF diperkenalkan melalui UNCAC, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Dalam UNCAC, perampasan aset tanpa pemidanaan dianggap sebagai langkah efektif untuk memberantas korupsi, terutama dalam kasus di mana pelaku tidak dapat dihukum secara langsung, tetapi bukti menunjukkan adanya aset hasil kejahatan. Hal ini sering dikaitkan dengan pendekatan follow the money, yaitu melacak aliran dana hasil kejahatan untuk pemulihan aset.

c. Fokus pada Pemulihan Aset (Asset Recovery)

Eddy menekankan bahwa dalam konteks UNCAC, asset recovery diterjemahkan sebagai pemulihan aset, bukan sekadar perampasan aset. Pemulihan aset mencakup upaya untuk mengembalikan hasil kejahatan kepada negara atau pihak yang dirugikan. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada pelaku (follow the suspect), tetapi juga pada aliran dana (follow the money), sehingga menciptakan upaya yang lebih komprehensif dalam pemberantasan korupsi.

d. Tantangan Implementasi

Salah satu tantangan utama dalam mengadopsi NCBAF adalah penyusunan hukum acara yang sesuai. Dalam konteks Indonesia, hukum acara yang detail dan tepat diperlukan untuk menjamin proses perampasan aset tetap berada dalam kerangka hukum yang adil. Hal ini melibatkan aspek teknis seperti pembuktian, penentuan status aset, dan perlindungan hak-hak pihak ketiga yang mungkin terlibat.

e. Kesatuan Pendekatan UNCAC

Eddy juga menegaskan pentingnya memahami UNCAC secara menyeluruh dan tidak parsial. Sebagai instrumen internasional, UNCAC memberikan pedoman yang terintegrasi dalam memerangi korupsi, meliputi pencegahan, penindakan, kerja sama internasional, dan pemulihan aset. Hal ini menunjukkan bahwa RUU Perampasan Aset harus menjadi bagian dari upaya yang lebih besar untuk menciptakan sistem pemberantasan korupsi yang efektif, efisien, dan berstandar internasional.

Pernyataan Wamenkum Eddy menggambarkan upaya pemerintah untuk memperkuat regulasi pemberantasan korupsi melalui RUU Perampasan Aset, dengan fokus pada integrasi konsep NCBAF. Meski menghadapi tantangan teknis dan hukum, langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menyelaraskan hukum nasional dengan standar internasional guna menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.

2. Praktik Perampasan Aset dan Posisi RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas

Wamenkum Edward O. S. Hiariej menjelaskan bahwa Indonesia telah memiliki praktik perampasan aset sebagai bagian dari upaya pemberantasan korupsi, meskipun masih berdasarkan konsep Conviction Based Asset Forfeiture (CBAF). Ini berarti perampasan aset dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Langkah ini telah berlangsung sejak diberlakukannya undang-undang tindak pidana korupsi pada tahun 1964 hingga yang terbaru, UU No. 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

a. Perampasan Aset Berbasis Conviction Based Asset Forfeiture (CBAF)

CBAF menjadi dasar dalam perampasan aset selama ini, di mana aset yang dirampas harus melalui proses peradilan formal terlebih dahulu. Dalam model ini, aset hanya dapat dirampas jika pelaku dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Hal ini dilakukan oleh institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian. Namun, pendekatan ini memiliki keterbatasan, terutama dalam kasus di mana pelaku sulit dijerat secara hukum, misalnya jika pelaku melarikan diri atau telah meninggal dunia.

b. RUU Perampasan Aset: Peralihan ke Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF)

RUU Perampasan Aset bertujuan untuk mengadopsi konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF), yang memungkinkan negara untuk merampas aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu putusan pidana terhadap pelaku. Konsep ini diharapkan dapat melengkapi pendekatan CBAF, sehingga menjadi lebih efektif dalam melacak dan memulihkan aset hasil kejahatan, terutama dalam kasus yang kompleks.

c. Posisi RUU Perampasan Aset dalam Prolegnas 2025-2029

RUU Perampasan Aset telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2025-2029. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah bersama DPR untuk memberikan perhatian khusus terhadap pengesahan RUU ini. Meskipun prosesnya belum selesai, masuknya RUU ini ke dalam Prolegnas menjadi langkah penting untuk memastikan pembahasannya dilakukan secara terencana dan sistematis.

d. Tantangan dan Harapan

Meskipun perampasan aset telah dilakukan selama puluhan tahun, langkah-langkah yang diatur dalam RUU Perampasan Aset diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, tantangan seperti pengaturan hukum acara, mekanisme pengawasan, dan kekhawatiran terhadap penyalahgunaan kewenangan tetap harus menjadi perhatian utama.

Pernyataan Wamenkum menggarisbawahi perkembangan penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan praktik perampasan aset yang telah berjalan lama berdasarkan CBAF, adopsi NCBAF melalui RUU Perampasan Aset akan memberikan kerangka hukum yang lebih fleksibel dan kuat. Langkah ini tidak hanya menunjukkan kesungguhan pemerintah dalam melawan korupsi tetapi juga membuka jalan bagi tata kelola aset hasil kejahatan yang lebih efektif dan efisien di masa depan.

Pentingnya Peran Masyarakat dalam Mendorong Pengesahan RUU Perampasan Aset

Masyarakat memiliki peran krusial dalam mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Sebagai pemangku kepentingan utama, masyarakat dapat memengaruhi pengambilan keputusan melalui berbagai cara, seperti tekanan publik, partisipasi dalam diskusi, dan peningkatan kesadaran akan pentingnya regulasi ini. Berikut penjelasan lebih rinci:

1. Memberikan Tekanan kepada Wakil Rakyat

Masyarakat dapat menggunakan hak suaranya untuk mendorong para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar menjadikan pengesahan RUU Perampasan Aset sebagai prioritas. Ini dapat dilakukan melalui:

  • Petisi publik: Menggalang dukungan melalui petisi online atau aksi massa yang mengarah pada tekanan politis terhadap DPR.
  • Kampanye sosial: Menggunakan media sosial untuk menyuarakan pentingnya pengesahan RUU ini. Tagar kampanye, infografis, dan video edukasi dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran.
  • Dialog langsung: Melibatkan masyarakat dalam diskusi publik dengan anggota DPR untuk menuntut komitmen dan transparansi mereka terkait RUU ini.

2. Meningkatkan Pemahaman tentang Pentingnya RUU Perampasan Aset

Banyak masyarakat yang mungkin belum memahami manfaat RUU ini dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, langkah-langkah edukasi berikut perlu dilakukan:

  • Sosialisasi manfaat RUU: Menjelaskan bahwa RUU Perampasan Aset dapat mempercepat pemulihan aset negara yang hilang akibat korupsi dan menyelamatkan uang rakyat.
  • Pelibatan organisasi masyarakat sipil: Lembaga seperti ICW, Transparency International Indonesia, atau komunitas antikorupsi dapat menjadi garda depan dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat.
  • Media sebagai alat edukasi: Media massa dan media sosial dapat menyajikan informasi sederhana tetapi kuat untuk menjelaskan pentingnya regulasi ini.

3. Mendorong Partisipasi dalam Proses Legislasi

Masyarakat dapat terlibat langsung dalam proses legislasi, seperti:

  • Menghadiri forum publik: Ketika DPR atau pemerintah membuka ruang konsultasi publik, masyarakat dapat memberikan masukan yang konstruktif.
  • Memonitor jalannya legislasi: Masyarakat dapat memantau perkembangan RUU ini melalui lembaga terkait atau media, kemudian menuntut akuntabilitas DPR jika terjadi hambatan tanpa alasan jelas.

4. Menumbuhkan Budaya Antikorupsi

Selain mendorong pengesahan RUU, masyarakat perlu menanamkan budaya antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari. Dukungan terhadap regulasi ini harus disertai dengan komitmen untuk menolak segala bentuk korupsi, dari yang kecil hingga besar, sehingga menciptakan lingkungan yang mendukung pelaksanaan RUU ini nantinya.

Peran masyarakat sangat penting dalam mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset. Tekanan publik dapat menjadi katalisator agar wakil rakyat segera mengesahkan RUU tersebut. Selain itu, edukasi dan partisipasi aktif masyarakat akan memastikan bahwa regulasi ini tidak hanya disahkan tetapi juga diimplementasikan dengan efektif untuk memulihkan aset negara dan memberantas korupsi.

Kesimpulan

Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset merupakan momentum krusial dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Sebagai instrumen hukum yang inovatif, RUU ini diharapkan dapat menjadi senjata efektif untuk memulihkan kerugian negara dan memiskinkan para pelaku korupsi. Meski menghadapi berbagai tantangan, seperti proses legislasi yang kompleks, resistensi politik, dan perlunya kajian mendalam terkait hukum acara, pengesahan RUU ini tetap menjadi langkah yang harus diwujudkan.

Dukungan aktif dari masyarakat, akademisi, lembaga antikorupsi, dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses ini. Dengan kerja sama yang solid, RUU Perampasan Aset dapat segera disahkan dan menjadi landasan hukum yang kuat dalam mewujudkan Indonesia yang lebih bersih, adil, dan bebas dari korupsi.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun