Bukan ranting rapuh yang menopang jiwa,
Tapi akar kokoh yang menggenggam bumi;
Kami bukan bunga yang menunggu kumbang,
Kami badai yang memilih kapan dan ke mana terbang.
Dunia berkata, "Jadilah burung di sangkar emas,"
Tapi sangkar tetaplah sangkar,
Entah berlapis perak atau dihias permata,
Ia hanyalah jeruji mimpi,
Mengunci sayap pada langit yang tak pernah tergapai.
Kami adalah embun di ujung dedaunan,
Bukan untuk jatuh, tetapi untuk melawan cahaya yang menguapkan.
Kami adalah rimba yang tak takut pada api,
Karena dari abu, kami tumbuh kembali.
Jangan sebut kami lemah,
Kami adalah angin yang mencium laut,
Mengantar gelombang pada pantai berbatu,
Membelah karang tanpa pedang,
Menggoyahkan gunung tanpa suara perang.
Jangan ajarkan kami diam,
Kami telah tahu bahasa luka,
Bersyair pada malam yang melahirkan bintang.
Kami telah merapal mantra pada hujan,
Mencipta pelangi di sela kabut kelam.
Di dalam rumah bukan tempat kami dikurung,
Tetapi tempat kami membangun istana pemikiran,
Dapur bukanlah api penjara,
Melainkan tungku semangat yang membakar dunia.
Jika engkau memandang kami hanya bayang,
Ingatlah, bayang tak pernah tunduk pada pijar.
Kami adalah lilin dan matahari,
Yang menyala bukan untuk habis,
Tetapi menerangi jalan bagi yang terlahir kemudian.
Oh, dunia, hentikan rantai tak kasat mata,
Biarkan sayap kami menjelma rimba,
Kami burung di langit yang tak mengenal batas,
Terbang bebas dalam lagu kesetaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H