Di lorong senja, waktu menjahitkan dusta,
Serupa benang emas yang melingkar tiada ujungnya,
Tangan-tangan tak terlihat, membasuh wajah dengan cermin kabur,
Mengirimkan bisikan janji yang gugur sebelum akar tumbuh.
Di ladang yang tak pernah kering, buah kepercayaan diculik malam,
Ditebus dengan daun-daun kering yang berkilau samar,
Pohon integritas kehilangan daun,
Hanya tinggal ranting-ranting bengkok menuding langit tanpa suara.
Siapa yang membawa obor di jalan gelap ini?
Nyala itu bukan terang, hanya permainan bayang-bayang,
Koin berbicara dalam bahasa rahasia,
Membentuk istana pasir di bawah hujan janji.
Tidakkah kau dengar suara bumi yang lelah?
Ia menangis di sela gemerisik daun kering yang dipijak berat,
Kehormatan diubah menjadi barang lelang,
Penawar tertinggi tak perlu nama, cukup segenggam matahari palsu.
Dan di malam sunyi, angin bertanya pada dirinya sendiri,
Apakah keadilan hanya burung yang terbang rendah?
Yang datang dan pergi, meninggalkan jejak samar di lumpur sejarah.
Berhentilah, wahai para pengelana di pasar gelap waktu,
Bukankah matahari tak pernah meminta emas untuk terbit?
Apakah nuranimu telah dijual dengan harga yang hanya langit yang tahu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H