Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fenomena "Kumpul Kebo": Arti, Asal-Usul, dan Makna di Balik Istilah yang Kontroversial

16 Oktober 2024   07:30 Diperbarui: 16 Oktober 2024   07:33 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest.com/happyplace5 

Istilah "Kumpul Kebo" Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

Pengamat dari Pusat Pembinaan Bahasa, Ganjar Harimansyah Wijaya, menjelaskan bahwa istilah "kumpul kebo" tidak hanya dipengaruhi oleh bahasa asing seperti Belanda, tetapi juga berkembang secara mandiri dalam konteks budaya Jawa dan secara umum di Indonesia. Kata "kebo," yang berarti kerbau, digunakan untuk menggambarkan fenomena hidup bersama tanpa ikatan resmi karena konotasinya dengan perilaku hewan ternak yang hidup tanpa aturan formal.

Dalam pandangan masyarakat lokal, kerbau adalah hewan domestik yang sering terlihat hidup berpasangan atau berkelompok tanpa adanya struktur sosial yang jelas atau ketat. Karena itulah, perilaku kerbau dianggap sebagai simbol kebebasan dari norma atau aturan yang berlaku pada manusia, khususnya dalam hal ikatan pernikahan. Fenomena ini mungkin muncul dari pengamatan sehari-hari masyarakat terhadap hewan domestik seperti kerbau, yang tidak terikat oleh aturan sosial atau moral seperti manusia.

Dengan demikian, istilah "kumpul kebo" menggunakan analogi kehidupan hewan untuk menggambarkan pasangan yang tinggal bersama tanpa menikah, dengan nada kritik yang menganggap perilaku tersebut tidak sesuai dengan norma masyarakat. Ini menunjukkan bagaimana pengaruh lokal, seperti budaya dan pengamatan terhadap alam, turut membentuk makna dari istilah tersebut dalam bahasa dan kehidupan sosial.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah "kumpul kebo" telah diakui sebagai bagian dari ragam cakapan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Jawa. KBBI mencatat bahwa istilah ini digunakan untuk menggambarkan situasi di mana pasangan hidup bersama seperti suami istri, namun tanpa ikatan pernikahan yang sah.

Makna dari istilah ini mengandung implikasi sosial yang jelas, yakni menggambarkan hubungan yang tidak diresmikan oleh pernikahan, yang dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, dianggap sebagai norma yang sah dan diterima. Penggunaan istilah ini dalam percakapan sehari-hari cenderung memiliki konotasi negatif atau merendahkan, karena melanggar norma sosial dan moral yang mengatur kehidupan berpasangan dalam masyarakat Indonesia.

Dengan tercatatnya istilah ini di KBBI, hal ini menandakan bahwa fenomena "kumpul kebo" telah menjadi bagian dari kosa kata dan pemahaman sosial yang lebih luas di Indonesia, mencerminkan persepsi budaya terhadap perilaku hidup bersama di luar pernikahan.

Istilah "Kumpul Kebo" Menurut KUHP Indonesia

Meskipun istilah "kumpul kebo" tidak disebutkan secara eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, konsep hidup bersama tanpa ikatan pernikahan telah diakomodasi dalam KUHP baru yang disahkan melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2023. Dalam undang-undang tersebut, tindakan kohabitasi, atau hidup bersama tanpa pernikahan, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang terkait dengan pelanggaran kesusilaan.

KUHP baru ini mencakup aturan-aturan yang lebih spesifik mengenai pelanggaran terhadap norma-norma kesusilaan, termasuk perilaku kohabitasi yang dianggap bertentangan dengan moralitas dan tata nilai masyarakat. Meskipun begitu, istilah "kumpul kebo" secara harfiah tidak digunakan dalam pasal-pasal hukum tersebut. Sebaliknya, undang-undang lebih mengatur tentang perilaku yang melanggar norma kesusilaan tanpa menggunakan terminologi yang populer dalam masyarakat.

Penerapan aturan ini menunjukkan bahwa hidup bersama tanpa ikatan pernikahan diakui sebagai suatu tindakan yang dapat dikenai sanksi hukum, tergantung pada konteks dan pengaduan dari pihak terkait. Namun, penerapan undang-undang ini tetap harus mempertimbangkan hak-hak individu serta dinamika sosial yang terus berkembang dalam masyarakat modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun