BAB 1
Ketika kita mengevaluasi palu, kita biasanya melihatnya melalui lensa tujuan yang dimaksudkan—yaitu, untuk memalu paku. Tujuan ini menjadi dasar untuk menilai kualitas palu. Sebuah palu dianggap baik jika dapat memalu paku dengan efisien, nyaman digunakan, dan tahan lama. Sebaliknya, jika palu mudah rusak, tidak nyaman dipegang, atau tidak efektif dalam memalu paku, kita menilai palu itu buruk.
Penilaian kita terkait fungsi palu ini didasarkan pada tujuan dasarnya. Dalam hal ini, evaluasi terhadap palu sangat terikat dengan pemenuhan fungsinya—seberapa baik palu tersebut mencapai tujuannya dalam memalu paku.
Ketika mengevaluasi lukisan, kita cenderung menggunakan kriteria yang lebih subjektif dibandingkan dengan objek seperti palu. Penilaian terhadap lukisan biasanya berfokus pada faktor-faktor seperti makna yang terkandung dalam karya seni tersebut, keindahannya, atau siapa seniman yang menciptakannya.
Berbeda dengan palu, yang dinilai dari efektivitasnya dalam mencapai tujuan praktis, lukisan dinilai dari aspek estetika dan emosional. Kita melihat apakah lukisan itu mampu menyampaikan pesan, membangkitkan perasaan tertentu, atau memiliki daya tarik visual. Kecantikan, keunikan gaya, teknik yang digunakan, serta reputasi atau nilai historis seniman juga memengaruhi bagaimana kita menilai karya seni tersebut.
Dalam hal ini, tidak ada satu tujuan pasti yang harus dipenuhi oleh lukisan, sehingga penilaian terhadapnya lebih beragam dan bergantung pada persepsi serta selera individu atau kelompok.
Ketika mengevaluasi orang, kita menggunakan berbagai kriteria yang lebih kompleks dan multidimensional dibandingkan dengan objek seperti palu atau lukisan. Kita mungkin menilai seseorang berdasarkan seberapa bermanfaat mereka bagi masyarakat, kecantikan fisik, atau bahkan asal-usulnya—seperti keluarga atau budaya mereka. Dalam hal ini, banyak orang memperlakukan aspek eksternal seperti kegunaan atau penampilan sebagai faktor penilaian, sama seperti kita mengevaluasi benda atau karya seni.
Namun, yang membedakan cara kita menilai orang adalah bahwa manusia umumnya dianggap berharga bukan hanya karena apa yang mereka lakukan atau bagaimana mereka terlihat, tetapi juga karena mereka memiliki nilai intrinsik sebagai individu. Tidak seperti palu yang hanya dinilai dari fungsinya, atau lukisan dari keindahannya, manusia dianggap bernilai karena keberadaan mereka sendiri.
Kita cenderung melihat manusia sebagai tujuan pada diri mereka sendiri, bukan hanya sarana untuk mencapai sesuatu yang lain. Setiap orang memiliki hak, martabat, dan nilai yang melekat, yang menjadikan mereka layak dihormati dan dihargai, terlepas dari seberapa "berguna" atau "indah" mereka menurut standar tertentu. Inilah sebabnya banyak orang, misalnya, melihat anak-anak mereka sebagai lebih berharga daripada anak-anak orang lain—bukan hanya karena hubungan emosional, tetapi karena mereka menganggap anak-anak mereka sebagai tujuan dalam hidup mereka sendiri.
Penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk yang bernilai bagi diri mereka sendiri juga menjadi dasar etika dan hak asasi manusia, di mana setiap orang diakui memiliki nilai dan martabat yang tidak tergantung pada atribut atau kontribusi eksternal mereka.