Sabdapalon sering kali disandingkan dengan figur lain yang bernama Nayagenggong, keduanya dianggap sebagai penasehat bagi Brawijaya V. Namun, perdebatan tentang apakah kedua tokoh ini adalah orang yang sama atau berbeda masih belum terpecahkan dengan jelas. Sebagian berpendapat bahwa keduanya mungkin merupakan representasi dari dua aspek yang berbeda dari satu tokoh yang kompleks. Saat ini, ajaran atau petuah yang diatribusikan kepada Sabdapalon telah dijadikan sebuah kitab yang menggambarkan sejarah asal-usul Kabupaten Pati dalam bentuk sastra babad. Kitab ini berisi tentang nilai-nilai kebaikan yang bersumber dari warisan leluhur tanah Jawa. Kitab yang memuat ajaran Sabdapalon ini menceritakan tentang asal-usul Kabupaten Pati dengan rinci dan mendalam, memberikan gambaran yang jelas tentang nilai-nilai yang diyakini berasal dari tradisi nenek moyang Jawa.Â
Dalam bentuk sastra babad, cerita-cerita tersebut disampaikan secara dramatis, memperlihatkan kearifan lokal dan kearifan budaya yang menjadi bagian integral dari identitas masyarakat setempat. Melalui kitab ini, ajaran Sabdapalon menjadi lebih tersampaikan dan tersusun secara terstruktur. Hal ini memungkinkan pemahaman yang lebih dalam tentang nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa, serta sejarah dan identitas Kabupaten Pati. Kitab tersebut menjadi sarana untuk memelihara dan mewarisi tradisi serta kearifan lokal kepada generasi selanjutnya, menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari warisan budaya Jawa.
Sabdapalon: Penjaga Tradisi dan Penentang PerubahanÂ
Nama Sabdapalon disebutkan dalam Serat Darmagandhul yang ditulis oleh Ki Kalamwadi pada hari Sabtu Legi, 23 Ruwah 1830 Jawa (atau dalam kalender Jawa disebut sebagai sangkala Wuk Guneng Ngesthi Nata, yang sama dengan tanggal 16 Desember 1900 Masehi). Serat Darmagandhul merupakan sebuah tembang macapat dalam kesusastraan Jawa Baru yang ditulis dalam bahasa Jawa ngoko. Dalam Serat Darmagandhul, disebutkan bahwa Sabdapalon tidak dapat menerima ketika Brawijaya digulingkan pada tahun 1478 oleh tentara Demak dengan bantuan dari Walisongo (meskipun dalam sumber-sumber sejarah secara umum menyatakan bahwa Brawijaya digulingkan oleh Girindrawardhana). Sabdapalon kemudian bersumpah akan kembali setelah 500 tahun, saat korupsi merajalela dan bencana melanda, untuk menghilangkan Islam dari Jawa dan mengembalikan kejayaan agama dan kebudayaan Jawa.
 Dalam Serat Darmagandhul, agama orang Jawa disebut sebagai Agama Budhi, di mana ajaran Buddha berdampingan dengan ajaran Hindu. Cerita tentang Sabdapalon juga ditemukan dalam Serat Damarwulan dan Serat Blambangan. Tokoh ini diceritakan sebagai penganut kepercayaan Budi, yaitu agama Jawa yang diwariskan secara turun-temurun. Sabdapalon meramalkan kehancuran Islam di Tanah Jawa, dengan ramalannya yang mengatakan bahwa takdir akan membawa kembali Agama Budi setelah lima ratus tahun, ketika zaman Islam sudah mencapai puncaknya.
Dalam ramalannya, Sabdapalon menyatakan:
"Pepesthene nusa tekan janji, yen wus jangkep limang atus warsa, kepetung jaman Islame, musna bali marang ingsun, gami Budi madeg sawiji."
Yang artinya, "Takdir nusa sampai kepada janji, jka sudah genap lima ratus tahun, terhitung zaman Islam, musnah kembali kepadaku, Agama Budi berdiri menjadi satu."
Ini mencerminkan keyakinan akan masa depan di mana ajaran dan kepercayaan Jawa akan bangkit kembali setelah periode tertentu, menggantikan dominasi Islam di Jawa. Peristiwa letusan Gunung Semeru pada tahun 1978 menjadi titik penting yang menggugah ingatan kolektif masyarakat Jawa terhadap ramalan Sabdapalon. Letusan ini, yang terjadi dalam konteks sosial dan budaya yang kaya, menambah dimensi pada legenda Sabdapalon yang telah ada sebelumnya. Sabdapalon, yang dihormati dalam tradisi Hindu Jawa dan oleh para penganut kejawen, menjadi simbol dari kekuatan spiritual dan kearifan lokal yang bertahan dalam menghadapi perubahan zaman.Â
Dalam konteks kepercayaan dan mitologi Jawa, Sabdapalon tidak hanya dipandang sebagai penasihat kerajaan, tetapi juga sebagai perwujudan dari perlawanan terhadap perubahan agama dan sosial. Penghargaan yang diberikan kepadanya mencerminkan penghormatan terhadap nilai-nilai tradisional serta keinginan untuk mempertahankan identitas budaya di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Legenda tentang Sabdapalon dan Nayagenggong, bersama dengan peristiwa bersejarah seperti letusan Gunung Semeru, memberikan wawasan tentang bagaimana masyarakat Jawa memahami dan menafsirkan sejarah mereka sendiri. Mereka menggunakan cerita-cerita ini untuk memberikan konteks dan makna pada peristiwa alam dan sosial yang mereka alami, serta untuk menggali kearifan lokal dalam menghadapi tantangan zaman.
Naya Genggong: Pengingat Kebenaran yang BeraniÂ