Pria itu tertawa sinis. "Naif kamu, Nak. Di sini semua makan uang haram. Mau kaya bersih? Mimpi!"
Kata-kata pria itu bagai tamparan keras. Bagas merasa pusing, mual, dan sesak. Harapannya untuk membangun negeri dengan tangan bersih tiba-tiba terasa hampa. Dia melangkah gontai lagi, langkahnya dibayangi keraguan.
"Tunggu!" panggil suara lembut namun tegas.
Bagas menoleh. Seorang wanita muda berpenampilan cerdas berdiri di ujung lorong, menatapnya dengan tatapan penuh arti.
"Kamu baru, ya?" tanyanya, suaranya ramah.
Bagas mengangguk pelan. "Laras, teman barumu," wanita itu mengulurkan tangan. "Dan sepertinya, kamu baru saja menolak suap," ujarnya sambil tersenyum misterius.
Senyum Laras entah kenapa membuat Bagas merasa tenang. Barangkali karena ada secercah cahaya di tengah kegelapan yang baru saja dilihatnya.
"Iya," Bagas mengaku. "Tapi apa gunanya? Semua orang di sini sepertinya sudah terbiasa."
Laras menggeleng. "Tidak semua, Bagas. Masih ada yang berjuang, meski berat. Mungkin kita bisa saling menguatkan," ujarnya, matanya berbinar.
"Maksudmu?" Bagas tertegun.
"Ayo, nanti kuceritakan di tempat lain," Laras berbisik, lalu berjalan dengan langkah penuh percaya diri.