Mohon tunggu...
Ahmad KemalNasution
Ahmad KemalNasution Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - S1- Ilmu Komunikasi

Mencari Ilmu dan belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Jurnalisme Era Orde Baru dan Pembredelan Majalah Tempo

13 Oktober 2023   09:56 Diperbarui: 13 Oktober 2023   10:03 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jurnalisme pada Era Orde Baru adalah  Presiden, memiliki pengaruh kuat terhadap perusahaan pers dan jurnalis sebagai aktor di dalamnya. era Orde Baru tahun 1967-1998. Awalnya, Presiden ke -- 2, Soeharto menjadikan pers Indonesia 'bebas dan bertanggungjawab' serta diabdikan kepada pembangunan nasional. Kenyataannya, pers harus mau dan mampu mengekang diri untuk tidak memberitakan segala sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan pemerintahan Soeharto (Adisubrata, 2013). 

Puncaknya pada pembredelan Pers pada Peristiwa Malapetaka Lima belas Januari ("Malari") 1974. Presiden Soeharto Membantah pemberitaan surat kabar dan desas-desus masyarakat bahwa keluarga Presiden ikut serta dalam sejumlah perusahaan swasta. Bantahan disampaikan di hadapan pengurus dan anggota Dewan Pembina Persatuan Wartawan Indonesia Pusat (Surjomihardjo et al, 2002). Saat itu terdapat dua belas penerbitan kehilangan surat izin terbit dan surat izin cetak, atau dibredel. 

Hanya dua media yang kemudian diizinkan terbit kembali dengan catatan melakukan perombakan dan perampingan staf (Hill, 2011a). Menurut Mantan Direktur Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Tauik Abdullah, pada era Orde Baru, pemerintah bukan saja pemegang kekuasaan yang dominan, tetapi juga pemegang hegemoni dari kesadaran dan ingatan kolektif bangsa. Orde Baru berusaha sekuat tenaga untuk "mendiamkan" atau "mendiskreditkan" segala suara yang dianggap merusak dunia serba - konsensus yang telah dikuasainya (Surjomihardjo Et al, 2002:xxii).

Herlambang R. Perdana Wiratraman dalam Artikel berjudul "Breaking The Silence, Does Post-Soeharto Indonesian Law System Guarantee Freedom of the Press?" menyimpulkan Bahwa semasa pemerintahan Soeharto telah terjadi penyalahgunaan kebebasan pers. Pertama, Berupa pelarangan (terbit terhadap) media dan sering kali dilakukan pengkriminalan wartawan dan penyunting (redaktur). Kedua, Diterapkannya Undang Undang Darurat Perang secara sewenang-wenang walau dalam situasi darurat bahkan tanpa mempertimbangkan undang undang yang lebih tinggi kedudukannya maupun prinsip-prinsip hak asasi manusia atau Undang Undang Pers. Ketiga, Undang Undang dipolakan untuk menciptakan pemerintahan yang hegemonis melalui berbagai jenis tindakan yang bersifat propaganda, seperti semboyan "Pers Pembangunan" dan "Pers Pancasila" Serta "Pers yang Bebas Bertanggungjawab". Praktik-praktik ini semata demi melayani kepentingan rezim politik penguasa, ketimbang melindungi hak dan kebebasan pers atau wartawan (Adisubrata, 2013).

Pada 21 Juni 1994, tepat 25 tahun yang lalu, pemerintahan Presiden Soeharto membredel Majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik. Namun, alih-alih menjadi titik nadir sejarah pers Indonesia, momentum itu malah menjadi tonggak awal perlawanan memperjuangkan kebebasan pers. Keputusan pemerintah menutup majalah Tempo, Editor dan Detik diumumkan Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, Subrata, atas nama Menteri Penerangan Harmoko. Pemerintah Orde Baru beralasan pemberitaan Tempo mengenai indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang eks Jerman Timur bisa membahayakan stabilitas nasional. Penutupan media massa oleh pemerintah kala itu adalah hal yang lazim dilakukan. Sebelum 21 Juni 1994, Majalah Tempo pernah juga dibredel pada 12 April 1982. Tempo, yang saat itu berusia 12 tahun, dibredel oleh Departemen Penerangan melalui surat yang dikeluarkan oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo. Dalam suratnya, Tempo dianggap telah melanggar kode etik pers. Ide pembredelan itu sendiri datang dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang saat itu dipimpin oleh Harmoko, wartawan Pos Kota. Diduga, pembredelan tersebut terjadi karena Tempo meliput kampanye partai Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta, yang berakhir rusuh. Presiden Soeharto, yang notabene motor partai Golkar, tidak suka dengan berita tersebut.

21 Juni 1994. Rezim Soeharto melarang majalah Tempo terbit --- dan tak ada tanda ia bisa terbit lagi. Pembredelan di awal 1990-an berlaku buat seterusnya; surat kabar atau majalah hanya diizinkan terbit kembali jika memenuhi sejumlah syarat kepatuhan --- dan harus dengan nama baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun