Oleh : Ahmad Sastra
Arus postmodernisme oleh Ernest Gellner dimaknai sebagai gerakan dekonstruksi makna dengan memunculkan berbagai kontradiksi. Tentu saja, secara aksiologis, gerakan ini akan membawa daya rusak alam pikiran manusia. Sementara pemikiran yang rusak akan melahirkan kerusakan kehidupan secara keseluruhan.
Memang benar bahwa pilar utama berdirinya sebuah peradaban adalah intelektualitas
yang melahirkan ilmu, paradigma bahkan ideologi. Suram dan cerahnya peradaban bangsa sangat bergantung kepada pandang hidup (worldview) bangsa tersebut terhadap manusia, kehidupan dan alam semesta korelasinya dengan eksistensi Tuhan.
Ketika intelektualitas telah mengalami disorientasi, maka perkembangan intelektual suatu bangsa tak lagi berpijak pada etika. Disorientasi intelektual dari idealisme etis kepada pragmatisme akan mengakibatkan kerusakan berbagai sendi kehidupan bangsa. Jika telah hilang kejujuran intelektual, maka malapetaka peradaban akan segera menjadi kenyataan.
Pragmatisme duniawi ini dalam pandangan Imam Al Ghazali merupakan sember kerusakan. Dalam Kitab Ihya 'Ulumudin juz 2 halaman 357 ditegaskan bahwa kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Sementara rusaknya para ulama itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan. Sesiapa yang terpedaya akan kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara besar ?.
Ulama suu' memanfaatkan ilmu yang dititipkan oleh Allah Ta'ala justru untuk hal-hal duniawi semata. Termasuk di antaranya adalah mencari kedudukan dan popularitas di mata publik. Demikian pula, ulama suu' memilih dekat-dekat dengan penguasa. Hal itu mereka lakukan karena terlalu senang dunia dan takut mati. Bagaimanapun, Imam al-Ghazali juga menegaskan adanya ulama yang sejati, yakni ulama al-akhirah. Mereka sama sekali tidak mengharapkan imbalan, baik itu harta maupun kedudukan atau kekuasaan.
Oleh Michel Foucolt dan Akbar S. Ahmed, gerakan post modernisme telah mengarah
kepada dekonstruksi atas agama, dimana Tuhan tidak lagi dilibatkan dalam upaya pembangunan peradaban manusia. Akibatnya, saat ini pemikiran sekuler dan liberal yang berusaha menjauhkan dari agama telah mendominasi dan bahkan menghegemoni peradaban modern.
Sekulerisme dan liberalisme membawa nilai-nilai aksiologis yang destruktif bagi peradaban dunia hari ini. Perilaku yang tak berpijak kepada etika justru sering dilegitimasi atas nama hak asasi manusia. Sementara tak jarang, nilai-nilai agama yang justru membawa kebaikan bagi manusia justru mendapat stigmatisasi yang tidak proporsional.
Peradaban yang ditopang oleh disorientasi intelegensia seperti sekulerisme, liberalisme dan ateisme akan melahirkan kehidupan yang tidak manusiawi, tidak adil dan tidak memberikan kebahagiaan bagi rakyat. Fenomena kemiskinan global, amoralitas dan kriminalitas adalah tumbal-tumbal disorientasi intelegensia ini. Peradaban modern akan semakin gulita jika disorientasi intelegensia telah menjangkiti politik kekuasaan.