Perempuan dan Teknologi
Konstruksi pemahaman gender yang terpusat pada kehidupan sosial, ternyata juga merambah dalam runag lingkup dunia perteknologian. Pola-pola yang bias gender dalam kehidupan pranata keluarga atau pendidikan, misalnya, ternyata, juga menular pada “pranata teknologi”. Perempuan dalam dunia teknologi nyatanya tetap berada pada kelas kedua. Dunia teknologi yang dikenal rasional, modern, dan prospektif itu ternyata tetap diselimuti oleh pemahaman tradisonal tentang gender, bahwa perempuan diidentikkan dengan kelemahan, kekurangan, dan ketidakmampuan ketimbang laki-laki. Dikutip dari Kompas Tekno[1], pada diri perempuan itu masih disemaatkan stereotip bahwa perempuan, dalam dunia kerja TI (teknologi inofrmasi), labih banyak menggunakan emosi ketimbang logika. Dengan stereotip demikian, maka perempuan dianggap tidak memiliki kompetisi yang cukup ketimbang laki-laki. Laki-laki, dalam dunia teknologi, dibanding perempuan, dianggap lebih menjanjikan. Sehingga perusahaan teknologi lebih banyak memperkerjakan laki-laki ketimbang perempuan[2].
Sejalan dengan kondisi di atas, data dari Litbang (penelitian dan pengembangan) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan adanya kesenjangan peran yang signifikan antara perempuan dan laki-laki di dunia teknologi. Tercatat hanya 25% saja perempuan di negara berkembang, yang menggunakan teknologi[3].
Seperti dikutip dari Litbang Kemendigbub, Menteri PP-PA (pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak), Linda Amalia Sari Gumelar, mengatakan, bahwa kondisi ini berpengaruh terhadap rendahnya tingkat pemberdayaan perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Dunia teknologi yang hari ini sudah merambah masuk ke dalam hampir seluruh sisi kehidupan manusia tentu saja menuntut keterlibatan yang berimbang antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ketimpangn ini, menurut Menteri PP-PA, berdampak pada terbatasnya akses perempuan terhadap pelayanan edukasi dan informasi. Perempuan tidak dapat memperoleh akses dan manfaat teknologi yang memadai.
Keterlibatan perempuan yang minim ini lebih lanjut akan berdampak pada produk-produk dari teknologi itu sendiri. Karena laki-laki lebih dominan, model, bentuk, dan orientasi aplikasi teknologi akan lebih banyak mengambil perspektif laki-laki. Bagaimana teknologi itu digunakan akan selajur dengan pandangan laki-laki itu terhadap penggunaan teknologi, perempuan hanya akan menjadi objek dari teknologi. Dan karena kehidupan perempuan telah terkontaminasi oleh teknologi dalam perspektif laki-laki itu, maka arah ketubuhan-diri perempuan menjadi tidak independen.
Dalam dunia teknologi perempuan juga diidentikkan sebabagai konsumen. Hal ini, menurut Yansen Kamto, inisiator Femaldev, seperti dikutip dari Tempo.co, perempuan harus didorong untuk menjadi produsen[4]. Perempuan harus memiliki peran signifikasn dalam dunia teknologi.
Berkebalikan dengan beberapa pernyataan di atas, yang memandang perempuan hanya sebagai objek saja oleh teknologi, salah satu perusahaan jaringan telephone seluler di Indonesia, PT. XL Axiata, seperti dikutip dari xplor.xl.or.id, memandang adanya hubungan yang positif antara perempuan dan teknologi. Antara teknologi dan perempuan, jelasnya, memiliki hubungan keterlekatan positif yang tidak dapat dihindarkan, “kini, perempuan dan internet telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan”[5].
Perempuan disebut dapat melakukan perubahan besar dengan teknologi. “… lewat blog perempuan juga mampu berperan aktif menyelamatkan nasib bangsa ini dengan mengedukasi masyarakat ataupun menyuarakan kegelisahan mereka akan nasib bangsanya” tulisnya[6].
Teknologi ternyata juga banyak membantu tugas-tugas perempuan di dalam rumah tangga. Jusuf Kalla, dikutip dari Kompas.com, mengatakan, bahwa teknologi mampu mempersingkat waktu perempuan dalam menyelsaikan pekerjaan tumah tangga[7]. Hal ini, menurutnya, dapat mengubah struktur sosial masyarakat yang telah mapan. Perempaun menjadi punya waktu lebih banyak untuk berkaris di luar rumah. Kondisi sebenarnya tetap saja meletakkan perempaun pada sektor tertentu saja. Peran perempuan tetap saja pada wilayah “rumah tangga”. Berbeda dengan wacana laki-laki yang diasosiasikan dengan teknologi, tidak pernah disinggung dalam urusan rumah tangganya.
Lokalisasi Perempuan