Mohon tunggu...
Ahmad Toxok
Ahmad Toxok Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tong-tong-shot: Si Makhluk Misterius

19 Juli 2014   15:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:54 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya kecil tumbuh di lingkungan masyarakat yang masih cukup tradisional. Dimana mitos masih tersebar dan melekat dalam setiap interaksi sosial masyarakat tanah lahirku. Banyak hal yang waktu kecil saya persepsi sebagai suatu kenyataan yang luarbiasa meskipun sebenarnya tidak pernah secara langsung melihat, banyak cerita dalam obrolan teman, ibu-ibu, dan bapak-bapak mengenai pelbagai hal luarbiasa di suatu tempat di sana, antah berantah ataupun yang ada di sekeliling.

Menarik untuk mencoba ingat kembali masa kecil dulu, yang berlalu serasa tanpa bekas, tetapi penuh dengan kenangan yang saya rasa aneh. Saya coba mengingat tentang bagaimana orang-tua (ortu) dulu memiliki cara unik untuk “mengelabuhi” saya dengan sebuah cerita dengan cara mengkeramatkan sebuah tempat ‘terlarang’ dengan cerita, yang saat ini saya pahami bahwa itu disebut oleh para ilmuan sebagai mitos.

Adalah Tong-tong-shot, sebuah nama ajaib yang manjur dipakai untuk mengendapkan rasa takut pada setiap anak pada suatu wilayah steril anak yang belum mbeneh (baca: dewasa). Tong-tong-shot ini adalah sebuah nama yang diberikan oleh orang tua kepada makhluk menakutkan yang mendiami tempat-tempat tertentu, yang sekiranya tempat itu membahayakan jika anak-anak kecil bermian di situ.

Awas bedok-bedok ojo dolanan nang kono, nang kono enek Tong-tong-shot”. “Awas siang-siang jangan bermain di situ, di situ ada Tong-tong-shot”. Demikian kalimat yang saya ingat, yang berulang-ulang dikatakan kepada anak-anak agar tidak bermain di waktu siang di tempat tertentu, karena kebiasaan warga desa saat itu jam 11:00-12:30 adalah waktunya tidur siang, dan perkampungan saya kecil relative masih banyak yang ketel/rungkut (wilayah tanpa bangunan yang masih banyak ditumbuhi tanaman liar). Kalimat manekut-nakuti ini digunakan ketika anak-anak akan bermain di wilayah “steril” itu.

Ya, itu adalah nama yang dilekakatkan oleh orang jaman dulu di kampung saya pada makhluk abstrak dan misterius yang konon tinggal di tempat-tempat terlarang bagi anak-anak. Ketika itu saya dan semua anak kecil begitu saja takut untuk bermain ketempat yang oleh orang tua dipersepsi dihuni oleh makhluk bernama “tong-tong-shot”. Takut tanpa protes dan pastinya tanpa pernah punya fikiran untuk mengklarifikasi ke para orang tua apalagi mencoba untuk melakukan pembuktian terhdap keberadaan makhluk itu.

Nama misterius itu sudah demikian terasosiasikan dengan bayangan menakutkan pada persepsi anak-anak. Saya dan teman-teman seumuran paham bahwa makhluk itu eksis dan sedang menghuni sebuah tempat terlarang bagi anak-anak bermain. Anak-anak paham dan percaya cerita itu karena cerita tersebut diulang terus menerus oleh para orang tua, sehingga sedikit demi sedikit terinternalisasi, mengendap dalam pesepsi, dan kemudian tereksternalisasi oleh anak dalam bentuk rasa takut dan bayangan mengerikan tentang sesosok makhluk yang tentu saja tidak ada.

Orang tua demikian berhasil dalam hal ini. Berhasil mengendalikan polah liar anak-anaknya tanpa terjadi konflik, tanpa anak merengek memaksa bermain. Bagi orang tua tong-tong-shot adalah mainan yang asik dan mudah yang berguna untuk mengalihkan perhatian anaknya biar kutuk (nurut). Hanya dengan menyebutkan kata itu dan diberi beberapa tambahan kata, yang tentunya dikarang sendiri, anak-anaknya akan berlaku sesuai yang dikehendaki.

Saya rasa ini pendekatan yang luarbiasa dan merupakan hasil improvisasi terhadap metode menjinakkan anak-anak mereka. Ini adalah salah satu kearifan local saya bilang, bagaimana dalam interaksi antara anak dan orang tua berhasil menghasilkan sebuah imajinasi yang tidak terbayangkan ada begitu saja. Munculnya nama itu bukanlah dari proses yang sebentar, nama itu diturun-temurunkan dan diwariskan melalui lisan lintas generasi. Meskipun nama dan persepsi yang melekat diwariskan turun temurun belum tentu dapat menjamin keberlangsungan penggunannya. Bisa jadi suatu saat nama itu dianggap kuno dan tidak relevan dipakai untuk mengendalikan anak-anak mereka. Seperti sekarang ini, saya lihat meted yang seperti itu sudah tidak popular lagi dipakai. Yang pertama bisa jadi karena perkembangan masyarakat berkaitan dengan perolehan informasi dan perkembangan pola pikir orang tua dalam momong anak-anaknya. Yang kedua karena di kampong saya sudah jarang wilayah yang jarang dijamah orang, sudah tidak lagi ditemukan wilayah yang masih tidak difungsikan, ya, karena perkembangan masyarakat secara fisik.

Apalagi arus pengaruh budaya dari kampong lain terus menerus merangsek masuk dikarenakan semakin hilangnya batas antar budaya. Selain itu, juga kini terjadi perubahan model interaksi yang dipakai antara ibu dan anak dan antar ibu yang perlahan dan terus menerus mengalami perubahan. Banyak sekali akses masuknya informasi baru yang sangat berpengaruh. Media televisi salah satu yang sangat signifikan. Dari televisi ini cara dan pandangan berbeda didapat yang mengasingkan cara-cara lama. Dan pada akhirnya hilanglah apa yang saya sebut metode unik itu.

Sebenarnya banyak yang lainnya. seperti Wewe gombel, ini juga adalah nama ciptaan para orang tua dulu yang fungsinya tidak jauh berbeda. Tetapi persepsi yang saya dapat tentang sosok dan konteks suasana yang dikaitkan pada makhluk ini berbeda. Kalau yang Tong-tong-sot mendiami suatu tempat angker, Wewe Gombel ini merupakan perwujudan makhluk menakutkan yang tidak suka anak-anak. Misanya ketika saya sedang menangis atau merengek minta sesuatu, maka orang tua akan bilang, “ojok nangis ae, diparani Wewe Gombel ngko”. Atau, “ojok nakal, tak celokne Wewe Gombel lek nakal”.

Demikian itu sekelumit cerita keunikan kehidupan di desa. Sebenarnya masih cukup banyak hal-hal yang waktu saya kecil menjadi  momok menakutkan. Beberapa sudah lupa, tapi dua itu yang sampai sekarang masih sangat mengenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun