Pernyataan Dirjen Pajak Mochmmad Tjitardjo yang menyamakan Gayus Tambunan Sang MARKUS Pajak sama imannya dengan seorang Kyai yang naik turun, menuai protes banyak kalangan, misalnya aktivis Islam Eggi Sudjana. Dia menilai bahwa pernyataan Dirjen Pajak tersebut melukai hati umat Islam, karena menyamakan Gayus sama dengan kiai. DI SINI). Menurut Eggi, tidak semua kyai imannya naik turun. Imam Al Ghazali adalah seorang kyai dan ulama besar. Apa mungkin beliau sama dengan Gayus. Makanya patut diduga bahwa penyamaan Gayus dengan kyai yang dilakukan oleh Dirjen Pajak dimaksudkan untuk membangun opini bahwa tindakan mafia pajak yang dilakukan oleh Gayus adalah hal biasa dan perlu dimaklumi. Disamping untuk membangun opini pembenaran perbuatan para mafia MARKUS pajak, pernyataan Dirjen Pajak tersebut juga dimaksudkan bahwa perbuatan seorang Gayus bisa dimaklumi karena Kyai pun bisa mempunyai kesalahan yang sama. Kalau seorang pentolan tertinggi di Ditjen Pajak saja mempunyai pola pikir dan pandangan yang "keblinger" seperti itu, maka apa yang akan diharapkan oleh rakyat negeri kepada para aparat pajak? Apakah kita masih bisa percaya kepada mereka bahwa pajak yang memotong pendapatan dan uang kita dan kita setorkan ke kantor pajak dikelola dan disalurkan dengan benar? Apa tidak diselewengkan oleh "tikus-tikus" pajak ini? Walau pernyataan Dirjen Pajak yang disampaikan saat wawancara dengan wartawan Tempo yang dimuat dalam majalah edisi 5-11 April 2010 di halaman 123 sudah diralatnya dengan menyampaikan permohonan maaf kepada umat Islam dan para Kyai (beritanya baca DI SINI). Namun benar-benar patut disayangkan hal itu disampaikan oleh pejabat tinggi pajak. Dengan adanya itu semua, mestinya akan muncul opini di masyarakat bahwa pegawai pajak mulai dari cleaning service sampai pejabat tertingginyapun "pasti" tersangkut masalah "penyelewengan" pajak. Minimal "penyelewengan" pikiran seperti diungkapkan saat wawancara dengan Majalah Tempo di atas. Bagaimanakah isi wawancara Dirjen Pajak dengan Tempo yang menghebohkan tersebut. Berikut kutipannya: Bagaimana Gayus ini berani melakukan tindakan itu? Apakah karena faktor lingkungan kerja?
Ini menyangkut iman. Bukan hanya Gayus. Ini kan kultur di Indonesia. Kalau kita menikah itu kan perkawinan dua keluarga. Kalau ada keponakan akan masuk sekolah atau orang tua sakit, sementara ada anak atau menantu bekerja di kantor pajak dan pada saat bersamaan dia menangani kasus pajak, dari situ semuanya bermula. Sementara itu, secara alamiah, wajib pajak ingin menekan biaya, termasuk dalam membayar pajak.
Bagaimana dengan tekanan lingkungan atau atasan?
Kalau lingkungan kotor, ya bisa terpengaruh. Walaupun sudah reformasi dan ruang gerak penyelewengan semakin sempit, mungkin mereka masih bisa nyolong nyolong. Di situlah peran iman itu. Godaan ada terus, dan sistem dibangun untuk mempersempit ruang gerak.
Atau mungkin ada yang perlu dibereskan di proses rekrutmen?
Dalam rekrutmen, kami sudah mencari yang bagus. Tapi kan tidak ada teknik untuk meramal orang ini bakal jadi penjahat atau tidak. Kiai saja imannya naik turun. Pas kepepet dan kebetulan ada peluang korupsi, ya diambil. Lama lama ketagihan. Apalagi ternyata tidak ketahuan. (Detal wawancaranya bisa dibaca DI SINI).
Kalau kita cermati secara seksama isi apa yang disampaikan oleh Dirjen Pajak tersebut sungguh sangat memprihatinkan. Ternyata seorang pentolan tertinggi di Ditjen Pajaksungguh-sungguh sangat mempunyai logika yang sangat dangkal dan bahkan dia keliru memahami habitat, kondisi dan atmosfir di lingkungan kerjanya. Sehingga dia masih berkeyakinan bahwa reformasi yang dia jalankan di Dirjen Pajak sudah bagus.
Padahal kalau kita telusuri dan kita amati kejahatan dan MARKUS pajak yang dilakukan oleh para oknum karyawan Ditjen Pajak sangat-sangat masif dan hampir dilakukan oleh semua lapisan dan tingkatan.
Coba kita simak kasus pajak yang baru minggu ini terbongkar di Surabaya. Seorang pegawai pajak dan dengan oknum cleaning service kantor pajak Surabaya melakukan penggelapan pajak milik 300 perusahaan dan konon masih ada tiga oknum pegawai pajak yang masih buron. (Baca berita detailnya DI SINI).
Dari kasus-kasus ini mestinya pemerintah bersama-sama DPR harus melakukan reformasi secara "TOTAL" terhadap Ditjen Pajak. Karena kalau reformasi secara "TOTAL" tidak dilakukan maka sumber pemasukan uang negara terbesar dari pajak ini akan hilang. Mumpung masyarakat belum apriori melakukan pembangkangan secara masal tidak mau membayar pajak.
Kalau terjadi aksi pembangkangan masal menolak bayar pajak, maka yang rugi juga semua rakyat Indonesia termasuk di dalamnya para pegawai pajak yang sebagian besar "dipertanyakan" integritasnya oleh sebagian masyarakat. (AM, 19 April 2010).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H