Pendahuluan
Buku al tibr al masbuk fi al nashihah al muluk (mutiara dalam nasihat-nasihat untuk para penguasa), merupakan buku yang ditulis oleh Abu Hamid al Ghazaliy. Isinya berupa nasihat – nasihat dan rambu – rambu untuk para pemimpin agar tidak melampui batas. Dalam catatan ini, penulis hanya menyoroti hal – hal yang berkaitan dengan penguasa dan kekuasaan, selain dari hal itu menurut penulis tidak mesti ditampilkan, mengingat sebagian besarnya berupa hikayat-hikayat.
Pokok – pokok Keimanan
Buku ini dimulai dengan kaidah prinsip keyakinan yang merupakan pokok Iman paling utama. Al Ghazaliy senantiasa mengingatkan akan hal ini kepada pemimpin (al shulthon) hakekat dirinya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Sang Pencipta Yang Maha atas segala-galanya. Kemudian mengingatkan kepada Tuhan terkait dengan keadaan zat Allah swt yang tidak bisa digambarkan juga diserupakan dengan sesuatu yang lain. Kekuasaan Allah swt yang meliputi langit dan bumi, hari akhir tidak ada kekuasaan (malik) kecuali semuanya adalah berada di bawah kekuasaan Allah swt.
Al Ghazaliy pun memaparkan tentang ke-Mahatahuan Allah atas segala sesuatu, bahkan jatuhnya daun dari pohonnya tidaklah terlepas dari pengetahuan Allah swt. Baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, kesakitan ataupun kebahagiaan, baik ataupun yang buruk dan lainnya, semuanya dalam pengawasaan Allah swt. Dan Allah pulalah yang memiliki kehendak atas segala sesuatunya. Begitupun Allah swt Maha Mendengar dan Melihat semua hal yang ada. Begitupun Allah swt memiliki ucapan yang termaktub dalam kitab-kitab yang dibawa oleh para utusan-Nya untuk membawa keselamatan umatNya. Selain itu, Allah pun dalam perbuatan-Nya tidaklah mungkin terdapat kezhaliman pada diriNya karena yang melakukan kezhaliman itu adalah dia yang bertindak dalam kekuasaan selain kekuasaan Allah swt.
Selanjutnya al Ghazaliy mengajak para pembaca bukunya untuk mengingat akan hari akhir, dimana ruh (nyawa) dalam jasad manusia sudah ditentukan batas akhirnya hingga ajal menjemput. Dan setelah itu hendaknya manusia siap-siap untuk menghadapi alam kubur, alam akhirah dan akhirnya akan ditentukan kemana tujuan akhirnya apakah surga atau neraka.
Kemudian terakhir dari pembahasan pokok-pokok keimanan, al Ghazaliy mengingatkan akan adanya Nabi Muhammad saw untuk menunjukkan mana jalan menuju kebahagian dan kesengsaraan karena semua manusia akan dimintai pertanggunjawabannya. Allah swt mngutus Nabi Muhammad sebagai pembawa kabar gembira juga sebagai pembawa peringatan, dan memerintahkan manusia begitupun jin untuk taat dan mengikuti (ittiba’) kepadanya, menjadikan beliau sebagai pemimpin yang pertama juga yang terakhir. Begitupun dengan para shahabatnya yang merupakan sebaik-baik shahabat para Nabi.
Di penghujung pembahasan bab ini, al Ghazaliy memperingatkan para pemimpin secara spesifik bahwa pada hati manusia (dan pemimpin juga adalah manusia) terdapat ma’rifah dan ‘itiqad yang merupakan pokok keimanan, dan bersamaan pula pada anggota badan manusia dalam ketaatan dan keadilan yang disebut dengan cabang dari keimanan. Yang dimaksud dengan perbuatan tersebut adalah menjauhi keharaman dan menunaikan kewajiban baik berkaitan dengan kewajiban antara manusia dan Allah swt serta kewajiban sesame manusia.
Dalam pembahasan ini, al Ghazaliy memulainya dengan masalah keimanan dan ketaatan. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak asing dalam pembahasan para ulama dalam bebeberapa kitabnya. Ini adalah bukti yang nyata bahwa dalam segala perkara, termasuk di dalamnya adalah kekuasaan dan kepemimpinan tidaklah terlepas dari worldview Islam sebagai aturan hidup. Filosofi seorang muslim dalam membangun keimanan dan ketaatan menjadi suatu keharusan dalam setiap pembahasan agar seorang muslim tahu siapa sebenarnya dia.
Nashihat untuk para Pemimpin
Kemudian setelah membahas keimanan dan ketaatan, Al-Ghazali baru memberikan 10 nasihat lebih spesifik kepada para pemimpin. Kesepuluh nasihat itu didasari oleh berbagai dalil al quran dan al hadits, juga atsar para shahabat.
Pertama, pemimpin harus mengetahui kedudukan dan pentingnya kekuasaan. Sesungguhnya kekuasaan adalah sebagian nikmat dari Allah. Siapa saja yang menjalankan kekuasaan dengan benar, ia akan memperoleh kebahagiaan yang tidak ada bandingannya. Siapa yang lalai dan tidak menegakkan kekuasaan dengan benar, ia akan mendapat siksa karena kufur kepada Allah. ''Keadilan pemimpin satu hari lebih dicintai Allah daripada beribadah tujuh puluh tahun,'' sabda Rasulullah.
Kedua, senantiasa merindukan petuah ulama dan gemar mendengarkan nasihat mereka. Hati-hati dengan ulama yang menyukai dunia. Mereka akan memperdayaimu, mencari kerelaanmu untuk mendapatkan apa-apa yang ada di tanganmu berupa hal-hal yang buruk dan haram agar mereka mendapatkan sesuatu dengan mereka dan tipu daya. Orang yang berilmu adalah orang yang tidak menginginkan hartamu, dan orang yang senantiasa memberimu wejangan serta petuah.
Ketiga, janganlah merasa puas dengan keadaanmu yang tidak pernah melakukan kezaliman. Lebih dari itu, didiklah pembantu, sahabat, pegawai dan para wakilmu. Janganlah engkau tinggal diam melihat kezaliman mereka, karena sesungguhnya engkau akan ditanya tentang perbuatan zalim mereka sebagaimana akan ditanya tentang perbuatan zalimmu.