"Siapa Suliki ?"
Peristiwa Suliki: Konteks Politik Islam dan Geografis di Masa Hindia Belanda.
Suliki, yang kini merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, memiliki sejarah penting dalam dinamika politik Islam masa kolonial. Terletak pada koordinat 0013 -- 0025LS dan 10037 -- 10056BT, wilayah ini menjadi saksi pertarungan kepentingan antara organisasi Islam dan pemerintah kolonial Belanda. Peristiwa Suliki yang melibatkan Muhammadiyah terjadi di kawasan yang berbatasan dengan Kecamatan Gunuang Omeh di utara, Kecamatan Akabiluru dan Guguak di selatan, Kabupaten Agam di barat, dan Kecamatan Bukit Barisan di timur. Pada masa itu, ketegangan politik terasa hingga ke wilayah Payakumbuh yang berdekatan, di mana Muhammadiyah harus mengirim kawat ke Yogyakarta meminta perlindungan.
Dinamika politik di wilayah ini semakin kompleks setelah kemerdekaan, ketika Suliki dipimpin oleh Demang Arisun yang diangkat oleh Residen Ke II Sumatera Barat, Rusad Dt. Perpatiah Nan Baringek pada 23 Januari 1946. Namun, sejarah mencatat bahwa sebelum masa ini, yaitu di era kolonial, wilayah ini telah menjadi arena perjuangan organisasi Islam dalam mempertahankan eksistensi mereka. Peristiwa penutupan sekolah di Sekayu pada awal Syawal 1926 oleh Kontrolir Belanda menunjukkan bagaimana otoritas kolonial di Suliki menggunakan kekuasaan administratif untuk membatasi perkembangan pendidikan Islam. Hal ini sejalan dengan kebijakan politik Islam Hindia Belanda yang cenderung membatasi aktivitas organisasi-organisasi Islam yang dianggap dapat mengancam stabilitas kekuasaan kolonial.
Di masa Agresi Belanda II (1948-1949), Kecamatan Suliki dibagi menjadi dua wilayah: Gunung Mas dengan Camat Militernya H. Abdul Aziz dan Suliki yang dipimpin oleh Dt. Rajo Malano. Pembagian administratif ini mencerminkan kompleksitas politik di wilayah tersebut, yang sebelumnya juga menjadi arena pertarungan kepentingan antara organisasi Islam dan pemerintah kolonial. Kawasan Suliki, dengan luas 136,94 km dan populasi yang kini mencapai 15.516 jiwa (data 2018), telah menjadi saksi bagaimana organisasi Islam seperti Muhammadiyah berjuang mempertahankan eksistensi mereka di tengah tekanan politik kolonial. Perjuangan ini menjadi bagian penting dalam historiografi Islam di Hindia Belanda, menggambarkan bagaimana organisasi Islam berupaya memajukan pendidikan dan kesejahteraan umat dalam situasi politik yang tidak menguntungkan. Berdasarkan catatan sejarah ini, dapat disimpulkan bahwa Peristiwa Suliki bukan hanya tentang konflik antara organisasi Islam dengan pemerintah kolonial, tetapi juga mencerminkan dinamika yang lebih luas tentang perjuangan mempertahankan identitas dan hak-hak umat Islam di wilayah Sumatera Barat pada masa kolonial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H