Kesetaraan Dalam Mozaik Kehidupan: Sebuah Tinjauan Deskriptif-Naratif.
Di sebuah lorong sempit dengan dinding putih yang menjulang, dua manusia berbeda latar belakang saling bertukar pandang dan senyum. Momen sederhana ini menjadi metafora yang kuat tentang esensi kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat. Kesetaraan, atau equality, bukanlah sekadar konsep abstrak dalam buku-buku teori sosial, melainkan praktik hidup yang mewujud dalam interaksi sehari-hari.
Indonesia, dengan keragaman yang membentang dari Sabang hingga Merauke, telah lama mengenal konsep kesetaraan melalui filosofi "Bhinneka Tunggal Ika". Falsafah ini tidak sekadar mengakui perbedaan, tetapi juga menegaskan kesetaraan fundamental setiap warga negara. Dalam konteks modern, kesetaraan ini termanifestasi dalam berbagai dimensi kehidupan, mulai dari politik hingga sosial-budaya.
Dalam ranah demokrasi, kesetaraan menjadi fondasi yang tak tergantikan. Sebagaimana dicatat oleh Robert A. Dahl dalam bukunya "On Democracy" (1998), demokrasi sejati mensyaratkan kesetaraan politik yang efektif - di mana setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Di Indonesia, prinsip ini tercermin dalam sistem pemilu yang menganut "one person, one vote", menegaskan bahwa suara setiap warga negara memiliki bobot yang sama.
Kesetaraan sosial, sebagai dimensi lain yang tak kalah penting, menembus batas-batas stratifikasi tradisional. Amartya Sen, dalam "Development as Freedom" (1999), menekankan bahwa kesetaraan akses terhadap kesempatan dan sumber daya dasar merupakan komponen vital pembangunan manusia. Hal ini mencakup akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi yang setara bagi seluruh lapisan masyarakat.
Dalam konteks budaya, kesetaraan tidak berarti penyeragaman. Clifford Geertz, antropolog yang lama meneliti Indonesia, menggambarkan bagaimana keragaman budaya dapat hidup berdampingan dalam kesetaraan. Setiap tradisi, bahasa, dan praktik budaya memiliki ruang dan penghargaan yang sama dalam mozaik kebangsaan Indonesia.
Implementasi kesetaraan dalam praktik sehari-hari membutuhkan lebih dari sekadar pengakuan formal. Diperlukan kesadaran kolektif dan tindakan nyata untuk menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi. Hal ini mencakup penyediaan infrastruktur yang aksesibel bagi penyandang disabilitas, kebijakan affirmatif action untuk kelompok marginal, dan penghapusan berbagai bentuk diskriminasi berbasis gender, ras, atau agama.
Tantangan terbesar dalam mewujudkan kesetaraan adalah mengubah mindset dan praktik sosial yang telah mengakar. Sebagaimana diungkapkan oleh sosiolog Pierre Bourdieu, struktur sosial yang tidak setara seringkali terinternalisasi dan direproduksi melalui praktik sehari-hari. Dibutuhkan upaya sistematis dan berkelanjutan untuk membongkar struktur ketidaksetaraan ini.
Yang menarik, kesetaraan bukanlah kondisi statis, melainkan proses yang terus bergerak dan berkembang. Setiap generasi membawa interpretasi dan tantangan baru dalam mewujudkan kesetaraan. Di era digital, misalnya, muncul dimensi baru kesetaraan dalam bentuk akses terhadap teknologi dan informasi.
Mengakhiri esai ini, dapat disimpulkan bahwa kesetaraan merupakan ideal yang harus terus diperjuangkan dan dipertahankan. Sebagaimana terlihat dalam foto yang menginspirasi esai ini, kesetaraan sejati terwujud ketika setiap individu dapat berinteraksi, berkontribusi, dan hidup dengan martabat yang sama, tanpa memandang latar belakang mereka.