Mohon tunggu...
Ahmad Wansa Al faiz
Ahmad Wansa Al faiz Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

Pengamat - Peneliti - Data Analis _ Sistem Data Management - Sistem Risk Management -The Goverment Interprestation Of Democrasy Publik Being.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Umpatan Di Ruang Publik? - Analisa Sosiopolitik.

24 Desember 2024   15:04 Diperbarui: 24 Desember 2024   15:55 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Analisis Sosiopolitik: Fenomena Umpatan dalam Ruang Publik.


Dalam dinamika sosial politik kontemporer, fenomena penggunaan umpatan kasar di ruang publik telah menciptakan diskursus yang menarik untuk dikaji. Hal ini tidak sekadar tentang kesopanan atau etika berbahasa, namun lebih dalam menyentuh aspek-aspek fundamental dalam relasi antara masyarakat, hukum, dan kekuasaan.

Ketika ungkapan kasar tersebut muncul dalam ruang publik, seringkali ia menjadi penanda dari ketegangan yang lebih dalam antara rakyat dan struktur kekuasaan. Ini bukan semata-mata soal pilihan kata atau temperamen individual, melainkan manifestasi dari akumulasi frustasi sosial yang mencari katup pelepasannya. Dalam konteks ini, umpatan menjadi bahasa perlawanan, simbol dari resistensi terhadap apa yang dianggap sebagai ketidakadilan atau kesewenang-wenangan sistem.

Dari perspektif hukum, fenomena ini menghadirkan dilema tersendiri. Di satu sisi, ada perangkat hukum yang bisa digunakan untuk menindak penggunaan bahasa yang dianggap melanggar norma, seperti UU ITE atau pasal-pasal tentang penghinaan dalam KUHP. Namun di sisi lain, penerapan hukum yang terlalu kaku justru bisa kontraproduktif dan mengabaikan konteks sosial yang lebih luas. Penegakan hukum dalam kasus-kasus seperti ini seringkali menjadi arena pertarungan antara otoritas formal dan legitimasi sosial.

Dalam ranah politik, fenomena ini menjadi cermin dari kualitas diskursus publik sekaligus indikator kesehatan demokrasi. Munculnya umpatan dalam ruang publik bisa dibaca sebagai kegagalan mekanisme-mekanisme formal dalam mengakomodasi aspirasi dan kritik masyarakat. Ketika jalur-jalur formal dianggap tidak efektif atau bahkan tertutup, bahasa kasar menjadi alternatif ekspresif yang dipilih, meski dengan konsekuensi menurunkan kualitas diskursus publik.

Dari sudut pandang kedaulatan sosial, fenomena ini menunjukkan dinamika kekuasaan yang kompleks dalam masyarakat. Penggunaan bahasa kasar bisa dilihat sebagai bentuk penggunaan "kuasa rakyat" yang paling mentah dan langsung. Ini adalah bentuk artikulasi dari kedaulatan rakyat yang telanjang, tanpa balutan eufemisme atau sopan santun politik yang seringkali justru mengaburkan substansi kritik.

Menariknya, respons terhadap fenomena ini seringkali mencerminkan hierarki sosial yang ada. Ketika ungkapan kasar datang dari kelompok elit atau pemegang kekuasaan, seringkali ada tendensi untuk memaklumi atau bahkan membenarkan. Sebaliknya, ketika ungkapan serupa muncul dari rakyat biasa, respons hukum dan sosial cenderung lebih keras. Inkonsistensi ini menjadi penanda tambahan dari ketimpangan struktural dalam masyarakat.

Dalam konteks kebijakan, penanganan fenomena ini membutuhkan pendekatan yang lebih nuansir dan komprehensif. Alih-alih sekadar pendekatan punitif melalui instrumen hukum, perlu ada upaya untuk memahami dan mengatasi akar persoalan yang memicu munculnya ungkapan-ungkapan tersebut. Ini termasuk memperbaiki mekanisme penyaluran aspirasi, mengurangi kesenjangan sosial, dan membangun dialog yang lebih setara antara rakyat dan penguasa.

Sebagai kesimpulan, fenomena umpatan dalam ruang publik perlu dilihat sebagai gejala sosial yang kompleks, bukan sekadar pelanggaran norma atau hukum. Ia adalah produk dari interaksi antara berbagai faktor sosial, politik, dan ekonomi yang membutuhkan penanganan komprehensif. Yang lebih penting, ia menjadi pengingat tentang pentingnya membangun ruang publik yang lebih inklusif dan demokratis, di mana kritik dan aspirasi bisa disampaikan tanpa harus jatuh pada penggunaan bahasa yang merendahkan martabat semua pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun