Ketika Alifah Ahmad Maulana (Alif), siswa SDN Gadel III Surabaya menyampaikan berita kepada ibunya, Siami, tentang perintah gurunya yang harus membagikan hasil kerjanya dilembar ujian nasionalkepada teman-temannya, sontak Siami merasa jengkel dan kesel, karena tidak sepatutnya guru melakukan hal seperti itu. Siami menginterpretasikan pengaduan anaknya sebagai suatu pelanggaran etika dan moral.Respon atas kasus ini pun beragam, mulai dari tukang becak, pedagang asongan, cendikiawan, pengamt politik, anggota DPR, bahkanSBY berencana bertemu dengan Siami dan Alif. Kesimpulan publik atas kasus ini adalah bahwa kejujuran yang disampaikan Siami sebagai suatu langkah yangsepatutnya dihargai. Dalam tulisan ini, saya tidak melihat sisi kejujuran Siami, kejujuran yang mulai pudar di tengah hiruk pikuk ketidakpastian penyelenggaraan negara, bahkan dalam tatanan masyarakatn sekalipun. Aspek yang kerap dilupakan dalam kasus ini adalah tentang pelanggaran hak anak untuk mengemukakan pendapatnya yang diselewengkan oleh orang dewasa yang dalam hal ini adalah guru dan penyelenggara pendidikan.
Alif merupakan sosok anak yang baruberusia 12 tahun. Dia menyampaikan pandangan secara lugas tentang situasi yang dialaminya pada hari tersebut. Sikap yang dibangun pada anak seusia ini adalah sikap yang lugas dan apa adanya. Pada usia ini pula, mulai terbangun nilai-nilai moral anak yaitu kemampuan untuk memahami hal-hal yang benar dan hal-hal yang salah dengan berpijak pada hati nurani. Di usia ini, intelektualnya juga mulai terasah, dia mulai belajar untuk bisa memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
Secara lebih khusus anak-anak seusia Alif memiliki ciri-ciri yangkhusus pula, mereka dalam proses mencari identitas diri. Anak-anak ini juga sudah mulai mengurangi tingkat ketergantungannya, artinya dia ingin mencoba kemampuan yang dimilikinya dan menguji kemampuan tersebut.Kematangan individunya juga semakin berkembang, sehingga rasa ego dan individualisme juga semakin tinggi.Karena itu dia akan berusaha menjadi orang yang merasa cakap, merasa hebat dan juga merasa pentingkhususnya diantara teman-teman sebayanya.
Perlakuan yang dilakukan oleh sang guru terhadap diri seorang Alif, betul-betulmeruntuhkanapa yang dimilikinya. Kekecewaan yang amat tinggi dan bahkan mempermalukan dirinya dihadapan teman-temannya. Dia merasa tidak punya kuasa untuk menolak perlakuan semena-mena tersebut karena dia tidak memiliki kekuasaan untuk melawannya. Harga dirinya terkoyak-koyak, dia tidak mampu lagi menampilkan sosok dirinya yang sesungguhnya karena rasa ego dari orang dewasa yang punya kekuasaan. Moralitasnya pun tergores, nilai kebenaran yang diyakininyadan diajarkan selama ini menjadimusnah begitu saja. Benar dan salah menjadi sesuatu yang membingungkan bagi dirinya karena tidak adanya konsistensi antara ucapan dan realita.
Pelanggaran
Perlakuansalah yang dilakukan oleh sang guru dan sekolah, merupakan bentuk pelanggaran hak anak yang mendasar dan dikategorikan sebagai penyalahgunaan pendapat dan pandangan anak. Bukan sang guru saja yang terlibat tetapi tetapi atasannya yang melindungipelanggaran ini bahkan instansi tempat peristiwa ini yang membiarkan fakta ini sebagai suatu kejadian biasapun dapat dikategorikan terlibat dalam penyalahgunaan atau pelangggaran atas hak anak berpendapat.
Patut difahami yang menjadi korban dalam kasus ini bukan saja Alif, tetapi anak-anak lain yangmenerima contekan tersebut. Mereka merasa “dihinakan” karena dianggap sebagai anak yang tak mampu menjawab soal ujian yang diujikan. Mereka juga merasa sebagai orang yang diremehkan, dandianggap lebih bodoh. Mereka juga merasa dipaksa untuk menerima pendapat orang lain, padahal anak-anak tersebut pun punya pendapat dan pandangan yang mungkin berbeda dengan Alif. Akibatnya,anak-anak ini kelak akan menjadi pribadi-pribadi yang ambivalen, sebab pelanggaran aturan dipertontonkan di depan mereka secara nyata. Dalam terminologi perlindungan anak, perlakuan institusi sekolah digolongkan sebagai penyalahgunaan hak-hak anak dalam berpendapat. Dalam kaitan ini negara harus bertindak, dan menyelamatkan anak-anakdari situasi buruk ini. Situasi buruk ini tidak bisa dibiarkan. Pelaku bisa dibawa ke pengadilan, langkah-langkah konkrit untuk mencegah kasus ini pun harus dilakukan agar peristiwa ini tidak terulang lagi. Harusnya ada sikap serius dari negara untuk melakukan langkah yang lebih konkrit, dan tidak menutupi kasus ini dan tidak menganggap kasus ini sebagai kasus kecil. Jika tidak, maka Indonesia dinilai sebagai negara yang mengabaikan pentingnya hak-hak anak dilindunig. Indonesia bakal dituding sebagai negara yang membiarkan terjadinya pelanggaran hak anak.
Pemulihan
Mungkinada yang menganggap peristiwa ini adalah sesuai yang wajar yang tidak akan membuat anak menjadi trauma. Bahkan adajuga yang berpandangan bahwa Alif dan teman-temannya secara alamiah akan kembalihidup normal tanpa perlu upayapemulihan. Tidak banyak pihak yang merasa sungguh-sungguh khawatir akan kerusakan mental dan moral anak kelak. Perlakuan salah ini telanjur telahmenjadi menjadi bagian kehidupan sosial yang menimpa anak-anak kita di sekolah. Kepedulian terhadap masa depan anak diletakkan pada porsi yang tidak tepat. Anak menjadi barang mainan dan kelinci percobaan. Bahkan pucuk pimpinan tertinggi di bidang pendidikan punmenganggap masalah ini sebagai sesuatu harus diakhiri, dan mengembalikan anak pada komunitasnya masing-masing.
Anak-anak yang manjadi korban atasperlakuan salah ini harus mendapatkan pemulihan. Dapat dipastikan bawah Alif dan teman-temannya yang ada di kelas mengalami trauma. Tingkat trauma yang dialami oleh anak-anak ini berbeda antara satu anak dengan anak lainnya. Trauma bukan saja difahami sebagai sesuatu gangguan psikologis pada diri anak yang terlihat oleh mata. Trauma ini pun tidak serta merta muncul saat ini juga, namun bisa muncul beberapa waktu kemudian. Adegan sontek massal yang terjadi dikelas mereka harus diklarifikasi kepada anak-anak sebagai sesuatu kesalahan, karena itu guru dan kepala sekolah harus menyampaikan permohonan maaf kepada anak-anak secara terbuka. Tak hanya itu, pandangan anak-anak juga harus didengarkan, mungkin saja anak-anak termasuk Alif akan memberikan penilaian atas peristiwa ini yang perlu didengar oleh para penyelenggara pendidikan.Pembiaran terjadinya penyalahgunaan aturan di depan anak merupakan satu langkah yang patut dipulihkan kembali. Konseling dan pemulihan kondisi psikologis anak pun perlu dilakukan, agar anak berada pada koridor moral dan mental yang benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H