Oleh: Ahmad Sofian
Dalam bayangan kita selama ini, seolah-olah kekerasan hanya menimpa anak-anak miskin, anak-anak keluarga yang bodoh dan tak berpendidikan. Beberapa kejadian yang menimpa anak-anak ini membuktikan asumsi ini mungkin benar.
Kasus ibu dari keluarga miskin di Pulau Nias yang membantai lima anaknya dan tiga di antaranya tewas dan dua lagi kritis, disusul kasus mutilasi terhadap anak jalanan yang terjadi baru-baru ini di Jakarta dan sempat dimuat di halaman 1 Kompas hari Rabu (13/1), membuktikan kekerasan terhadap anak adalah fakta untuk orang-orang miskin.
Benarkah kekerasan atas anak hanya terjadi pada keluarga-keluarga miskin di Indonesia? Acapkali kita lupa bahwa ternyata kekerasan atas anak yang terjadi di negeri ini berlangsung hampir di semua lapis masyarakat.
Tanpa kita sadari, anak-anak kita sudah kehilangan kreativitasnya, anak-anak kita berada dalam situasi tertekan, anak-anak kita tidak punya gairah untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Anak-anak kita dihantui ketakutan yang luar biasa ketika akan menghadapi ujian nasional. Anak-anak kita sudah bergaya hidup seperti miniatur orang dewasa. Anak-anak kita tak punya rasa solidaritas sosial terhadap anak-anak yang nasibnya kurang beruntung, anak-anak kita juga disuguhi adegan-adegan semu, mistis, dan kekerasan di layar kaca setiap hari.
Belum lagi anak-anak yang kekurangan gizi, anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS, anak-anak cacat yang tidak diurus secara serius, anak-anak yang harus bekerja di tempat-tempat berbahaya siang dan malam, anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual serta anak-anak yang hidup dalam penjara-penjara yang kumuh, kotor, dan berdesak-desakan.
Ini semua fakta kekerasan absolut yang akan menentukan arah perjalanan negeri ini. Akankah kita berdiam diri? Tidak adakah dari kita yang prihatin dengan masalah ini? Atau ”urat nadi kita” sudah mati rasa dan terinfeksi dan menjadikannya sebagai fenomena dan bukan fakta yang menjadi awal kerusakan sistemik nasib anak-anak kita.
Negara kekerasan
Baru-baru ini pemerintah, diwakili oleh Menteri Sosial, menyatakan bahwa negara hanya mampu menangani 4 persen dari total anak-anak yang berada dalam situasi sulit yang hidupnya berada dalam situasi penelantaran, kekerasan, ataupun eksploitasi.
Yang lebih mengejutkan lagi ternyata pemerintah mengakui ada sekitar 17,7 juta anak-anak yang berada dalam situasi sulit tersebut. Kita akan berhitung-hitungan dengan angka ini. Angka 4 persen yang mampu ditangani pemerintah itu sama dengan 708.000 anak. Dengan demikian, persoalan anak baru bisa diselesaikan dalam waktu 25 tahun atau seperempat abad!
Benarkah kemampuan negara terbatas dalam menangani masalah anak? Atau ”sengaja dibatasi” agar ada ”pekerjaan” selama 25 tahun ke depan lalu setiap tahun ditampilkan data statistik yang menunjukkan adanya penurunan jumlah anak yang berada dalam situasi sulit.