Mohon tunggu...
Ahmad Sofian
Ahmad Sofian Mohon Tunggu... Dosen -

Ahmad Sofian. senang jalan-jalan, suka makanan tradisional dan ngopi di pinggir jalan :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Anak-anak yang Dilacurkan di Sumatera Utara

19 April 2011   08:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:38 3107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Text Box: “Di Sumut, faktor yang lebih banyak mempengaruhi munculnya anak-anak yang dilacurkan lebih dominan disebabkan oleh faktor penipuan oleh para sindikat penjual wanita yang berkedok sebagai perantara pencari kerja.”

ANAK-ANAK yang dilacurkan telah cukup menggejala di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan bahkan kota-kota kecil seperti Yogyakarta dan Surakarta. Masalah ini cukup memprihatinkan karena korbannya adalah penduduk yang dari sudut kematangan seksual belum dewasa. Mereka belum cukup mengetahui risiko dari hubungan seksual sehingga kehamilan dini dan penularan Penyakit Menular Seksual (PMS) dengan seluruh implikasinya dapat terjadi pada mereka. Praktik itu juga dapat mempengaruhi perkembangan pribadi dan masa depan mereka.

Masalah anak-anak yang dilacurkan merupakan masalah yang sampai hari ini belum terpecahkan. Pemerintah menganggap masalah ini adalah masalah kecil yang tidak begitu menganggu stabilitas dan atmosfir politik di Indonesia. Belum ada pemikiran pemerintah untuk menyusun program mengentaskan masalah ini. Pemerintah masih terlalu sibuk menyelesaikan konflik antar kepentingan yang sedang bermain. Sayangnya anak-anak terus saja dikirim ke ladang-ladang pelacuran apakah itu lokalisasi terselubung, hotel, karaoke dan sebagainya.

Artinya korban demi korban terus saja berjatuhan, sementara respon atas masalah ini masih sedikit yang memberikannya. Dalam masalah anak-anak yang dilacurkan ini banyak pihak yang terlibat dan menerima manfaat atas berlangsungnya bisnis ilegal ini. Namun bagi anak, hal ini sangat merugikan khususnya bagi masa depannya.

Anak-anak dijadikan pelacur lebih dikarenakan oleh permintaan pasar yang meningkat. Tingginya permintaan terhadap anak-anak terutama yang berusia 14-17 tahun karena mereka dianggap ‘suci’ dari berbagai virus dan penyakit. Seorang mucikari yang berhasil menyediakan seorang gadis muda yang masih perawan maka dia bisa meraup untung jutaan rupiah untuk satu kali transaksi dengan seorang pelanggan. Dengan alasan-alasan ini pula maka mucikari dengan segala upaya berusaha mendapat ‘rumput muda’.

Upaya ini biasanya mereka lakukan secara terorganisir, dengan jalur-jalur yang tertutup-rapi, dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memasukinya.

Anak-anak yang di bawah umur lebih mudah dibujuk dan diiming-imingi kesenangan dan pekerjaan sehingga dengan gampang dijual ke lokasi-lokasi yang memerlukannya. Para pembujuk ini dalam istilah sindikat disebut ‘kolektor’ yang beroperasi di pusat-pusat keramaian seperti mal, plasa bahkan sampai ke desa-desa.

‘Kolektor’ ini biasanya sudah terlatih mengenali calon-calon mangsa yang gampang tergiur dengan tawaran sejumlah uang atau pekerjaan. ‘Kolektor’ ini sendiri sebenarnya dipekerjakan oleh bos sindikat (mucikari/germo). Pada Februari 1999 penulis pernah melakukan investigasi terhadap para ‘kolektor’ di beberapa plasa dan mal di Medan. Hasilnya para calon korban, yang biasa mereka sebut ‘ABG’ (Anak Baru Gede) yang umumnya berasal dari daerah pinggiran kota dan memiliki latar belakang keluarga menengah ke bawah. Mereka ini sangat mudah diajak ke tempat-tempat mewah dan jarang menolak ajakan tersebut. Setelah calon korban menerima ajakan tersebut, ‘kolektor’ membawanya ke tempat mucikari. Di sini ‘kolektor’ akan mendapat tips yang besarnya sekitar Rp 100.000,- hingga Rp 200.000,- tergantung pada kecantikan dan keperawanan si korban.

Dan ternyata begitu banyak dijumpai kasus anak-anak yang dilacurkan di Sumatera Utara (Sumut). Anak-anak ini biasanya dikirim ke lokalisasi pelacuran di Pulau Sicanang, Belawan (Medan) dan Bandar Baru (Deli Serdang), Warung Bebek (Deli Serdang), hotel-hotel kecil di Medan bahkan sampai ke Pulau Batam (Riau).

Di Sumut, faktor yang lebih banyak mempengaruhi munculnya anak-anak yang dilacurkan lebih dominan disebabkan oleh faktor penipuan oleh para sindikat penjual wanita yang berkedok sebagai perantara pencari kerja. Ini bisa dibuktikan dengan berbagai dokumen pemberitaan media massa yang mengungkap pengalaman anak-anak yang berhasil kabur dari ‘ladang pelacuran.’

Insiden

Laporan investigasi wartawan Fokus (Fokus, 9-15 Desember 1998) di lokalisasi Bandar Baru, Deli Serdang, Sumut menemukan ada sekitar 200-300 perempuan dipekerjakan dalam bisnis seks dan lebih dari setengahnya adalah anak-anak berusia berkisar 15-17 tahun. Seorang informan, sebut saja Nur (16 tahun) menyatakan bahwa dia dijanjikan akan dipekerjakan di restoran di kawanan Padang Bulan namun kenyataannya dia dijual ke Barak Naga, Bandar Baru.

Sementara untuk kabur sangat sulit karena ketatnya penjagaan. Jumlah anak-anak yang ditemukan oleh investigasi wartawan tersebut bukanlah untuk membesar-besarkan masalah. Fakta adanya anak-anak yang dilacurkan ini diakui oleh Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara (Dinsos Propsu).

Tahun 1998 ketika instansi ini melakukan pendataan terhadap pelacur di Sumut, mereka menemukan anak-anak berusia di bawah 18 tahun sebanyak 281 orang ‘bekerja’ di tiga lokalisasi, yaitu Bandar Baru (Deli Serdang), Bukit Maraja (Pematang Siantar), dan Warung Bebek (Deli Serdang). Jumlah ini belum termasuk yang dijumpai di diskotik dan pub yang mencapai 500 orang. Dinsos Propsu mengakui masih banyak anak-anak yang dilacurkan yang belum terdata, atau cenderung memalsukan umurnya (Dinsos Propsu, 1999)

Anak-anak yang dilacurkan ini masih harus mengalami kekerasan. Kasus penyekapan dan penjualan 600 anak di bawah umur untuk dijadikan pelacur anak di Dumai, Riau yang terjadi pada bulan Maret 2000 lalu membuktikan fakta ini. Sebagian besar anak-anak yang disekap ini berasal dari Medan.

Terangkatnya kasus ini disebabkan oleh tiga orang dari mereka berhasil diambil oleh keluarganya dengan membayar sejumlah uang untuk kebebasan mereka. Selanjutnya keluarga salah seorang dari mereka ini mengadukan kasus ini ke polisi untuk dapat diusut lebih lanjut (Kompas, 26/3/2000).

Kasus yang hampir sama terjadi kembali pada 25 Maret 2000. Dua orang gadis muda berusia 15 tahun disekap dan nyaris terjual ke tempat pelacuran di pulau Batam. Penyekapan itu sendiri berlangsung di Medan dan kedua gadis tersebut berasal Tembung, pinggiran Medan. Untungnya keluarga korban mengetahui anak gadisnya disekap dan bersama kerabatnya yang polisi membebaskan kedua anak gadisnya. (Radar Medan, 27/12/2000).

Kasus yang menarik untuk diungkapkan kasus yang dialami oleh Fitri (16 tahun) penduduk Jalan Letda Sujono, Medan. Fitri gadis manis yang berkulit putih menceritakan pengalamannya ketika diajak ke Bandar Baru, kabupaten Deli Serdang untuk bekerja di rumah makan dengan gaji besar. Dia tidak tahu kalau Bandar Baru itu adalah lokalisasi pelacuran di Sumut.

Setelah permisi sama orang tuanya, Fitri pergi bersama tiga orang temannya, yaitu Afrida (15 tahun), Kiki (16 tahun), Florida (16 tahun). Sesampainya di Bandar Baru, Fitri sudah mulai curiga karena dia diinapkan di sebuah rumah yang di dalamnya telah menunggu beberapa perempuan muda. Fitri ingin pulang tetapi tidak bisa. Malam itu dia harus merelakan keperawannnya kepada pria dan dibawa ke Bungalou Kumala di Bandar Baru. Selama satu bulan Fitri dipaksa melayani setiap tamu yang mem-booking-nya. Selama satu bulan itu juga, dia berhasil mengumpulkan uang sejumlah Rp. 2 juta.

Terbongkarnya kasus ini, setelah Florida (teman Fitri) hamil yang ingin makan martabak di Medan. Oleh mucikari, Florida diizinkan turun ke Medan. Namun sampai di Medan, dia mengadukan kasus ini ke orang tuanya dan polisi. Orang tua Florida meminta agar germo/mucikari dihukum. "Mereka harus dihukum berat dan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku karena sudah merusak masa depan anak saya," katanya.

Nasib anak-anak yang dilacurkan ini sangat tidak menyenangkan. Ini terlihat dari kasus yang ada di lokalisasi Bandar Baru, Deli Serdang. Anak-anak yang menolak perintah germo untuk melayani kebuasan nafsu para hidungbelang yang datang, maka dengan garang germo akan menyiksa mereka malah ada yang sampai geger otak karena kepalanya dibenturkan ke tembok dan jadi gila. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun