Mohon tunggu...
Ahmad Sofian
Ahmad Sofian Mohon Tunggu... Dosen -

Ahmad Sofian. senang jalan-jalan, suka makanan tradisional dan ngopi di pinggir jalan :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

ESKA: Buruknya Potret HAM Anak di Indonesia (Ahmad Sofian)

6 Januari 2011   13:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:53 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK :

BURUKNYA POTRETHAMANAK DI INDONESIA [1]

Oleh : Ahmad Sofian [2]

Abstract

Commercial Sexual Exploitation of Children (CSEC) is one of serious human rights violations, especially violation to the rights of the child. CSEC take the forms of child prostitution, child pornography and child trafficking for sexual purpose. Other forms of CSEC include child marriage and child sex tourism. The crime can be very harmful to children’s future and their community systematically. CSEC is a fact and still exists in Indonesia. The number of sexually exploited children in Indonesia keeps increasing every year. Unfortunately, the scourge is not addressed properly. It is a fact that CSEC prevention and victim recovery programs are not implemented seriously and effectively. Similarly, the existing laws still fail to prosecute and convict the perpetrator. Therefore, it is not a surprise if the UN Committee on the Rights of the Child finally states that the Indonesian Government is not serious in eliminating CSEC. I have made some recommendations in this writing and hope that decision makers in the country can consider them carefully so that they take immediate steps to save and protect Indonesian children from various forms of exploitations to make the country more civilized.

Pendahuluan

Dalam dokumen Konvensi Hak Anak(KHA), anak diartikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun dan termasuk jugabayi yang masih di dalam kandungungan[1]. Walaupun batasan belum berusia 18 tahun sudah ditetapkan, namun konvensi ini masih memberikan peluang bagi setiap negara yang ingin membuat batasan usia lebih muda dibandingkan dengan yang ditetapkan oleh konvensi. Kesepakatan mengggunakan umur sebagai batasan anak memang pada awalnya mendapatkan berbagai pertanyaan dan menimbulkan pro dan kontra. Bagi kelompok yang kontraberargumen bahwa bisa saja seseorang yang telah berusia belum berusia 18 tahun namun sudah lebih dewasa dibandingkan dengan orang telah berusia lebih dari 18 tahun, sebaliknya bagi kelompok yang pro denganbatasan usiamengatakan bahwa ketentuan ini berlaku universal, sulit menentukan batasan kedewasaan jika menggunakan ukuran yang berbeda beda di setiap negara, karena hal ini akan merugikan anak tersebut. Batasan usia 18 tahun akan memberikan keuntungan tersendiri bagi anak dimanapun anak tersebut berada.

Jika usia yang dipergunakanuntuk mendefinisikan anak bukan usia 18 tahun, maka perlindunganterhadap anak dari eksploitasi dan bentuk-bentuk kekerasanakan menjadi lebih sulit untuk dilakukan.Hal ini terjadi ketika anak-anak melintasi perbatasan internasional dimana merekamungkin tidak memperoleh batasan-batasan usia perlindungan yang sama antara satu negara dengan negara lain.

Menentukan usia yang baku untuk mendefenisikananak berpengaruh terhadap bagaimana anak-anak yang menjadi korban diperlakukanoleh hukum. Anak-anak tidak mungkin memberikan izin untuk dieksploitasi dan didera. Oleh karena itu di depan hukum mereka harus dianggap sebagai korban bukan sebagai kriminal. Dengan demikian, membakukan usia 18 tahun sebagai usia tanggung seksual secara internasional akan memberikan perlindunganyang lebih besar terhadap anak[2].

Eksploitasi Seksual Komersial Anak dan Kekerasan Seksual

Orang sering mencampuradukkan antara Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) dengan Kekerasan Seksual Anak (KSA). Kedua istilah tersebut memiliki perbedaan yang sangat tegas walaupun saling mengandung keterkaitanantara yang satu dengan yang lain. ESKAdan KSA merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaandalam memanfaatkan seoranganak sebagaisebuah obyek seks. Meskipundemikian, ESKA dan kekerasan seksualterhadap anak merupakan dua bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang berbeda yang membutuhkanintervensi-intervensi yang berbeda pula untuk menghapusnya. ESKA dan KSA juga sering tumpang tindih. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya koordinasi dan kerjasama antara aktor-aktor yang peduli dengan kedua persoalan tersebut untuk memeranginya.

Eksploitasi seksual komersial dan kekerasan seksual anak sering dilakukan oleh seseorang yangtelah dikenal oleh anak tersebut, kadang-kadang dilakukan oleh salah seoranganggota keluarganya. Ketika seseorang menerima eksploitasi seksual maupun kekerasan seksualbiasanya mereka akan ditolakatau menerima stigma dari masyarakat khususnya jika eksploitasi atau kekerasan seksual tersebutmenyebabkan kehamilanatau diketahui masyarakat umum yang dapat membuat mereka lebih rentan lagiterhadapperlakuan salah lebih lanjut atau membuat mereka lebih sulit untuk bertahan hidup.

Deklarasi dan Agenda Stokholm untukMenentangEksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakaninstrument yang pertama mendefinisikan ESKA. Deklrasi ini telah diadopsi oleh 122 pemerintah pada pelaksanan Kongres Dunia Pertama menentang ESKA yang diadakan di Stocholm, Swedia tahun tahun 1996.Deklarasi ini mendefenisikan ESKA sebagai berikut :

“Sebuahpelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersehttp://www.facebook.com/profile.php?id=100000704138696but terdiri dari kekerasan seksualoleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukansebagai objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.”

Dari defenisi di atas jelas bahwa melalui ekspolitasi seksual komersial anak, seorang anak tidak hanyamenjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebagai sebuah komiditas yang membuatnya berbeda dalam rehabilitasi maupun pemulihannnya dan reintegrasi dengan keluarga atau masyarakat. ESKA adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuanseksual guna mendapatkan uang, barang atau jasabagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lainyang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual pada anak tersebut. Hal ini merupakanpelanggaran terhadap hak-hak anak dan elemen kuncinya adalah bahwa pelanggaran ini muncul melaluiberbagai bentuktransaksi komersial dimana satu atau berbagai pihak mendapatkan keuntungan. Adanya faktor keuntungan ini membedakan antara ESKA dengan kekerasan seksual anak karena dalam kekerasan seksual anak tidak ada keuntungan komersial walaupun eksploitasi seksual juga merupakan sebuah kekerasan seksual.

ESKAterjadi karena berbagai alasan yang berbeda seperti kekayaan yang tidak merata, permintaan untuk melakukan hubungan seks dengan anak-anak, ketidaksetaraan jender, konflik bersenjata, sikap sosial atau konsumerisme yang luar biasa. Bentuk-bentuk utama ESKA adalahpelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan untuk tujuan seksual.Sedangkan pariwisata seks anak dan beberapa contoh perkawinan anak dapat dianggap sebagai bentuk khusus dari pelacuran anak. Namun yang jelas bentuk-bentuk ESKA tersebut memiliki dampak yang merusak yang sama terhadap anak-anak dan masyarakat dimana ESKA tersebut terjadi.

Kekerasan seksual terhadap anakdapat didefenisikan sebagai hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak lebih banyak nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara kandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah obyek pemuas bagi kebutuhanseksual si pelaku. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan dengan menggunakanpaksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan yang mengandung kekerasan seksual tidak harus melibatkankontak badan antara pelaku dengan anak tersebut. Tindakan tindakan tersebut dapat termasuk ekshibisme atau voyerurme seperti orang dewasa yang menonton seorang anak sedang telanjang atau menuyuruh atau memaksa anak-anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan seksual dengan orang lain sedangkan pelaku tersebut menonton atau merekam kegiatan-kegiatan seksual tersebut [3]. Para pelaku sering kali adalah orang yang memiliki tanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anak tersebut. Dengan demikian, sudahada hubungan kepercayaan di antara mereka dan pada saat yang bersamaan adanya satu kekuasaan.

Instrumen Internasional HAM Anak

Bahwa hak asasi anak merupakan bagian integral Hak Asasi Manusia (HAM). Bahasa lain yang disering dikemukakan adalah hak anak adalah HAM untuk anak. Dalam kaitannya dengan HAM, maka hak anak berarti :

1)Menegaskan berlakunya HAM bagi semuatingkatan usia, misalnya hak untuk bebas dari perlakuan aniaya, hak atas identitas dan kewarganegaraan dan hak atas jaminan sosial;

2)Meningkatkan standard HAM agar lebih sesuai denggan anak-anak, misalnya tentang kondisi kerja, penyelenggaran peradilan anak, serta kondisi perenggutan atau perampasan kemerdekaan;

3)Mengatur masalah-masalah yang khusus berhubungan dengan anak, misalnya pendidikan dasar, adopsi dan hubungan dengan orang tua.[4]

Karena anak memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang berbeda dengan orang dewasa, maka dipandang perlu untuk menyusun standard khusus yang berlaku secara universal hak-hak anak yang dimaksudkan untuk melindungi dari berbagai bentuk eksploitasi serta memberikan kewajiban kepada negara peserta untuk mengimplementasikan langkah-langkah pemenuhan hak-hak anak. Berikut ini ditampilkan beberapa instrumen HAM anak :

A.Perjanjian internasional yang mengatur secara khusus tentang hak-hak anak

1.Konvensi Hak Anak (KHA)

2.Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang penjualan anak, pelacuran anak dan pornografi anak

3.Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Anak yang berkonflik senjata

B.Perjanjian Internasional lain yang Relevan

1.Protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak

2.Perjanjian organisasi buruh internasional: Konvensi tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan konvensi tentang usia minimum untuk bekerja

C.Komitmen dan inisiatif pada tingkat internasional

1.Deklarasi dan agenda aksi Stocholm,

2.Komitmen Global Yokohama

3.Call for Action Rio.

Dari instrument yang disebutkan di atas, akan diuraikan secara singkat mengenai instrument yang terkait dengan masalah Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Pasal 34 dan pasal 35 Konvensi Hak Anak secara langsung mewajibkan Negara untuk melindungi anak-anak dari semua bentuk eksploitasi seksual, termasuk pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan anak. Pasal-pasal ini merupakan landasarn perlindungan hukum internasional terhadap anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual.

Pasal 34

“Negara-Negara Pesertaberusaha untuk melindungi anak dari semuabentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk tujuan ini, Negara-Negara Peserta khususnya akan mengambil langkah-langkah yang layak, bilateral dan multilateral untuk mencegah :

a)Bujukan atau paksaan agar anak terlibat dalam setiap kegiatan seksual yang tidak sah;

b)Penggunaan anak secara eksploitatif dalampelacuran atau praktek-praktek seksual lain yang tidak sah;

c)Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukan-pertunjukan dan bahan-bahan yang bersifat pornografiis”

Pasal 35

“Negara-Negara Peserta dan akan mengambil semua langkah yang layak, nasional, bilateral dan multilareal, untuk mencegah penculikan, penjualan atau jual-beli anak untuk tujuan atau dalam bentuk apapun”

Selanjutnya opsional protokol Konvensi Hak Anak tentang penjualan anak, pelacuran anak dan pornografi anak mengatur secara khusus mengenai ESKA. Beberapa hal penting tentangopsional protokol ini adalah sebagai berikut :

·Instrumen internasional pertama untuk mendefenisikandan melarang penjualan anak, pelacurananak dan pornografi anak

·Sampai dengan September 2008 telah ada 129 negara yang meratifikasinya

·Negara-negara Peserta disarankan untuk mengambil langkah-langkah dalam bidang pelarangan, prosedur pidana, pencegahan, perlindungan dan kerjasama internasional

·Pelaksanaan dimonitor oleh Komite Hak Anak

·LSM dapat berpartisipasi dalam pelaporan

Indonesia tidak termasuk negara yang telah meratifikasi opsional protokol KHA ini, karena itu Indonesia masih terlibat dalam proses pelanggaran hak anak di bidang ESKA.

Terkait dengan Deklarasi dan Agenda Aksi Stocholm, Komitmen Global Yokohama, serta Call for Action Rio maka beberapa hal penting yang bisa disampaikan :

·Instrumen internasional pertama yang bertujuan untuk menghapuskan ESKA

·122 negara menunjukkan komitmen mereka di Stocholm, 159 menunjukkan komitmen mereka di Yokohama dan 181 negara menunjukkan komitmen mereka di Rio de Jeneiro.

·Instrumen hukum yang lunak dan secara hukum tidak mengikat Negara-negara yang berpartisipasi dalam Kongres Dunia Tersebut.

Potret Buram ESKA di Indonesia

Setiap tahun diperkirakan ada 100.000 anak dan perempuan yang diperdagangkan di Indonesia[5]. Diperkirakan juga bahwa 30 persen perempuan yang terlibat dalam pelacuran di Indonesia masih berumur dibawah 18 tahun dengan 40.000-70.000 anak Indonesia yang menjadi korban eksploitasi seksual. Institut Perempuan melaporkan bahwa sekitar 43,5 persen korban trafiking masih berusia 14 tahun walaupun sebagian besar perdagangan anak melibatkan anak-anak usia 17 tahun[6].Permintaan terhadap seks anak telah memicu terjadinya perdagangan seks anak secara global sedangkan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi serta keinginan untuk memiliki sebuah kehidupan yang lebih baik membuat anak-anak menjadi rentan. Anak-anak sangat rentan untuk diperdagangkan untuk tujuan seks karena mereka seringkali kurang berpendidikan, lebih mudah untuk dimanfaatkan karena kekuasaan yang besar atau dapat ditipu oleh orang yang telah dewasa. Anak-anak juga mungkin merasa wajib untuk membantu menafkahi keluarga mereka atau lari dari situasi keluarga yang sulit dan bisa dijual atau pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan. Di Indonesia, kemiskinan, penerimaan sosial terhadap buruh anak, kurangnya pencatatan kelahiran, praktek-praktek tradisional seperti pernikahan dini dan kurangnya pendidikan bagi anak perempuan merupakan faktor-faktor yang memfasilitasi terjadinya perdagangan manusia[7].

Anak-anak usia 15-18 tahun dari Indonesia diperdagangkan ke Malaysia, Hong Kong dan Singapura untuk tujuan seksual[8]; banyak dari mereka yang diperdagangkan dari Indonesia melalui Kepulauan Riau, Kalimantan dan Sulawesi ke daerah-daerah wisata di Malaysia dan Singapura[9]. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, berdasarkan data yang dikumpulkan dari 23 propinsi, tercatat ada lebih dari 2.000 kasus perdagangan anak di Indonesia pada tahun 2007, sebagian besar melalui Batam (400 kasus) dan Jakarta dari daerah-daerah pengirim di Jawa, Indramayu dan Sukoharjo[10].


Studi Kasus: Seorang Anak Perempuan Diperdagangkan ke Malaysia

Pada bulan Juni 2008, Santi, seorang gadis usia 15 tahun asal Lampung, Indonesia, diculik dan diperdagangkan ke Malaysia dan dipaksa untuk menjadi seorang pekerja seks. Keperawanannya dijual seharga 5.000 Ringgit (sekitar 15 juta rupiah) oleh seorang germo. Dua dari pelaku trafiking tersebut, yaitu Nurdin dan Chong Kum telah ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun.

Sumber: Harian Kompas, 10 Februari 2009.

Usia anak sering dipalsukan dengan menggunakan KTP palsu yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pencatatan kelahiran di Indonesia sehingga mereka bisa bekerja sebagai buruh migran di luar negeri dengan iming-iming gaji yang besar. Bukti menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri dalam masyarakat China di Propinsi Kalimantan Barat (beberapa kasus juga dilaporkan di Jawa Timur) diperdagangkan untuk pengantin wanita pesanan ke Taiwan[11], Hong Kong dan Singapura[12]. Pada tahun 2007, dilaporkan bahwa para pelaku trafiking telah menggunakan dokumen-dokumen palsu untuk mendapatkan visa wisatawan untuk perempuan dan anak-anak perempuan yang diperdagangkan dan dipaksa masuk ke dalam dunia pelacuran di Jepang. Perdagangan perempuan dan anak perempuan domestik juga mewakili sebuah masalah eksploitasi yang besar di seluruh Indonesia. Perempuan dan anak-anak perempuan direkrut dengan janji akan dipekerjakan di sebuah restoran atau pabrik atau sebagai pembantu rumah tangga tetapi malah dipaksa masuk ke dalam perdagangan seks[13].

Pada bulan Mei 2008 dilaporkan bahwa ada sebuah trend baru perdagangan anak perempuan umur 13 tahun ke daerah-daerah pembalakan liar di Kalimantan Barat[14]. Kalimantan Barat dikenal sebagai sebuah daerah dimana anak-anak perempuan yang sebagian besar masih berusia antara 13 sampai 17 tahun diperdagangkan dari pulau tersebut dengan janji akan dipekerjakan sebagai pekerja restoran atau pembantu tetapi kenyataannya malah dipaksa masuk kedalam lokalisasi hutan di sejumlah tambang emas ilegal dan bisnis perkayuan[15]. Ada daerah-daerah tertentu di Indonesia yang dianggap sebagai daerah tujuan atau daerah pengirim. Misalnya, Bali dikenal sebagai daerah tujuan untuk perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seksual sedangkan Surabaya dianggap sebagai daerah tujuan untuk trafiking domestik dan sebagai daerah transit untuk beberapa rute internasional[16]. Jawa Barat dikenal sebagai daerah pemasok untuk pelacuran anak dan perempuan sedangkan Jakarta, Batam dan Surabaya dikenal sebagai daerah tujuan[17].

Sebagian wisatawan, orang asing dan penduduk setempat juga menjadi wisatawan seks anak dan sering mengunjungi daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia. Sebagian pelaku kekerasan dari luar negeri membayar calo perkawinan untuk mencarikan istri melalui sistem pengantin perempuan pesanan yang dalam banyak kasus sering melibatkan anak-anak perempuan dengan pencatatan kelahiran dan dokumen perjalanan palsu. Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menyatakan bahwa dari tahun 1972-2008, mereka telah mencatat lebih dari 13.703 anak korban eksploitasi seksual di daerah-daerah tujuan wisata di 40 desa di 6 propinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Jawa Barat dan Jawa Timur[i]. Kompilasi data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perdagangan anak untuk tujuan seksual, baik untuk pelacuran anak maupun pornografi, ditemukan di Semarang (Jawa Tengah) dan Indramayu (Jawa Barat). Sementara itu, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan pelacuran ditemukan secara merata di propinsi-propinsi tersebut[18]. Bali dan Nusa Tenggara Barat juga dinyatakan sebagai daerah tujuan wisata dimana banyak anak menjadi sasaran eksploitasi seksual[19].

Dalampandangan ECPAT Internasional[20], Indonesia masih dianggap sebagai negara yangtelah melakukan langkah terbatas dalam menanggulangi masalah eksploitasi seksual anak. Langkah-langkah terbatas ini diartikan baru sebatas komitmen dari Pemerintah Indonesia untuk memerangai masalah ini secara serius. Berikut saya kutip pernyataan ECPAT Internasional tersebut :

“Indonesia telah mengambil langkah-langkah penting untuk mengembangkan kerangka kerja kebijakan dan perundang-undangan yang komprehensif untuk memerangi eksploitasi seksual anak. Akan tetapi, Negara tersebut belum melakukan langkah-langkah pencegahan yang cukup untuk secara khusus mengurangi kerentantan anak-anak terhadap eksploitasi seks dan mengatasi faktor-faktor pendorong yang ada di balik tindak kejahatan ini. Kurangnya layanan dukungan dan bantuan khusus untuk anak-anak yang menjadi korban trafiking dan eksploitasi seksual juga menjadi perhatian utama”

Dari uraian di atas perlu juga dicatat tentang pandangan dari Komite Hak Anak PBB yang memberikan sebuah pendapat tentang bagaimana pemerintah Indonesia merespon persoalan-persoalan ESKA.Dalam tanggapannya, Komite Hak Anak menyambut baik rencana aksi nasional penghapusan ESKA periode 2002-2007.Namun, komitemerasa khawatir UU yang ada tidakmemberikan perlindungan yang efektif dan bahwa anak-anak korbanESKA sering tidak mendapatkan perlindungan dan atau bantuan pemulihan yang efektif. Komite juga merasa prihatin tentang kurangnya informasi mengenai bagaimana Rencana AksiNasional dilaksanakan di tingka propinsi dan kabupaten.

Komite jugamengingatkan kembali pandangannya bahwa anak-anaksebagai korban pelecehan dan eksploitasi seksualtidaklahbisa dinyatakan bertanggung jawab atau dinyatakan bersalah atas tindakan seperti itu. Untuk itu Komite merekomendasikan agar Indonesia :

1.Mengembangkan dan mengimplementasikan UU yang secara efektifbisa melindungi anak yang menjadi korbaneksploitasi seksual, termasuk perdagangan anak, pornografi dan prostitusi anak, yang termasuk antara lainmenaikkan batas usia minimum untuk melakukan hubungan seksual.

2.Melatih petugas penegak hukum, pekerja sosial dan penuntut umum tentang bagaimana menerima , memonitor, menyelidiki keluhan, dan melakukantuntutan terhadap para pelaku, dengan cara yang peka terhadap anak dan menghormati kerahasiaan pribadi korban.

3.Memprioritaskanbantuan pemulihan dan menjamin agar pendidikan dan pelatihan serta bantuan psikososial dan konseling disediakan bagi korban, dan menjamin agar korban yang tidak bisa kembali ke keluarganya diberikan alternative solusi yang mamadia dan dilembagakan hanya sebagai langkah terakhir;

4.Menjamin agar Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersialtehadap anak diberi alokasi sumberdaya yang memadai dalam implementasiknya serta dilaksanakan secara efektif di tingka provinsi dan kabupaten [21].

Kesimpulan

Beberapa kesimpulan pentingyang dibisa dipergunakan sebagai rujukan untuk mengatasi masalah pelanggaran hak anakkhususnya yang menjadi korban eksploitasi seksual komersial anak sebagai berikut :

vMeratifikasi protokol tambahan Konvensi Hak Anak tentangperdagangan anak,pornografi anak dan pelacuran anak. Ratifikasi ini menjadi sangat penting karena akan dijadikan landasan untuk harmonisasi hukum nasional yang terkait dengan ESKA.

vPeningkatan status ratifikasi Konvensi Hak Anak dari Keputusan Presiden

menjadi Undang-Undang. Peningkatan statusratifikasi dari Keppres menjadi Undang-Undang akan memberikan landasan yang cukup kuat dalam upaya penanggulangan ESKA karena KHA adalah instrument payung di bidang perlindungan anak.

vRevisi Terbatas Undang-Undang Perlindungan Anak khususnya dalam pasal 83

yang mengkriminalkan pengguna anak-anak yang dilacurkan, dan obyek seksual komersial lainnya;

vMemperkuat pusat-pusat pemulihan khususnya untuk anak korban ESKA yang

terpisah dengan orang dewasa yang dikelola secara profesional. Pendekatan

pemulihan untuk anak yang menjadi korban ESKA berbeda dengan pendekatan

pemulihan untuk orang dewasa, sehingga penyatuan anak korban ESKA dengan

orang dewasa korbanakan memperlama proses penyembuhan anak tersebut.

vPartisipasi anak perlu dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah dengan

memberikan dukungan yang maksimal untuk penangananESKA dengan melibatkan anak.

[1] Pasal 1 Konvensi Hak Anak (Keppres No. 36/1990).

[2] ECPAT Internasioanal, “Tanya dan Jawab tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak” (Penerbit dan Penterjemah ECPAT Indonesia, 2006), halaman 3

[3] ECPAT Internasional , Ibid, halaman17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun