Mohon tunggu...
Ahmad Sofian
Ahmad Sofian Mohon Tunggu... Dosen -

Ahmad Sofian. senang jalan-jalan, suka makanan tradisional dan ngopi di pinggir jalan :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Catatan Penanganan Kasus Perdagangan Anak Untuk Tujuan Pelacuran

19 April 2011   16:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:38 1620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERDAGANGANanak untuk tujuan pelacuran adalah pergerakan/perpindahan orang secara rahasia dan terlarang dengan melintasi perbatasan wilayah (lokasi) dengan tujuan akhir untuk memaksa orang-orang tersebut masuk ke dalam situasi yang secara seksual atau ekonomi bersifat menekan dan eksploitatif dan memberikan keuntungan bagi para perekrut, traffickers dan sindikat kejahatan (ECPAT, 1999). Dari defenisi di atas, paling tidak ada empat unsur batasan perdagangan anak, yaitu rekrutmen, transportasi (perpindahan), paksaan/ ekploitasi, lintas batas (across border). Muhammad Farid menambahkan satu unsur lagi, yakni consent. Pengertian consent adalah anak tidak dalam kapasitas menyetujui dirinya diperdagangkan, walau dia menyetujuinya.

Perlu dijelaskan bahwa perdagangan anak untuk tujuan pelacuran merupakan bagian dari CSEC (Commercial Sexual Exploitation of Children) atau Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). ESKA, menurut hasil kongres pertama ESKA di Stokcholm tahun 1996 adalah kekerasan/perlakuan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak dengan pemberian uang atau yang bisa dinilai dengan uang. Dalam kaitan ini anak dinilai sebagai objek seks atau barang komersial. ESKA terdiri dari pornografi terhadap anak, prostitusi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual.

Besaran Masalah

Untuk mengawali penggambaran data tentang perdagangan anak untuk tujuan pelacuran perlu ditekankan bahwa mustahil untuk bisa menggambarkan besaran masalah perdagangan anak secara akurat karena perdagangan anak untuk pelacuran adalah fakta yang disembunyikan atau tersembunyi di banyak tempat apakah itu lokalisasi, penampungan, kampung-kampung miskin, pusat hiburan seperti di plasa atau mal bahkan di sekolah-sekolah.

Menurut catatan International information Program, US Department of State (2001), masalah perdagangan anak (dan juga perempuan) merupakan bentuk kejahatan terorganisir terbesar nomor tiga di dunia setelah perdagangan obat bius dan perdagangan senjata.

Dalam dokumen tersebut disebutkan juga bahwa jumlah manusia yang diperdagangkan setiap tahunnya mencapai 1 hingga 2 juta jiwa dan terbesar berasal dari Asia Tenggara mencapai 225.000 korban, Asia Selatan (150.000 korban), Uni Soviet (100.000) dan Eropa Timur (75.000), Amerika Latin (100.000) dan Afrika (50.000). Kebanyakan korban-korban tersebut dikirim ke Asia, Timur Tengah, Eropa Barat, dan Amerika Utara.

Di Indonesia, masalah perdagangan anak untuk tujuan pelacuran belum banyak diungkap, sehingga belum ada data yang bisa menggambarkan masalah ini. Data yang sering dipakai adalah survei yang pernah dilakukan Farid tahun 1998 yang diterbitkan oleh Atmajaya dan UNICEF. Menurutnya, jumlah perempuan yang diperdagangkan untuk dijadikan prostitusi setiap tahunnya mencapai 40.000-70.000 dan 30 persen diantaranya adalah anak-anak berusia 14-17 tahun atau sekitar 12.000-21.000 orang. Dari jumlah tersebut yang terbesar diperdagangkan dengan tujuan Kepulauan Riau meliputi Batam, Tanjung Balai Karimun dan Dumai.

Departemen Sosial hanya mencatat jumlah pelacur di Indonesia yang pada tahun 1999 mencapai 73.990. Jumlah pelacur yang dimaksudkan ini berusia rata-rata di atas 20 tahun. Dan dalam catatan tersebut juga tidak disebutkan apakah pelacur tersebut sebagai korban perdagangan atau tidak (Irwanto, 2000).

Di Sumatera Utara, jumlah anak yang diperdagangkan untuk tujuan pelacuran menurut catatan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) setiap tahunnya mencapai 300-400 orang. Dari jumlah tersebut yang terbesar dijual ke Batam, Tanjung Balai Karimun dan Dumai (Newsletter Kalingga, 2000). Data ini tidak mengada-ngada karena pada tahun 1998, Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara menemukan sebanyak 238 orang anak berada di berbagai lokasi prostitusi di Sumatera Utara.

Strategi Penanganan

Sejak tahun 1998, PKPA telah memulai melaksanakan kegiatan penanganan perdagangan anak untuk tujuan pelacuran. Kegiatan yang dilakukan oleh PKPA dengan menggunakan 4 tahapan pendekatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun