TOLE, bukan nama sebenarnya, hanya tersenyum saat ditanya berapa banyak orang yang penah tidur dengannya. Anak lelaki berumur 16 tahun itu tak mau berterus terang. Atau, mungkin juga lupa. Namun saat didesak terus, akhirnya dia mau juga berucap meski singkat. "Banyak". Yah, pelacur anak atau dalam istilah Unicef disebut anak yang dilacurkan, ternyata tak hanya anak-anak perempuan, terutama di Kota Solo.
Fenomena anak laki-laki yang dilacurkan di beberapa daerah di Indonesia dinilai cukup memprihatinkan. Meskipun belum terdapat angka-angka yang tepat mengenai jumlah korban sesungguhnya. Berbagai penelitian yang dilakukan sejumlah lembaga menemukan kegiatan anak laki-laki yang dilacurkan di beberapa Kota Besar/ Kabupaten di Indonesia, diantaranya: Solo, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Jakarta, Karang Asem, dan Boyolali. Namun dari berbagai penelitian itu, belum ada satupun penelitian terhadap kegiatan anak laki-laki yang dilacurkan secara komprehensif. Sehingga seluk beluk dan angka-angka yang tepat masih “samar.” Selain itu, masih terbatasnya media massa yang ambil bagian dalam mengungkap boy prostituted menyebabkan kegiatan terselubung ini masih terendap dan sekaligus menyebabkan lemahnya kontrol sosial terhadap berbagai jenis kegiatan tersebut.
Adanya fenomena anak laki-laki yang dilacurkan terungkap dalam judul feature “Dari Perempuan ke Tante-Tante” yang dimuat oleh suaramerdeka.com pada tahun 2004 lalu. Dalam feature itu disebutkan, kegiatan anak laki-laki yang dilacurkan di Kota Solo, Jawa Tengah, merupakan hal baru bagi masyarakat kebanyakan, meski bagi kalangan yang paham dengan komunitas kehidupan remang-remang terdapatnya anak laki-laki yang dilacurkan tidak mengejutkan sama sekali. Artinya, keberadaan mereka masih sangat tertutup bagi kalangan awam, namun cukup ‘akrab” bagi orang-orang yang memahamai dunia malam. Minimnya pengetahuan masyarakat dan media massa akan aktivitas ini sejatinya akan berdampak terhadap lemahnya kontrol sosial yang menyebabkan leluasanya ruang gerak bisnis eksploitasiseksual tersebut. Pada akhirnya anak laki-laki yang dilacurkan ini akan semakin terjerumus dalam dunia hitam dan kehilangan hak-haknya secara permanen.
Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah mencatat pada 2004 jumlah anak laki-laki dan perempuan yang dilacurkan di lima Kecamatan di Kota Solo berjumlah 117 orang, diantaranya adalah tujuh orang anak laki-laki. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 24 orang anak. Artinya, anak laki-laki dan perempuan yang dilacurkan di kota Solo meningkat hampir 500 persen dari tahun sebelumnya.
Ditemukannya anak laki-laki yang dilacurkan tentu saja menandakan bahwa terdapat orang-orang yang menggunakan jasa anak-anak ini. Bahkan bisa saja terdapat permintaan khusus. 117 anak dan diantaranya tujuh orang laki-laki ini merupakan angka perkiraan yang dikumpulkanm PPK UNSdari informan : Kepolisian, Kepala Wilayah Pengamen dan mucikari. Jika data yang dihasilkan PPK UNS Solo ini tidak hanya bersandar pada informan namun melakukan penelitian di seluruh lokalisasi yang tersebar di lima kecamatan maka hasilnya akan jauh lebih banyak.Menurut M. Farid dan Irwanto fenomena anak yang dilacurkan merupakan fenomena gunung es di mana yang nampak di permukaan hanya seperlima hingga sepersepuluh dari jumlah yang sebenanrnya. Jika menggunakan asumsi Farid, sepersepuluh dari 117 orang anak berarti mencapai angka 1.170 anak-anak yang dilacurkan. Dan Jika sepersepuluh dari tujuh anak laki-laki yang tercatat mencapai 70 orang atau sekitar 6%. Dan perlu ditegaskan juga bahwa jumlah itu diperkirakan pada tahun 2004atau tujuh tahun lalu.
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 2004 menyajikan hasil-hasil temuan dari sebuah kajian cepat yang diadakan di tiga kota yaitu :Semarang, Yogyakarta dan Surabaya serta dua kecamatan di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Para peneliti menggunakan metode wawancara yang dilakukan terhadap 36 anak-anak yang dilacurkan – 30 anak perempuan dan 6 anak laki-laki, masing-masing 12 anak di setiap kota penerima, 6 orang germo serta 15 keluarga.
Dari 36 anak-anak yang dilacurkan yang diwawancarai, 35 anak berasal dari 21 kabupaten/walikota di pulau Jawa, sedangkan satu lagi berasal dari Sumatra. Anak-anak yang dilacurkan ini berasal dari berbagai daerah asal, diantaranya : 5 anak berasal dari Semarang, 4 dari Wonosobo, 3 dari Malang dan Solo sedangkan masing-masing 2 anak dari Purwodadi, Blitar, Yogya dan Jombang serta masing-masing satu anak dari Batang, Jepara, Purworejo, Sumatera, Tasikmalaya, Sragen, Kulon Progo, Banyuwangi, Bandung, Pasuruan, Tuban, Lumajang dan Madiun.
Anak-anak yang dilacurkan di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur berasal 21 Kabupaten/Kota. Infromasi luar biasa ini menandakan bahwa terdapat jaringan perdagangan anak-anak yang menggurita di Indonesia. Tidak heran jika banyak aktivis anak yang menyebutkan bahwa industri seks anak ini menghasilkan uang yang fantasitis.Jaringan ini memanfaatkan kondisi yang dihadapi anak-anak seperti kemiskinan, keterbatsan pengetahuan dan pengalaman buruk.
Di Indonesia pelacuran anak laki-laki sering juga terendus di daerah wisata, seperti Lombok dan Bali. Di sana banyak bocah laki-laki yang terjerumus dalam dunia pelacuran dan menjadi santapan kaum pedofil. Hasil riset Yayasan SANTAI, salah satu member ECPAT Internasional di NTB dan Indonesia menemukan, parawisata Lombok yang berkembang saat ini telah ditumpangi kepentingan aktor-aktor yang menjual Lombok sebagai tujuan parawista seks. Beberapa kawasan tujuan wisata yang menjadi obyek pengamatan yakni kawasan wisata Senggigi, kawasan wisata 3 gili di Pamenang dan kawasan wisata Suranadi-Narmada.
Sebagian besar pelaku bisnis di kawasan wisata dan pelaku wisata menyatakan bahwa wisata plus hiburan tidak terlepas dari bisnis sex. Dan dinyatakan untuk membuat laku bisnis mereka menarik kelompok muda atau anak-anak untuk menjadi obyek eksploitasi sex.Dari 87 responden yang ditemukan sebagian besar 51,72% berasal dari luar propinsi NTB dan 51,72% berusia antara 16-18 tahun atau masih diusia anak-anak yakni di bawah atau sama dengan 18 tahun saat penelitian ini dilakukan atau dari hasil wawancara singkat.
Tahun 2003-2005, Penelitian studi kasus bentuk kekerasan terhadap anak di Bali-Lombok, hasil yang didapat 173 anak pernah menjadi korban para pedofil. Dalam studi ini ditemukan korban pedofil bervariasi, artinya ada yang korbannya dari anak perempuan. Dari hasil penelitian ini, ditemukan bahwa ”tamu” ini awalnya adalah turis yang berkunjung ke Bali yang selanjutnya meneruskan perjalanan ke Lombok
Hasil temuan riset yang dilakukan Yayasan SANTAI ini kiranya cukup mencengangkan dan menunjukan fakta bahwa Lombok merupakan salah satu tujuan wisata seks bagi para wisatawan. Sehingga pernyataan dan informasi yang disajikan beberapa media dalam dan luar negeri terkait adanya bisnis anak laki-laki yang dilacurkan memang tidak berlebihan. Mengingat, sebagian besar pelaku bisnis di kawasan wisata dan pelaku wisata menyatakan bahwa untuk membuat laku bisnis pengusaha menarik kelompok muda atau anak-anak untuk menjadi obyek eksploitasi sex.
Lebih jauh, ditemukannya 173 anak yang menjadi korban pedofil menyisakan kejanggalan dan pertanyaan tersendiri; patut dicurigai bahwa ini bukan peristiwa yang kebetulan namun ada secamacam keadaan yang dikondisikan orang tertentu untuk memuluskan jatuhnya korban pedofilia tersebut. Meski tidak dapat pukul rata, namun, beberapa kasus di sejumlah kota-kota di Indonesia anak-anak yang menjadi korban pedofilia oleh wisatwan asing, biasanya mendapatkan imbalan atau melakukan transaksi sebelum dilakukannya hubungan seksual. Artinya perlu diduga bahwa terdapat sekolompok orang yang mengkondisikan “menjual” calon korban pedofil kepada wisatawan asing.
Hal ini dinilai tidak berlebihan mengingat terdapat kasus yang sama, selama tahun 2004-2008, Kepolisian daerah Bali telah menagani sekurangnya sembilan kasus pedofilia. Berbeda dari anak-anak yang dijadikan PSK di lokalisasi yang kebanyakan perempuan, para pedofil menyasar anak laki-laki berusia antara 13-17 tahun. Daerah rawan di Bali antara lain pusat parawisata di Karang Asem, Buleleng, Pulau Serangan, dan Denpasar. Pelakunya kebanyakan datang dari Australia, Prancis, Belanda, Jerman, Italia, dan Swiss.
Dalam sebuah seminar yang bertema “Tahta Pedofilia di Istana Dewa Pula Dewata: (Sebuah Pengalaman Penelitian Antropologi dari Kaki Gunung Agung-Bali)” di kampus Universitas Gajah Mada Yogyakarta mengemuka, bahwa fenomena adanya kaum pedofilia ternyata sudah hadir lebih dulu di Desa Muntigunung dan Pedahan Kaja, Karangasem sejak tahun 70-an. Namun, peneliti Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM (Universitas Gajah Mada) Yogyakarta, Drs Rohman, mengatakan, ironisnya praktik pedofilia baru mereka dengar sekitar tahun l995. Lantas terungkap lagi pada l998. kasus itu mulai mendapat perhatian khusus pada 2004 setelah seorang pedofil asal Italia, Mario Manara (57 tahun) tertangkap di Lovina-Singaraja. Kemudian, seorang lagi mantan diplomat Australia di Jakarta (l982-l984), Wiliam Stuart Brown alias Tony (52 tahun) tertangkap di Karangasem, Bali. Belakangan Tony diketahui gantung diri di penjara pada l2 Mei 2005 setelah divonis l3 tahun penjara. Hasil penilitian yang dilakukan UGM ini menandakan, jauh sebelum adanya campur tangan orang Indonesia sendiri dalam aktivitas anak-anak yang dilacurkan, para pedofilia telah memposisikan Bali sebagai salah satu tempat wisata seks anak. Bahkan, mereka lebih bersifat aktif dengan berinisiatif “membuka jalur” transaksi seksual. Upaya pedofilia ini memanfaatkan lemahnya ekonomi warga dan berperan seolah-olah menjadi seorang pendonior yang dermawan.
Selain itu, bentuk-bentuk perilaku seperti memberikan uang, pakaian, makanan atau mainan yang berlebihan. Bahkan, dengan mengatasnamakan seluruh kepemilikannya seperti sepeda motor, mobil, usaha-usahanya dan hak milik bangunan rumah kepada salah satu anak asuhnya. Ini juga merupakan perilaku-perilaku sosial dan ekonomi yang dinilai tidak wajar jika diukur dengan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Bali.Menurut Rohman, bentuk-bentuk peran yang dilakukan oleh pedofil di masyarakat Bali, biasanya selain sebagai orangtua angkat dan pekerja sosial LSM (lembaga swadaya masyarakat) atau NGO (non-governance organization), sebagian di antara mereka tercatat sebagai penderma dan penyantun keluarga-keluarga miskin dan anak-anak putus sekolah.
"Peran mereka dinilai mengagumkan tetapi sekaligus membingungkan. Karena selain dinilai aneh juga tidak masuk diakal," ucapnya. Atas praktik para pedofil, tidak semua anggota masyarakat Bali menaruh rasa curiga. Bahkan sebagian besar justru merasa senang dan terbantu. Tetapi, rata-rata di antara anggota masyarakat menyadari bahwa bentu-bentuk peran dan perilaku para pedofil seperti itu justru mengundang penilaian aneh, tidak wajar dan ganjil.
Dalam berita ini juga disebutkan bahwa masayrakat dua desa Karang Asem ini mempertanyakan sikap dermawan para wisatawan ini; kenapa tamu-tamu itu bersedia membantu semuanya dengan gratis? Apa maksud sebenarnya? Menurut peneliti yang juga antropolog UGM ini, selain Bali, fenomena ini pernah juga terungkap di Lombok, Batam, Medan, Ujung Pandang dan Surabaya. Sementara untuk di negara-negara Asia Tengara, fedofilia pun terjadi di Pilipina, Thailand, Srilangka dan Malaysia.
Sementara kajian cepat lainnya yang dilakukan ILO; Perdagangan Anak Untuk Tujuan Pelacuran di Jakarta dan Jawa Barat pada tahun yang sama (2004), melaporkan bagaimana pengalaman 12 anak laki-laki dan perempuan ketika memasuki dunia pelacuran: Sembilan responden ini mengaku belum memiliki pengalaman kerja sebelum berkerja pada sektor terburuk. Sementara tiga responden, yaitu 2 anak perempuan dan satu anak laki-laki yang telah mempunyai pengalaman kerja sebelumnya, yaitu menjadi pembantu rumah tangga dan menjadi penjaga warung untuk satu responden anak laki-laki.Masih dalam bab IV laporan kajian cepat ini, terdapat tiga responden yang dilacurkan pada usia dini yaitu kurang dari 15 tahun bahkan seorang responden memasuki dunia pelacuran pada usia 11 tahun. Sementara sembilan responden mengaku memasuki dunia pelacuran pada usia 16 tahun ke-atas, diantaranya tiga anak laki-laki. Hal ini menunjukan bahwa anak perempuan terjerumus dalam dunia pelacuran lebih dini daripada anak laki-laki.
Data-data skunder di atasdapat memberikan gambaran jelas bagaimana pesebaran anak-anak yang diperdagangkan untuk tujuan seksual di beberapa daerah di Indonesia. Selain itu, berbagai informasi itu menegaskan bahwa banyak anak laki-laki yang mengambil bagian dalam pekerjaan terburuk. Jalan pelacuran (terpaksa) diambil mengingat anak-anak ini tidak memiliki keterampilan, tidak adanya lapangan kerja, sementara kebutuhan untuk mencukupi hidup terus berjalan. Terlepas dari itu, sayangnya penelitian ini tidak mengetapkan besaraan jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang dilacurkan, meskipun melalui perkiraan. Presentasi antara anak laki-laki dan perempuan yang dieksploitasi secara seksual dengan bekerja sebagai penjaja seks tentu saja sangat penting untuk mengetahui bagaimana cara menanggulangi dan mencegah agar hal ini tidak kembali lagi terjadi.
Penutup untuk Direnungkan
Anak laki-laki yang dilacurkan di Indonesia terancam kehilangan hak-haknya secara permanen. Ancaman ini datang karena aktivitas mereka sampai saat belum terpantau secara maksimal; kegiatan masih terselubung, jumlahnya belum terungkap, pola penyebaran, rekrutmen, danlainsebagainya. Keberadaan mereka yang masih “samar” menyebabkan lemahnya basis informasi untuk dijadikan panduan guna memecahkan masalah, baik secara program maupun kebijakan.
Minimnya penelitian dan minat media massa dalam mengungkap persoalan ini mengakibatkan pergerakan aktivitas anak laki-laki yang berkerja pada sektor terburuk ini tidak terpantau secara baik. Sehingga upaya menghentikan praktik ini akan sulit dilakukan, justru sebaliknya kemungkinan “lahirnya” anak laki-laki yang terjerumus sebagai pekerja seks komersial akan terus meningkat. Apalagi kemiskinan yang menjadi faktor terbesar terlibatnya anak dalam pekerjaan terburuk ini masih dihadapi masyarakat Indonesia, khususnya di beberapa tempat yang menjadi daerah ditemukannya kegiatan ini.
Selain itu sampai saat ini ruang gerak mucikari dan pelanggan terbilang “masih bebas” untuk terus mencari korban mengingat peran masyarakat masih sangat minim. Kesadaran dan peran ini tentunya sangat dibutuhkan untuk menghentikan praktik-praktik buruk yang mencabut hak-hak anak. Tentu saja, peran masyarakat, peneliti, dan media massa sangat penting untuk membantu pemerintah yang terus berupaya menyelesaikan persoalan tersebut.
Dalam kondisi ini, peran peneliti sebenarnya sangat diperlukan. Penelitian-penelitian yang serius dan komprehensif terkait persoalan anak laki-laki yang dilacurkan akan berguna untuk membedah segala macam praktik anak-anak yang dilacurkan; basis informasi. Kemudian hasil penelitian ini dipublikasikan melalui media massa yang nantinya akan menimbulkan tergugahnya rasa senstifitas masyarakat, peduli, dan pada akhirnya berperan memerangi kegiatan anak laki-laki yangdilacurkan. Pada tahap ini pemerintah, aparat penegak hukum, akan sangat terbantu dalam dalam upaya memecahkan dan menyelamatkan hak anak-anak. Dengan kata lain, dibutuhkan peran semua kalangan dalamupaya menyelesaikan dan menyelematkan hak anak untuk tidak bekerja pada sektor terburuk; pekerja seks komersial.
Suaramerdeka.comhttp://www.suaramerdeka.com/harian/0503/06/nas10.htm
http://www.tempo.co.id/hg/nusa/jawamadura/2005/04/14/brk,20050414-31,id.html
Perdagangan Anak untuk Tujuan Pelacuran di Jakarta dan Jawa Barat, ILO, 2004 dalam http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_123813.pdf
sexual-abuse-common-among-street-children.html-,Jakarta Post: http://www.thejakartapost.com/news/2007/06/12/
Ibid, NTB: Situasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Pulau Lombok
NTB: Situasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Pulau Lombok, http://www.gugustugastrafficking.org/index.php?option=com_content&view=article&id=649:situasi-eksploitasi-seksual-komersial-anak-di-pulau-lombok&catid=145:situasi-eska&Itemid=185