Tahun 1995 merupakan tahun yang penuh kesan bagi anak-anak Indonesia khususnya kedudukannya dam dunia peradilan? Kita bisa melihat beberapa kasus menimpa anak masih dibawah umur diperlakukan oleh aparat penyidik yang menurut perkembangan umurnya belum pantas diperlakukan seperti itu. Kasus Andang Pradika Purnama misalnya bocah yang baru berusia sembilan tahun harus meringkuk didalam tahanan Polsekta Yogyakarta selama 52 hari dengan mendapat siksaan fisik yang cukup berat, hanya karena disangka mencuri dua ekor burung seharga Rp. 2.500.
Akibat siksaan ini Andang mengalami trauma begitu berat dan berkepanjangan, sehingga dia malu untuk berjumpa dengan teman-teman sebayanya, walaupun pada akhirnya hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta membebaskan Andang dengan alasan keadilan. Barangkali masih banyak Andang-Andang lain yang saat ini meringkuk dalam tahanan polisi yang perlu segera mendapat perhatian apa lagi pada Hari Anak Nasional kali ini.
Bila sebagian anak-anak Indonesia ikut berbahagia dalam rangka memeriahkan hari jadinya, maka sekelompok anak lainnya merasa tidak ada artinya Hari Anak Nasional itu, terutama mereka yang meringkuk dirumah tahanan dan lembaga-lembaga permasyarakatan. Eharusnya mereka ikut merayakan hari jadinya dan ikut berbahagia dengan anak-anak yang lain tetapi karena perlakuan hukum melindungi mereka dengan adil terpaksa mereka meringkuk di balik jeruji besi kokoh yang memisahkan mereka dari dunia bebas, di saat-saat mereka yang seharusnya bermain, bercanda, berkejar-kejaran dengan teman-teman sebayanya. Barangkali mereka belum mengerti apa hukum itu tetapi karena perlakuan yang mereka terima langsung mereka klaim hukum tidak adil.
Perlakuan-perlakuan hukum diatas sangatjauh dari perasaanataupun nilai keadilan yang harus diterapkan. Dalam dunia hukum ada tiga nilai yang harus diperhatikan apabila hendak menerapkan hukum itu dalam wujudnya yang konkrit.
Yang pertama adalah nilai kegunaan. Dalam kaitan ini apakah benar-benar hukum ini berguna bila diwujudkan kepada pelaku pelanggar hukum. Kemudian nilai kepastian hukum, artinya bahwa hukum itu harus dijatuhkan apabila ada yang melanggar hukum. Dan ketiga adalah nilai keadilan. Hukum harus benar-benar adil dalam memberikan putusan.
Ketiga hukum ini terkadang saling tarik-menarik antara mana yang didahulukan, apakah nilai kepastian hukum atau nilai keadilan. Bila sudah seperti ini maka yang baru diperhatikan oleh penegak hukum adalah perasaan hukum dan pandangan masyarakat yang pada akhirnya menentukan sikap yang akan diambil.
Kedudukan anak dalam hukum
Dalam hukum positif Indonesia, masalah anak dibawah umur apabila melakukan perbuatan melawan hukum tidak begitu tegas diatur. Apa yang seharusnya diperlakukan bagi mereka dan bagaimana system penahanan serta system penyidikan yang diberikan kepada mereka juga belum ada diatur dalam hukum.
Dalam KUHP sendiri hanya ada tiga pasal yang mengatur bila seorang di bawah umur melakukan tindakan pidana. Namun apa yang tertera dalam KUHP hanyalah berupa proses penghukuman bila seorang anak telah melakukan tindak pidana, sedangkan proses penyidikannya tidak diatur sama sekali. Pasal-pasal dalam KUHP tersebut adalah pasal 45, 46, dan 47. dalam ketiga pasal disebutkan bahwa apabila seseorang yang belum genap berusia 16 tahun melakukan suatu perbuatan pidana maka ada tiga alternative penghukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu mengembalikan anak tersebut kepada orang tuanya, memasukannya kedalam rumah pemeliharaan anak-anak nakal dan menghukum anak tersebut dengan mengurangi sepertiga dari pidana pokok yang diancamkan kepadanya. Jadi apa yang diatur dalam hukum positif Indonesia merupakan ketentuan yang sangat sederhana. Karenanya perlu penjabaran dan pengaturan lebih lanjut dalam suatu undang-undang khusus tentang anak.
Bila kita bandingkan dengan Negara lain maka Indonesia sudah sangat tertinggal dalam hal perlakuan hukum terhadap seorang anak yang melakukan suatu perbuatan melawan hukum. Belanda sendiri sudah memiliki Undang-Undang Anak (kiderwetten) sejak tahun 1901 dan mulai berlaku tahun 1905. lahirnya undang-undang in pada akhir abad ke 19 memang tak terlepas dari keprihatinan Negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara mengenai bertambah banyaknya kriminalitas yang dilakukan oleh anak dan pemuda. Juga terhadap penanganan perkara menyangkut anak dan pemuda, yang diperlukan sama dengan orang dewasa. Maka di berbagai Negara dilakukan usaha-usaha kea rah perlindungan anak.
Di Amerika Serikat juga sudah dibentuk pengadilan anak (Juvenile Court) sejak tahun 1899 dan merupakan undang-undang peradilan anak yang pertama menggunakan asas parents patriae, yang berarti bahwa penguasa pemerintah harus bertindak apabila anak-anak membutuhkan pertolongan sedang anak yang melakukan kejahatan bukannya dipidana, melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan.
Perlakuan anak dalam dunia peradilan
Bagaimana perlakuan yang diberikan jika seseorang anak melakukan kejahatan? Pertanyaan ini sering muncul ke permukaan tentang bagaimana seharusnya perlakuan yang harus diberikan, apakah sama dengan perlakuan diberikan kepada orang dewasa melakukan kejahatan. Jawabannya tentu berbeda. Si anak yang melakukan kejahatan pada umumnya bukan karena sifat jahatnya tetapi oleh karena bersifat anak nakal saja. Sebab itulah terhadap anak-anak seperti ini harus mendapat perlindungan dan perlakuan khusus pula.
Walau sampai saat ini belum ada undang-undang mengatur tentang perlakuan khusus bagi anak-anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum namun kebijakan pemidanaan merupakan alternative pemecahan permasalahan. Kebijakan pemidanaan bisa ditempuh dengan berprinsip pada sifat-sifat khusus dari si anak untuk mewujudkan kesejahteraan anak dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian segala aktivitas yang dilakukan dalam rangka peradilan anak ini, apakah itu dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim atau pejabat lainnya harus didasarkan pada suatu prinsip ialah demi kesejahteraan anak dan demi kepentingan anak.
Jadi apakah hakim akan menjatuhkan pidana ataukah tindakan harus didasarkan pada kriterium apa yang paling baik untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan, tentunya tanpa mengurangi perhatian pada kepentingan masyarakat. Bila prinsip itu dipegang maka tak ada lagi anak-anak yang terpisah dari sekolahnya, tak ada lagi anak-anak yang terasing dari dunia riilnya.
Dengan demikian anak yang melakukan kejahatan diperlakukan sesuai dengan perkembangan jiwa dan moralnya. Harapan kita semua agar kasus Andang tidak menimpa anak Indonesia lainnya.
Sebenarnya Indonesia telah pernah dibuat konsep Rancangan Undang-Undang Tentang Peradilan Anak pada tahun 1967 namun sampai saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut tidak diketahui dimana rimbanya. Padahal dalam konsep RUU tersebut sudah cukup mengatur tentang perlakuan –perlakuan yang harus diberikan oleh penyidik juga tentang hakim dan pengadilan yang berwenang megadili perkara tersebut.
Sumber: Harian Waspada, 24 Juli 1995
Oleh Ahmad Sofian (PKPA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H