Pertama-tama saya mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas tragedi yang menimpa sahabat, handai taulan, dan kerabat akibat tenggelamnya KM. SINAR BANGUN di Dana Toba beberapa waktu yang lalu. Saya mendapat banyak pertanyaan dari teman-teman yang menanyakan bagaimana pertanggungjawaban pidana kasus ini ?
Sebelum saya menguraikan secara singkat tentang pertanggungjawaban pidananya, maka perlu diketahui lebih dahulu faktor-faktor atau sebab-sebab yang menimbulkan tenggelamnya kapal ini yang menewaskan ratusan penumpang.Â
Sebab-sebab yang dimaksud bisa berupa sebab faktual (factual cause) dan bisa juga sebab hukum (legal cause). Jika mengacu pada analisa pemberitaan maka sebab-sebab timbulnya tenggelamnya KM. SINAR BANGUN yang kemudian menimbulkan kematian adalah : cuaca, kelebihan kapasitas, kondisi kapal yang tidak laik, minimnya alat-alat keselamatan, dan ketiadaan pengawasan dari otoritas yang setempat.
Oleh karena banyaknya faktor-faktor yang menjadi sebab, maka dalam konteks hukum pidana, akan dicari sebab-sebab hukum (legal cause) saja yaitu perbuatan atau pembiaran (tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan tenggelamnya/meninggalnya orang di dalam kapal).Â
Dari beberapa faktor yang disebutkan di atas maka dapat dianalisis beberapa sebab yang merupakan perbuatan atau pembiaran : (1) kelebihan kapasitas (2) kapal yang tidak laik operasi (3) tidak adanya alat alat keselamatan yang memadai (4) tidak adanya pengawasan dari otoritas setempat
Dari 4 faktor yang disebutkan di atas, maka sebelum menakar pertanggungjawaban pidananya, maka 4 faktor tersebut akan diuji dengan ajaran kausalitas. Untuk mengujinya maka akan diajukan pertanyaan hipotesis untuk semua faktor-faktor tersebut.Â
(1) Apakah kelebihan kapasitas adalah termasuk perbuatan melawan hukum ? Jika jawabnya "Iya" maka, aktor-aktor yang menyebabkan terjadinya kelebihan kapasitas dapat diminta pertanggungjawaban pidana termasuk pihak-pihak yang membiarkan terjadinya kelebihan kapasitas dan tidak berusaha mencegahnya padahal yang bersangkutan punya otoritas dan kewenangan untuk mencegah terjadinya kelebihan kepasitas.Â
(2) Apakah kapal yang tidak laik dan tetap dioperasikan merupakan perbuatan melawan hukum ? Jika ya, maka aktor-aktor yang mengoperasikan kapal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban pidana termasuk pihak yang seharusnya dapat mencegahnya.Â
(3) Apakah ketiadaan alat keselamatan yang memadai dalam sebuah kapal termasuk dalam kategori perbuatan melawan hukum ? Jika iya, maka aktor-aktor yang tidak menyediakan alat keselamatan dapat diminta pertanggungjawaban pidanaÂ
(4) Terakhir adalah apakah tidak melakukan pengawasan termasuk dalam kategori melawan hukum ? jika jawabnya juga iya, otoritas setempat yang tidak melakukan pengawasan juga dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Dalam konteks ini, maka pihak otoritas yang bertanggung jawab harus mengacu pada undang-undang pelayaran, dengan demikian maka, pertanggungjawaban pidananya akan merujuk pada undang-undang ini.
Dengan alat bantu ajaran kausalitas maka selanjutnya penegak hukum (polisi dan jaksa) menemukan norma hukumnya dan mencari alat buktinya untuk memperkuat hipotesis yang disebutkan di atas. Doktrin atau ajaran kausalitas ini akan membantu meneropong situasi yang gelap/redup menjadi lebih terang.