Ide awal tulisan ini adalah coopetition dari Adam B di buku Co-opetition.
Dalam dunia strategi, penting sekali untuk mendefinisikan mana kawan mana lawan. perubahan sudut pandang lawan menjadi kawan bisa menjadi keunggulan yang berarti. Sejarah membuktikan, lawan paling berat pun dapat berubah menjadi kawan paling erat. Ini terjadi dalam peperangan yang sesungguhnya, maupun dalam peperangan dunia bisnis.
Masih ingat kasus Indian di Amerika, dahulu berperang, namun dalam perang dunia II, kompak berjuang bersama. Amerika Jepang juga demikian, dulu berperang, sekarang parner yang erat.
Dalam dunia bisnis juga sering terjadi seperti itu, ketika pasar Amerika hanya menjadi milik Amerika, para pengusaha lokal saling serang. Tapi ketika Amerika diserang kekuatan ekonomi baru dari Asia, mereka langsung melupakan permusuhan dan bersinergi melawan bersama.
Negara-negara Eropa yang dahulu saling berperang, sudah lama menyadari hal ini. Awal tahun 1990-an  mereka bergabung, melupakan perbedaan yang prinsipsil, karena jika tidak Eropa akan hancur bersama-sama. Skala ekonomi mereka terlalu kecil jika tidak bergabung.
Bagaimana dengan Indonesia? Adanya Aliansi ASEAN sebenarnya merupakan potensi keunggulan. Skala pasar jelas meningkat, negara-negara peserta juga akan menikmati benefit karena pertukaran kapabilitas dan sumber daya.
Namun, hal ini tidak mudah. Selain karena aliansi membutuhkan "kebesaran jiwa" dan visi yang panjang, para lawan-lawan ASEAN tentu akan berusaha untuk menggagalkan aliansi ini. Mereka berkepentingan agar bisnis mereka tetap berjalan baik. Wajar saja, melemahkan kekuatan musuh adalah salah satu strategi memenangkan persaingan.
Sesama negara di ASEAN kita tetap bersaing, tapi disaat yang sama kita bekerja sama, itulah inti Co-opetition.
Pe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H